Tembakau, Euforia dalam Ekspedisi Dunia Baru
Sejarah ekspedisi laut dunia lebih dari lima abad silam membawa tembakau sebagai salah satu tanaman bernilai ekonomis, psikologis, dan mistis.
“Saya katakan, jika Anda tidak bisa kirim uang, kirimlah tembakau,” imbau Presiden AS pertama George Washington, ketika menyerukan kepada masyarakat agar membantu keuangan dalam Perang Sipil Amerika, 1776.
Imbauan itu menunjukkan bahwa di Abad 18 tembakau sudah menjadi komoditas yang sangat berharga di Amerika. Penting secara ekonomis, psikologis, dan mistis, tentunya.
Tembakau memang menjadi komoditas yang berharga sejak Christopher Columbus menemukan “Emas Cokelat” ini di daratan Benua Amerika tahun 1492. “Orang Spanyol dalam perjalanan mereka bertemu dengan banyak orang, pria dan wanita dengan api di tangan mereka dan herbal untuk merokok telah menjadi kebiasaan mereka," tulis Christopher Columbus pada 6 November 1492.
Herbal itu kemudian diketahui sebagai tembakau. Pelayaran mencari “Dunia Baru” oleh Christopher Columbus menjadi periode penting dalam penyebaran tembakau ke seluruh dunia, meskipun tanaman itu telah dikenal ribuan tahun sebelumnya di Amerika.
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, tembakau telah ditanam di Amerika sejak tahun 6000 sebelum Masehi (SM). Dugaan tersebut didasari oleh penemuan hieroglif yang menggambarkan seorang dukun Maya yang sedang merokok.
Diperkirakan Suku Maya mengonsumsi daun Nicotina tabacum untuk ritual dan pemujaan roh. Sekitar tahun 1 SM penduduk asli Amerika Utara juga diketahui telah menggunakannya untuk merokok dan untuk enema, yaitu merangsang pernapasan dengan meniupkan asapnya lewat anus (WHO, The Tobacco Atlas, 2002).
Seorang arkeolog dari Universitas Albany pada 2012 juga menemukan sebuah guci peninggalan Suku Maya dari 1300 tahun lalu yang memiliki alkaloid dengan banyak jejak-jejak nikotin. Pada guci tersebut, terdapat ukiran huruf yang kemungkinan berarti wadah tembakau.
Lihat juga: Keranjang Penjaga Rasa Tembakau
Saat Columbus pertama kali datang, suku Indian Amerika sudah memiliki kebiasaan merokok. Daun tembakau biasa digulung rapat atau dimasukkan pipa sebelum dibakar.
Biasanya, merokok dilakukan saat hari perayaan atau menyambut tamu. Dalam kebudayaan Suku Aztec, tembakau lazim dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas.
Tembakau juga digunakan oleh dukun di Amerika Selatan dalam upacara keagamaan dan untuk pengobatan. Di masa-masa awal ditemukan, tembakau juga berfungsi sebagai analgesik ringan dan antiseptik, tapal yang dioleskan pada luka dan gigi, sebagai obat tetes mata, dan obat penenang atau penghilang rasa sakit.
Asapnya ditiupkan pada wanita untuk membuat mereka subur, dan pada prajurit untuk memberi mereka keberanian dalam pertempuran. Nicolas Monardes, orang Spanyol, pada tahun 1565 menulis bahwa selain untuk menyembuhkan sakit gigi, tembakau juga dapat digunakan untuk mengobati batu ginjal, cacing pita, dan ketombe.
Setelah menemukan dan menjarah emas yang melimpah milik bangsa Maya (Amerika Tengah) dan Aztec (Meksiko), orang-orang Spanyol juga meniru kebiasaan mengkonsumsi rokok. Mereka membawa benih tembakau ke benua asli mereka yaitu Eropa.
Tembakau kemudian menjadi gaya hidup yang popular di negeri Spanyol, Portugis, Inggris, Perancis, hingga kekaisaran Usmaniah di Turki (Thomas Sunaryo, Kretek Pusaka Nusantara, 2013). Dalam 150 tahun sejak Columbus menemukan "daun aneh" di Dunia Baru itu, tembakau telah digunakan di seluruh dunia.
Lihat juga: Komoditas Tembakau di Magelang
Genus tembakau, Nicotiana, dinamai untuk menghormati Jean Nicot de Villemain, seorang diplomat dan sarjana Perancis. Ia terkenal sebagai orang pertama yang membawa tembakau ke Prancis.
Ia membawa tembakau dan biji-bijian ke Paris pada tahun 1560, menyerahkannya kepada Raja Prancis, dan mempromosikan penggunaan obat-obatan dari tembakau. Sejak itu tembakau dipercaya dapat melindungi dari penyakit, terutama wabah penyakit. Maka dengan cepat kemudian menyebarlah tembakau sebagai obat ke seluruh Perancis.
Tembakau terdeteksi terdiri dari enam puluh empat spesies, namun hanya dua di antaranya yang telah digunakan oleh manusia untuk berbagai tujuan, yaitu Nicotiana rustica dan Nicotiana tabacum. Nicotiana rustica mengandung kadar nikotin yang tinggi (max n = 16%) biasanya digunakan untuk membuat abstrak alkoloid (bahan baku obat dan isektisida).
Nicotiana rustica juga dipergunakan sebagai susur yang di negara-negara barat, India, dan Eropa Timur dikenal dengan snuff, chewing tobacco, dan lain-lain. Jenis ini banyak berkembang di Rusia dan India.
Sedangkan Nicotiana tabacum mengandung kadar nikotin yang rendah (min n = 0,6%) jenis ini umumnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan rokok. Penggunaannya kemudian menjadi paling luas di seluruh dunia.
Genus tembakau, Nicotiana, dinamai untuk menghormati Jean Nicot de Villemain, seorang diplomat dan sarjana Perancis. Ia terkenal sebagai orang pertama yang membawa tembakau ke Prancis.
Pengembangan Nicotiana tabacum tak lepas dari jasa seorang pendatang bernama John Rolf di daratan Amerika Utara, yang bersama istrinya yang berdarah Indian, Pocahonta anak dari kepala suku Phowatan, berhasil mengembangkan benih varietas Nicotiana tabacum yang mereka datangkan dari pulau Bermuda di Jamestown, Virginia pada sekitar tahun 1609.
Mereka menanamnya dalam jumlah yang cukup besar sehingga mendatangkan profit yang luar biasa tidak hanya bagi mereka namun juga bagi para penanam lainnya. Daun tembakau bahkan sempat menjadi semacam uang atau alat barter di sana untuk waktu yang cukup lama (Thomas Sunaryo, 2013). Sehingga, tak heran jika George Washington pada 1776 menyerukan penggalangan dana perang lewat uang atau tembakau.
Tembakau (Nicotiana tabacum) diperkenalkan dari Amerika ke Eropa oleh orang Spanyol tidak lama setelah penemuannya di Amerika (Louis Hermann Pammel, 1911), mungkin pada awal tahun 1518 (Alvina dan Madulid, 2009), dan secara pasti diamati tumbuh di Portugal pada tahun 1560 (Candolle, 1885).
Lihat juga: Pengolahan Tembakau Candimulyo
Spesies tersebut diperkenalkan dari Eropa ke Timur Tengah pada awal abad ke-17. Catatan tertulis pertama penggunaannya di Persia [sekarang Iran] adalah pada tahun 1626, dan tampaknya telah ada di India pada tahun 1605, mungkin dengan pengenalan dari Eropa juga (Candolle, 1885).
Masuknya spesies Nikotiana tabacum ke Asia agak tidak pasti, tetapi perkenalan berulang kali mungkin telah terjadi oleh berbagai penjelajah Eropa yang membawa benih bersama mereka. Spesies ini diperkenalkan melalui rute perdagangan Manila-Acapulco Spanyol tahun 1565-1815 (Alvina dan Madulid, 2009) untuk membangun perkebunan tembakau di wilayah koloni Spanyol.
Portugis juga mungkin telah memperkenalkan spesies ini ke koloni Asia mereka pada akhir abad ke-16 (Candolle, 1885). Pengenalan spesies ini ke China mungkin terjadi antara 1530–1600 melalui hubungan dagang antara pedagang China dan Jepang dan Filipina (WHO, 2002). Pada tahun 1560 kapal-kapal Portugis dan Spanyol mencapai Afrika Timur dengan membawa tembakau, yang kemudian menyebar ke Afrika Tengah dan Afrika Barat.
Pengembangan rokok sebagai industri pengolahan tembakau mulai terjadi pada tahun 1889, ketika di AS, James "Buck" Duke membentuk American Tobacco Company. Memanfaatkan mesin pelinting rokok yang ditemukan James Albert Bonsack (1881), dia dapat membuat 200 batang rokok per menit. Dalam lima tahun, satu miliar batang rokok diproduksi.
Penjualan rokok dari pabrik Duke pun meledak, mengarah pada produksi 30 batang rokok per detik. Berkat mesin pelinting seperti ini yang lalu diadopsi di semua negara, pada tahun 2014 lalu, penjualan rokok di seluruh dunia telah mencapai sekitar enam triliun batang.
Tembakau di Indonesia
Tembakau kemungkinan dibawa oleh bangsa Spanyol ke wilayah Nusantara setelah kedatangan bangsa tersebut pada tahun 1521-1529. Orang-orang Spanyol berlayar ke Maluku melalui jalur perairan Indonesia untuk mencari rempah-rempah.
Meski demikian, Spanyol nyaris hanya terkonsentrasi di wilayah-wilayah sekitar Kepulauan Maluku, dan waktunya pun singkat. Maka, sangat mungkin tembakau justru disebarkan oleh bangsa Portugis yang menjajah Indonesia lebih dari satu abad, dari tahun 1512 hingga 1641.
Sejarawan Ong Hok Ham dan Amen Budiman dalam Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara (1988), menyakini bahwa tembakau pertama kali dikenal oleh masyarakat Jawa pada akhir masa Penembahan Senopati memimpin Kerajaan Mataram. Ong dan Amen, mengutip Babad Ing Sangkala dalam sebuah bait yang artinya, “Waktu mendiang penembahan meninggal di Gedung Kuning adalah bersamaan dengan mulai munculnya tembakau, setelah itu mulailah orang merokok.” Penulis naskah Babad Ing Sangkala memperingati kedua peristiwa tersebut dengan candra sengkala “Gni Mati Tumibeng Siti” yang berarti tahun 1523 Saka atau tahun 1601-1602 Masehi.
Sejarawan Inggris yang menjadi Letnan Gubernur Jawa, Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mencatat dalam The History of Java (1817) bahwa sekitar tahun 1600-an tembakau telah banyak tumbuh di berbagai tempat di Jawa. Pendapat ini diperkuat oleh Candolle bahwa tanaman tembakau telah dibawa ke Pulau Jawa sekitar tahun 1600.
Candolle meyakini Portugislah yang membawanya. Namun, Raffles lebih percaya bahwa orang Belanda yang membawanya. Bisa jadi Raffles juga betul, karena pada 1596 ekspedisi Cornelis de Houtman (Belanda) tiba di Banten.
Edmund Scott, seorang Principal Agent untuk East India Company di Banten tahun 1603-1605, pernah mencatat bahwa, “Mereka (orang Javans) juga mengonsumsi banyak tembakau dan opium”. Hal ini menandakan bahwa penggunaan tembakau sudah meluas di wilayah Banten pada tahun 1603.
Dalam catatan duta VOC, ZebaltWonderer dan Jan Barentszoon, yang ada 26 April 1645 berkunjung ke Kerajaan Mataram, Raja Amangkurat I yang berkuasa (1645 – 1703) terlihat sedang berbusana merah menyala dan tangannya membawa pipa tembakau panjang (Rudy Badil, Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya, 2011).
Dalam waktu singkat tanaman tembakau berkembang luas di pulau Jawa. Dalam catatan serdadu Perserikatan Dagang Hindia Timur (VOC) Georgius Everhardus Rumphius (1695), pada tahun 1650 beberapa wilayah nusantara telah berkembang perkebunan tembakau seperti di daerah Kedu, Bagelen, Malang dan Priangan.
Selanjutnya, sejarah tembakau berada dalam lintasan yang sama dengan perubahan-perubahan kebijakan yang dilakukan oleh para imperialis, baik Inggris maupun Belanda. Kebijakan-kebijakan itu, misalnya, Monopoli Perdagangan oleh Verenigde Oostindische Compagenie atau VOC, Kerja Rodi di masa pemerintahan Herman Willems Deandels, Landrente atau Sistem Sewa Tanah di masa Thomas Stamford Raffles (Inggris), Cultuur Stelsel atau Sistem Tanam Paksa pada masa Van Den Bosch, Sistem Ekonomi Liberal, dan Politik Etis atau Politik Balas Budi yang diterapkan setelah 1901.
Di Indonesia, pengembangan tembakau secara besar sudah dilakukan sebelum masa Tanam Paksa era Van Den Bosch (1830-1834). VOC membuka perkebunan tembakau di daerah Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta sejak tahun 1820.
Pada tahun 1856, VOC melakukan penanaman tembakau secara meluas di daerah Besuki, Jawa Timur. Pada periode 1870 hingga 1940, penanaman tembakau berkembang di tempat-tempat seperti Kedu, Kediri, dan daerah perkapuran antara Semarang dan Surabaya. Setelah itu Klaten, daerah sekitar Vorstenlanden (Wilayah 4 kerajaan di nusantara di sekitar Surakarta dan Yogyakarta), dan Jember.
“Waktu mendiang penembahan meninggal di Gedung Kuning adalah bersamaan dengan mulai munculnya tembakau, setelah itu mulailah orang merokok.” (Babad Ing Sangkala, tahun 1601-1602)
Dalam catatan PTPN 10, pada era Tanam Paksa (1830-1870), ribuan etnis Madura dipaksa meninggalkan kampung halamannya untuk menjadi buruh di perkebunan tembakau di Besuki, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan daerah tapal kuda lainnya. Perlakuan VOC yang menerapkan kontrak seumur hidup menjadikan para buruh tersebut harus menetap di daerah perkebunan beserta anak cucunya.
Hal inilah yang merupakan cikal bakal etnis Pendalungan, yaitu etnis campuran Madura dan Jawa yang banyak dijumpai di daerah tapal kuda perkebunan tembakau di Jawa Timur. (PTPN 10, Sejarah Perkebunan Tembakau di Nusantara, 2015)
Meskipun telah ditanam sebelum era Tanam Paksa, namun upaya penanaman tembakau untuk pasar Eropa baru benar-benar berhasil setelah diupayakan di Tanah Deli, Sumatera Utara, sejak 1854. Hasilnya sangat terkenal di Pasaran Eropa, khususnya untuk bahan cerutu (Badil, 2011).
Tahun 1860, kemudian dibangun perkebunan Oud Djember oleh George Birnie di wilayah Karesidenan Besuki, Jawa Timur, yang menghasilkan tembakau bermutu tinggi untuk pasar Eropa. Penanaman tembakau kian menjamur pada beberapa dekade awal abad ke-20. Selain di Pulau Jawa dan Sumatera, tembakau juga ditanam di Madura, Ternate, Kepulauan Kei, Makian, Buru, Seram, Ambon Saparua, Sulawesi, Bali, Lombok, hingga ke Papua.
Saat ini, Indonesia berada di posisi ke enam terbesar di dunia dalam produksi tembakau, setelah China, India, Brasil, Zimbabwe, dan Amerika Serikat. Siapa sangka, tembakau yang dipopulerkan oleh lintingan Roro Mendut itu sekarang hampir sejajar dengan negara asal tembakau ditemukan? Tentu ada penyebab yang luar biasa, yang sangat mungkin terkait dengan sejarah pertanian, politik dan kultur di Indonesia.
(LITBANG KOMPAS)