Meski 25 Mei 1984 dikenang sebagai hari saat Jane menjadi orang pertama yang membeli bahan makanan secara daring, teknologi yang menyokongnya sudah lebih dulu lahir beberapa tahun sebelumnya.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Pada 25 Mei 1984, seorang nenek dari kota Gateshead, Inggris, berbelanja kebutuhan pokok melalui televisi yang terkomputerisasi di rumahnya. Sejumlah studi menyebut momen tersebut sebagai cikal bakal kegiatan yang saat ini kita kenal dengan belanja daring (”online shopping”).
Namanya Jane Snowball (72 tahun). Dia hanya perlu mengoperasikan remote televisi untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Hal yang harus ia lakukan ialah menekan tombol phone, kemudian memilih toko dan jenis barang yang tampil di layar TV. Pada hari Jumat yang bersejarah itu, Jane memilih berbelanja di Tesco untuk membeli mentega, sereal jagung, dan telur. Kemudian ia menunggu pesanan diantar ke rumahnya pada hari yang sama.
Jane menjadi bagian dari eksperimen ”belanja dari rumah” yang diinisiasi oleh jaringan supermarket Tesco, Universitas Newcastle, dan Dewan Kota Gateshead. Percobaan ini bertujuan membantu masyarakat lanjut usia, pensiunan, atau difabel yang memiliki keterbatasan mobilitas agar tetap mandiri, khususnya dalam berbelanja kebutuhan pokok.
RL Davies (1985) dalam ”The Gateshead Shopping and Information Service” (GSIS) yang diterbitkan jurnal Environment and Planning B: Planning and Design menyebut eksperimen ini berada di garis depan dalam merintis mekanisme belanja dari rumah. Berbeda dengan usaha dagang lain, GSIS merupakan proyek yang kesuksesannya diukur dari penerimaan konsumen.
Salah satu faktornya adalah penyediaan layanan, pemesanan, dan pengiriman yang diberikan secara gratis. Percobaan ini juga dianggap tidak biasa. Alih-alih menyasar konsumen makmur, proyek ini menyasar konsumen dengan keterbatasan (disadvantaged consumers).
Proyek pengembangan GSIS ini sebelumnya telah berjalan lima tahun, yakni pada 1979 hingga 1984. Pada percobaan pertama di Mei 1980, Davies menyebut GSIS merupakan layanan belanja rumah terkomputerisasi pertama yang didirikan di Inggris. Pada 1983, kelompok kerja ini menggandeng Rediffusion Computers Ltd dalam penyempurnaan sistem hingga uji coba lapangan.
Empat tahun berselang, Geoffrey C Smith (1988) dalam ”The Spatial Shopping Behaviour of the Urban Elderly: a Review of the Literature” yang diterbitkan jurnal Geoforum menganalisis bahwa percobaan GSIS menunjukkan tingkat kemandirian yang cukup besar konsumen senior dalam melakukan kegiatan belanja.
Pembeli senior yang mengalami berbagai kendala mobilitas tidak lagi mengalami keterbatasan untuk berbelanja. Perilaku belanja spasial warga lansia perkotaan ini sekaligus menarik perhatian para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, di antaranya geografi, pemasaran, perencana kota, dan gerontologi sosial.
Hingga 1990, ahli menyebut kegiatan belanja seperti yang ada di komunitas Gateshead sebagai belanja dengan bantuan komputer, belanja dari rumah, atau belanja jarak jauh. Istilah online shopping belum digunakan pada dekade tersebut.
Peletak dasar
Dua dekade kemudian, teknologi internet berkembang pesat. Laman berita BBC menurunkan liputan beruntun terkait cikal bakal belanja daring.
Pada 16 September 2013, artikel berjudul ”Online Shopping: The Pensioner Who Pioneered a Home Shopping Revolution” menyebut apa yang dilakukan Jane dengan layar TV-nya sebagai hal yang kita kenal sekarang sebagai belanja daring. Apa yang dilihat Jane pada layar TV-nya ialah toko daring pertama dan Jane merupakan pembeli toko daring pertama di dunia.
BBC dalam ”The Father of Online Shopping” sekaligus menyebut orang penting dalam kemunculan teknologi belanja daring ini. Ia adalah Michael Aldrich. Dia acap kali disebut sebagai peletak dasar bagi teknologi perdagangan digital.
Dalam konteks GSIS, Aldrich merupakan pemimpin perusahaan Rediffusion Computers. Perusahaan ini memperkenalkan sistem viewdata dan melakukan uji coba pada outlet yang telah tersedia. Pada Mei 1984, Rediffusion meluncurkan secara paralel mikrosistem yang menghubungkan televisi di pusat komunitas atau rumah warga ke toko yang telah menjadi rekanan, yakni supermarket Tesco, toko roti Gregg, dan apotek lokal.
Meski pada 25 Mei 1984 dikenang sebagai hari saat Jane menjadi orang pertama yang melakukan pembelian bahan makanan secara daring langsung dari bisnis ke konsumen, teknologi yang menyokongnya sudah terlebih dulu lahir beberapa tahun sebelumnya.
Dalam autobiografi yang ditulis Aldrich dalam laman aldricharchive.com, konsep belanja online didemonstrasikan pertama kali pada September 1979 dalam Konferensi Asosiasi Manajemen Entri Data di New Orlens, Amerika Serikat. Saat itu, dia menamai temuannya sebagai ”teleshopping”.
Aldrich (2011) dalam ”Online Shopping in the 1980s” yang diterbitkan jurnal US IEEE Annals of the History of Computing menceritakan bagaimana ide tersebut muncul ketika ia ingin menghindari rutinitas belanja mingguan yang membosankan. Ia membayangkan bagaimana televisi dapat disambungkan ke supermarket sehingga bahan makanan yang dibutuhkan dapat dipesan dari rumah dan dikirimkan secara langsung.
Teknologi di balik teleshopping tersebut ialah videotex. Prinsip teknologi ini mengubah TV domestik menjadi terminal komputer. Menggunakan saluran telepon, TV pelanggan dihubungkan dengan komputer penjual agar memungkinkan adanya transaksi secara realtime.
Gagasan berbeda
Linimasa belanja daring diawali oleh dua ambisi yang berseberangan. Aldrich mengembangkan gagasannya dari kebosanan berbelanja rutin ke supermarket. Adapun eksperimen di kota Gateshead didasari pada persoalan belanja masyarakat lansia atau difabel dengan keterbatasan mobilitas.
Gayung bersambut, kebosanan berbelanja dengan cara tradisional pun mungkin menjadi satu alasan mengapa saat ini orang lebih suka berbelanja daring. Dari sisi keterbatasan mobilitas, apa yang disampaikan RL Davies (1981) dalam artikelnya kini tak lagi relevan.
Belanja dengan bantuan komputer tidak hanya terbatas bagi kaum pensiunan yang terbatas secara mobilitas, tetapi juga meluas dan lumrah bagi siapa saja yang menginginkannya. Di Indonesia, misalnya, nilai transaksi belanja daring pada Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) naik dari Rp 2,1 triliun pada 2015 menjadi Rp 9,1 triliun pada 2019 (Kompas, 13/12/2020).
Hari ini kontradiksi yang tidak perlu diperdebatkan tersebut mewujud dalam kesatuan, belanja daring demi mematuhi pembatasan mobilitas karena pandemi Covid-19.