Persatuan Jadi Tantangan Terberat Joe Biden
Polarisasi politik di masyarakat AS dinilai kian ekstrem. Menurut hasil riset, mereka yang berada di spektrum politik kiri berseberangan kian jauh dengan mereka yang berada di spektrum kanan.
”We close the divide because we know, to put our future first, we must first put our differences aside. We lay down our arms so we can reach out our arms to one another.” – Amanda Gorman
Nukilan puisi Amanda Gorman, seorang penyair perempuan berkulit hitam, ini menggetarkan para hadirin di acara pelantikan Joe Biden sebagai Presiden ke-46 Amerika Serikat. Tidak hanya indah, puisi berjudul ”The Hill We Climb” ini juga menjadi isyarat persatuan di tengah tajamnya polarisasi politik di negara itu. Sajak itu juga menjadi perlambang ikrar Biden untuk mempersatukan bangsanya.
Selama empat tahun ke belakang, dunia melihat bagaimana Amerika Serikat sebagai salah satu negara demokrasi yang mapan bisa merosot dalam waktu yang sangat cepat. Kemunduran yang dramatis ini salah satunya diakibatkan Presiden ke-45 AS Donald Trump yang tak henti menelurkan kebijakan berbahaya.
Dengan strategi komunikasi publik yang minus serta sarat hoaks dan disinformasi, Trump juga terus menagih loyalitas buta dari konstituennya. Walhasil, polarisasi politik antara para pendukung dan yang bukan pendukung pun semakin kental.
Awalnya persoalan ini hanya tampak pada perdebatan antar-elite di media massa dan keriuhan di media sosial. Namun, utamanya pada 2020, polarisasi politik yang kian ekstrem itu telah menjadi gerakan yang mengancam keamanan.
Setelah golongan kiri ekstrem memanfaatkan unjuk rasa terkait kematian pria kulit hitam George Floyd untuk melakukan aksi vandalisme dan penjarahan pada Juni 2020, golongan ekstrem kanan melancarkan aksi kekerasan dan menduduki Gedung Capitol Hill pada Desember 2020.
Polarisasi politik di AS
Polarisasi politik bukanlah sesuatu yang baru dan berbahaya di AS. Dari masa awal berdirinya negara itu, masyarakat dan politik AS pun telah terbagi dalam beberapa golongan. Perbedaan pendapat terdapat dalam nyaris semua aspek pemerintahan, mulai dari soal perekonomian, keamanan, hubungan internasional, hingga hak asasi manusia (HAM).
Polarisasi turut membuat demokrasi di AS menjadi salah satu yang paling tua dan dewasa. Melalui proses inilah lahir berbagai perubahan progresif yang menuntun perubahan pula di negara lain di dunia, seperti pemenuhan HAM bagi minoritas hingga pemberdayaan perempuan.
Sayangnya, polarisasi politik di masyarakat AS kini justru kian ekstrem. Mereka yang cenderung berada di spektrum politik kiri (liberal, progresif) memegang nilai yang kian berseberangan dengan mereka yang berada di spektrum kanan (konservatif). Hal ini terlihat dari hasil studi PEW Research yang memetakan polarisasi di tengah masyarakat AS selama tahun 1997 hingga 2014.
Baca juga: Saatnya Bangkit dan Bersatu Kembali
Baca juga: Hari Gelap Demokrasi Amerika Serikat
Menurut hasil studi tersebut, selama dua dekade, terjadi pergeseran nilai di antara partisan Partai Republiken dan Demokrat. Di satu sisi, semakin banyak dari simpatisan Partai Republiken yang semakin kukuh memegang nilai konservatif, seperti menolak pajak tinggi, pro hak kebebasan bersenjata, dan menolak legalisasi aborsi. Di sisi lain, semakin banyak pula simpatisan Partai Demokrat yang kian ekstrem mengamini nilai liberal, seperti pro jaminan kesehatan dan pendidikan, pro legalisasi aborsi, pro hak LGBT, dan pro regulasi senjata api. Artinya, mereka yang berada di tengah semakin terkikis dan terpolarisasi, baik ke kubu kiri maupun kanan.
Hal ini pun menjadi kian jelas pada pergelaran pemilu AS tahun lalu. Menurut hasil jajak pendapat PEW Research, baik para pemilih Trump maupun Biden, sama-sama yakin bahwa kemenangan pihak lawan akan berbahaya bagi jalannya pemerintahan.
Ketika diwawancara, 89 persen dari pendukung Trump khawatir dengan terpilihnya Biden dan percaya bahwa hal itu akan berbahaya bagi negara. Di kubu pendukung Partai Demokrat, 90 persen dari simpatisan percaya dengan hal yang sebaliknya. Hanya 8 persen di kubu Trump dan Biden yang percaya bahwa terpilihnya oposisi tidak akan membahayakan jalannya pemerintahan AS.
Polarisasi di akar rumput ini juga terlihat dari kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Terkait dengan kinerja pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19, di kubu simpatisan Partai Republik, 76 persen menyatakan puas dengan kinerja pemerintah. Sementara hanya 29 persen dari simpatisan Partai Demokrat yang mengaku puas dengan kinerja Trump menangani pandemi. Perbedaan 47 persen ini jadi yang paling tinggi di antara 14 negara yang diteliti PEW Research.
Tidak bisa dimungkiri bahwa pandemi Covid-19 memperparah polarisasi di antara masyarakat AS. Bahkan, 77 persen dari publik AS pun mengakui hal itu. Namun, sesungguhnya polarisasi ini telah semakin tajam terutama sebelum pandemi. Fenomena ini selaras dengan hasil studi Gallup, di mana perbedaan persepsi publik terhadap kinerja pemerintah tidak pernah setinggi saat pada pemerintahan GW Bush, Obama, dan memuncak pada pemerintahan Donald Trump.
Pada pemerintahan Trump selama Januari 2019-Januari 2020, 89 persen dari simpatisan Partai Republik menyatakan mereka puas dengan kinerja presiden. Sementara itu, hanya 7 persen dari masyarakat nonsimpatisan Partai Republik yang menyatakan hal serupa. Perbedaan pendapat terkait citra presiden sebesar 82 persen ini menjadi yang paling kontras dari tahun 1945 hingga 2020.
Tantangan berat Biden
Tidak hanya bersifat politis, polarisasi politik ini bahkan telah menembus hingga ke tingkat personal. Artinya, hal yang dipersoalkan antara para simpatisan Partai Republik dan Demokrat tak lagi soal substansi kebijakan politik, tetapi telah melebar ke soal asumsi stereotip. Situasi ini pun kemudian membuat jurang di tengah masyarakat semakin lebar dan mengakar hingga bertransformasi menjadi persoalan identitas.
Fenomena ini terekam oleh hasil studi dari PEW Research pada September 2019. Ketika ditanya, sebagian besar simpatisan Partai Republik merasa bahwa para pendukung Partai Demokrat merupakan orang-orang yang berpikiran tertutup (64 persen), tidak patriotik (63 persen), dan tidak bermoral (55 persen).
Sementara sebagian besar dari pendukung Partai Demokrat juga merasa bahwa simpatisan Partai Republik berpikiran tertutup (75 persen), tidak bermoral (47 persen), dan bodoh (38 persen).
Parahnya, perbedaan politik ini pun merembet bahkan hingga ke laku hidup. Contohnya dalam hal penerapan protokol kesehatan Covid-19. Menurut studi dari PEW Research, keberpihakan politik ini menjadi faktor yang paling berpengaruh (26 persen) dibandingkan dengan faktor lain, seperti ras (15 persen), geografis (5 persen), dan umur (3 persen).
Temuan serupa juga terdapat dalam studi yang dilakukan Gallup. Menurut studi yang dilakukan Juli 2020 itu, hanya 64 persen dari simpatisan Partai Republik yang mengaku menggunakan masker di muka umum. Dari angka itu, hanya 24 persen di antaranya yang mengaku selalu menggunakan masker dan 22 persen di antaranya mengaku sering menggunakan masker. Sementara 18 persen lainnya mengaku hanya terkadang menggunakan masker. Bahkan, 27 persen lainnya menyatakan bahwa mereka tidak pernah menggunakan masker ketika di tempat umum.
Tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan ini jauh lebih buruk dibandingkan dengan para pendukung Partai Demokrat. Ketika ditanya, 97 persen dari simpatisan Partai Demokrat mengaku menggunakan masker di muka umum. Bahkan, 61 persen di antaranya menyatakan selalu menggunakan masker dan 33 persen lainnya mengaku sangat sering memakai masker. Hanya 1 persen dari para pendukung Partai Demokrat yang mengaku jarang atau tidak pernah memakai masker di tempat umum.
Tak ayal, merekatkan jurang antara ”suku” Republiken dan Demokrat ini bukanlah persoalan mudah bagi Biden. Kini, setelah menjabat, persoalan polarisasi politik bukan lagi soal raupan suara dalam bilik karena telah dalam merasuk ke sendi masyarakat.
Bahkan, persoalan ini bisa sampai membahayakan keamanan negara dengan kemungkinan munculnya aksi teror atau konflik horizontal apabila tak dapat dimitigasi oleh Biden. Seperti puisi Amanda Gorman, sudah saatnya AS menanggalkan perbedaan, kini waktunya bersatu untuk membangun masa depan.
(Litbang Kompas)