Menghadapi Pasukan Siber
Pasukan siber menjadi strategi efektif menggiring opini masyarakat dengan cara menyerbu dunia maya melalui opini-opini. Literasi digital menjadi kunci untuk melawan dampak negatif dari serangan siber.
Pengerahan pasukan siber menjadi salah satu strategi yang oleh sejumlah pihak dianggap efektif untuk menggiring opini masyarakat. Penggiringan opini itu dilakukan dengan cara menyerbu dunia maya melalui opini-opini yang menguntungkan pihak yang membayar pasukan siber.
Akibatnya, publik mengalami disinformasi dan sulit mendapatkan informasi yang benar. Selain pentingnya tindakan tegas oleh platform media sosial terhadap akun-akun yang meresahkan, literasi digital publik terlebih dalam mengevaluasi konten di media sosial juga harus ditingkatkan.
Media sosial berkembang menjadi salah satu saluran utama dalam membentuk persepsi maupun opini. Setiap orang bisa menyuarakan pandangan apa pun, menyampaikan pesan apa pun lewat media sosial yang dimiliki. Dari sisi bisnis, media sosial banyak dimonetisasi.
Akibatnya, pasukan siber kian digunakan untuk memanipulasi informasi. Manipulasi informasi di media sosial kian menjadi seiring dengan semakin maraknya penggunaan propaganda terkomputasi dalam hidup sehari-hari.
Laporan ”Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation” oleh Oxford Internet Institute menyebutkan, pasukan siber dibentuk oleh lima kategori, yakni organisasi pemerintah, politikus dan partai politik, pengusaha swasta, lembaga nirlaba, individu, dan tokoh berpengaruh (influencer).
Pasukan siber kemudian menggunakan akun media sosial, baik yang berbentuk manusia atau organik, algoritme robot (bot), gabungan organik dan algoritme robot (cyborg), maupun akun hasil peretasan. Lewat akun-akun tersebut propaganda dikemas dan dikelola untuk kepentingan mengarahkan opini dan pengetahuan publik.
Pasukan siber melakukan aktivitas secara terorganisasi lewat beragam strategi untuk melakukan propaganda disinformasi. Penelitian Oxford Internet Institute bahkan menemukan bukti pada 48 negara, aktor negara bekerja sama dengan perusahaan swasta atau perusahaan komunikasi strategis yang menawarkan layanan propaganda komputasi.
Tugasnya menyebarkan propaganda ataupun juga hoaks. Bentuknya tidak harus artikel atau utas, bisa juga meme. Materi yang disebarkan pasukan siber umumnya dikompilasikan juga dari influencer dan buzzer. Persebaran informasi yang cepat dan tumpang-tindih membuat masyarakat kian sulit membedakan keberadaan influencer, buzzer, dan pasukan siber.
Laporan tersebut juga menyoroti tren terbaru dari propaganda komputasi di banyak negara. Laporan tahun 2020 menemukan bukti bahwa 81 negara menggunakan media sosial untuk menyebarkan komputasi propaganda dan disinformasi tentang politik, meningkat dari laporan tahun 2019 yang mencapai 70 negara.
Pesan propaganda ditujukan baik untuk kampanye pro-pemerintah atau pro-aktor politik, menyerang oposisi, mengalihkan isu, memecah masyarakat, dan menekan partisipasi melalui serangan terhadap individu.
Padahal, maha data (big data) yang diperoleh dari media sosial dibutuhkan untuk menerjemahkan apa yang sedang terjadi di dunia nyata. Namun, kondisi yang muncul di media sosial sering kali hanya kegaduhan akibat serangan pasukan siber. Akibatnya, muncul kekhawatiran bahwa yang didengar oleh publik adalah bagian yang merupakan hoaks semata.
Upaya platform
Perusahaan media sosial sesungguhnya telah melakukan langkah-langkah untuk memerangi penyalahgunaan platform oleh pasukan siber. Facebook dan Twitter bahkan mengumumkan bahwa dalam periode Januari 2019 dan November 2020 lebih dari 317.000 akun dan halaman telah dihapus oleh platform. Penghapusan terkait dengan keberadaan akun-akun palsu dan cuitan-cuitan yang meresahkan publik.
Bahkan, pada awal Januari 2021 platform Twitter, Facebook, dan lainnya melakukan blokir terhadap video dan cuitan yang meresahkan dari akun mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Google pun memblokir jejaring Parler dari Playstore karena unggahan yang menghasut kekerasan dari para pendukung Donald Trump yang menggunakan platform tersebut.
Meskipun demikian, hampir 10 juta dollar AS telah dihabiskan untuk iklan politik di berbagai platform media sosial oleh pasukan siber yang beroperasi di seluruh dunia. Selain itu, komputasi algoritma dan bentuk-bentuk otomasi lain masih digunakan aktor-aktor politik di banyak negara dunia untuk memanipulasi opini publik lewat platform-platform media sosial, seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube.
Karena itu, upaya pemblokiran akun dan halaman oleh platform media sosial tidak akan bisa mencegah propaganda politik oleh pasukan siber. Terlebih, jaringan yang membentuk dan bekerja sama dengan pasukan siber sudah sangat terorganisasi.
Upaya pemblokiran hanya memberi efek singkat karena pasukan siber akan terus bekerja kembali sesuai dengan permintaan dari pihak-pihak yang mendanainya. Akibatnya, pengguna media sosial sangat rentan terpapar oleh informasi palsu, bahkan tidak menyadari bahwa informasi tersebut palsu.
Literasi digital
Literasi informasi digital bisa menjadi kunci untuk memerangi propaganda oleh pasukan siber melalui sosial media terlebih di Indonesia. Dengan berkembangnya peralatan digital dan akses informasi digital yang membanjir, keterampilan dalam literasi digital menjadi hal yang mesti dikuasai pengguna internet.
Literasi digital adalah ketertarikan, sikap, dan kemampuan individu menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat, dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.
Literasi digital tidak hanya berkutat soal kemampuan membuat dan menciptakan konten di media sosial, tetapi lebih dalam lagi soal kemampuan untuk bisa melakukan evaluasi secara mandiri atas berbagai konten yang berlalu lalang di dunia maya.
Meskipun dapat menjadi mesin uang, mestinya setiap pengguna media sosial, termasuk yang berprofesi sebagai buzzer ataupun influencer mampu memilah mana yang baik dan bermanfaat untuk disajikan buat khalayak dan mana yang tidak bagus dan tidak bermanfaat bagi khalayak. Tipe konten yang mempertajam perbedaan, menyulut emosi, dan penuh kekerasan hanya akan membawa perpecahan dan mengulang kegaduhan.
Buzzer membutuhkan kemampuan dan pengetahuan, serta pengalaman yang bagus untuk mengelola dan menyebarkan informasi. Kehadiran buzzer diperlukan asal informasi yang disebarkan bertujuan menjaga perdamaian dan persatuan. Hal yang sama juga berlaku pada influencer. Reputasi atau kredibilitas influencer akan sangat dipertaruhkan terkait validitas informasi yang dibagikan. Karena itu, influencer seharusnya tidak asal membagikan informasi kepada publik.
Pengerahan pasukan siber oleh perusahaan swasta, pemerintah, partai politik, dan lainnya lebih baik digunakan untuk menyebarkan sebanyak-banyaknya informasi yang penting atau relevan dengan kepentingan masyarakat, bukan untuk menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya apalagi hoaks. Disinformasi yang terus-menerus berlangsung di media sosial hanya akan membawa kegaduhan demi kegaduhan.
Selain itu, para tokoh di Indonesia juga perlu aktif menyampaikan pandangan mereka dan berkomunikasi secara bijak di media sosial. Interaksi aktif yang konstruktif akan menjadi pembelajaran baik bagi publik. (LITBANG KOMPAS)