Jalan Panjang Menuju Reformasi Kultural Polri
Gagasan untuk membentuk kultur Polri yang humanis dan dekat dengan masyarakat semakin gencar disuarakan setelah pengesahan UU Kepolisian tahun 2002.
Sepanjang era Reformasi, lembaga kepolisian mencoba beragam cara untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Cita-cita membentuk Polri sebagai lembaga yang humanis selalu mengemuka pada setiap suksesi kepala Polri, terutama sejak kelahiran UU Kepolisian.
Kepolisian merupakan salah satu lembaga yang turut mengalami perubahan sepanjang periode Reformasi. Lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi titik balik sejumlah perbaikan di lingkungan kepolisian.
Selain reformasi struktural, Polri juga mencoba melakukan reformasi kultural selama sekitar dua dekade terakhir. Asa untuk mendekatkan diri ke tengah masyarakat selalu digaungkan dan diupayakan demi mencapai cita-cita membentuk lembaga kepolisian yang humanis.
Jalan panjang menuju reformasi kultural Polri dapat dibagi dalam dua periode sepanjang era reformasi, yakni periode sebelum lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta periode setelah lahirnya UU tersebut.
Sebelum lahirnya UU tentang kepolisian, asa untuk membentuk lembaga kepolisian yang humanis digaungkan Roesmanhadi, Kapolri pertama pada era Reformasi. Pimpinan yang ke-14 Polri ini memiliki pandangan bahwa Polri harus menjadi lembaga yang dicintai dan disegani masyarakat. Artinya, pendekatan dengan masyarakat perlu dilakukan agar tak tercipta ruang yang berjarak antara polisi dan masyarakat.
Namun, perwujudan cita-cita untuk membentuk lembaga yang humanis belum begitu menjadi prioritas. Penyebabnya, pada awal periode Reformasi, Polri disibukkan oleh pengusutan sejumlah kasus besar, mulai dari tewasnya wartawan Bernas, Udin; kasus Marsinah; hingga tugas mengembalikan stabilitas keamanan setelah gejolak yang timbul menjelang pergantian rezim.
Selain itu, Polri pada awal Reformasi juga masih berada dalam pusaran kepentingan elite. Hal ini terlihat dari sejumlah persoalan yang timbul saat pergantian pucuk pimpinan Polri.
Pada tahun 2000, misalnya, saat Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memberhentikan dengan hormat Roesdihardjo sebagai Kapolri. Alasannya, Kapolri dianggap tidak menjalankan perintah untuk menangkap putra mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto (Kompas, 23 September 2000).
Keputusan ini menuai polemik karena DPR menilai Gus Dur tidak meminta persetujuan lembaga legislatif untuk memberhentikan Kapolri. Padahal, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII Tahun 2000 disebutkan bahwa Kapolri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden harus dengan persetujuan DPR. Polri saat itu berada di persimpangan antara konflik lembaga eksekutif dan legislatif.
Meski terkekang dengan konflik kepentingan elite, Polri masih mencari celah untuk memperbaiki citra di tengah masyarakat. Hal ini terlihat dari asa yang digaungkan Roesdihardjo saat menjadi Kapolri tahun 2000.
Pada masa awal kepemimpinannya, Roesdihardjo mencoba untuk mengembalikan lembaga kepolisian pada jati dirinya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Polisi dituntut untuk aktif turun ke lapangan sehingga tak hanya pasif menunggu laporan di kantor. Namun, Roesdihardjo tidak memiliki waktu yang cukup lama untuk menerapkan gagasan ini karena diganti oleh Presiden setelah menjabat sekitar sembilan bulan sebagai Kepala Polri.
Agenda Kapolri
Gagasan untuk membentuk kultur Polri yang humanis dan dekat dengan masyarakat semakin gencar disuarakan setelah pengesahan UU Kepolisian tahun 2002. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 yang mengatur tentang pemisahan serta peran dari TNI dan Polri.
Lahirnya UU ini semakin memperkuat kelembagaan Polri dalam menjalankan tiga tugas pokok, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dari tiga tugas utama itu, Polri dituntut untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat.
Tuntutan mendekatkan Polri dengan masyarakat direspons oleh setiap kepala Polri sejak UU Kepolisian disahkan hingga saat ini. Pada tahun 2005, misalnya, Sutanto yang menjabat sebagai Kapolri saat itu membawa misi pembaruan perilaku dan etika di lembaga kepolisian.
Polri dituntut untuk tidak hanya berperan sebagai penjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat, melainkan juga sebagai negosiator. Peran ini diharapkan menghilangkan citra polisi yang represif di tengah-tengah masyarakat (Kompas, 10 Juli 2005).
Upaya untuk membentuk lembaga kepolisian yang humanis juga disuarakan Bambang Hendarso Danuri saat mulai menjabat sebagai Kapolri tahun 2008. Sikap humanis anggota kepolisian menjadi bagian dari agenda reformasi kultural saat itu. Lembaga Polri juga dituntut untuk beradaptasi dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Narasi serupa digaungkan tiga Kapolri periode berikutnya, yakni Timur Pradopo, Sutarman, dan Badrodin Haiti. Pada era Timur Pradopo, fokus perbaikan kinerja Polri tidak hanya dilakukan pada bidang pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga pemberian akses informasi kepada publik yang lebih transparan terkait penanganan perkara.
Pada era Sutarman, pendekatan polisi kepada masyarakat dilakukan dengan menempatkan satu polisi dan satu anggota Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) dalam satu desa. Fokus lainnya dilakukan Badrodin Haiti dengan memilih jalan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah premanisme, khususnya di kawasan industri. Langkah ini merupakan upaya preventif untuk mencegah tindakan kriminal sekaligus mendekatkan Polri pada masyarakat.
Pola yang berbeda dilakukan dua pucuk pimpinan Polri terakhir, yakni Tito Karnavian dan Idham Aziz. Masyarakat tidak hanya menjadi subyek pasif, tetapi juga dilibatkan aktif dalam agenda kepolisian.
Baca juga: Polri Diminta Reformasi Diri
Pada era Tito, kerja sama dengan kelompok masyarakat sipil menjadi salah satu agenda untuk mengidentifikasi masalah sosial serta mencari upaya penyelesaiannya. Pada periode kepemimpinan Idham Aziz, partisipasi masyarakat bahkan coba diwujudkan sejak pendidikan dasar dengan wacana memasukkan kurikulum lalu lintas di pendidikan dasar.
Kendala
Setiap program yang dicanangkan oleh pimpinan Polri bermuara pada satu tujuan untuk memperbaiki citra polisi di tengah-tengah masyarakat. Sayangnya, upaya ini kerap kali terganjal sejumlah peristiwa yang turut menyorot perhatian masyarakat. Salah satunya ialah aksi kepolisian saat mengamankan demonstrasi.
Pada tataran elite, ditetapkannya jenderal polisi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penghapusan red notice Interpol dalam kasus Joko Tjandra turut menyita perhatian publik baru-baru ini. Hal ini menjadi batu sandungan bagi Polri di tengah upaya yang dilakukan dalam dua dekade terakhir untuk memperbaiki citra dan mendekatkan diri pada masyarakat.
Baca juga: Kabareskrim Sebut Napoleon Bonaparte Terlalu Banyak Alasan
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Litbang Kompas, terlihat korelasi antara pandangan publik tentang citra lembaga Polri dan sejumlah peristiwa yang melibatkan Polri. Pada Oktober 2019, misalnya, penilaian baik publik terhadap citra baik Polri turun dari 72 persen pada Oktober 2018 menjadi 66,8 persen. Sebelumnya, Polri menjadi sasaran kritik terkait penanganan aksi demonstrasi penolakan pengesahan sejumlah RUU pada September 2019.
Berdasarkan survei terakhir Litbang Kompas pada Januari 2021, sebanyak 71 persen responden menilai Polri memiliki citra baik. Hal ini tentu dapat menjadi modal sosial bagi lembaga kepolisian untuk melanjutkan agenda reformasi kultural untuk mendekatkan diri ke tengah masyarakat dan menjadi lembaga yang humanis.
(Litbang Kompas)