Hingga kini, Indonesia masih berfokus pada penyediaan BBM dan LPG operasional sehari-hari yang belum mencapai kuota sesuai harapan.
Oleh
BUDIAWAN SIDIK A
·5 menit baca
Cadangan penyangga energi atau CPE menjadi salah satu indikator ketahanan energi nasional yang masih sulit ditingkatkan. Kondisi kilang pengolahan minyak yang sebagian besar mulai tidak efisien serta minimnya kapastitas tempat penyimpanan (storage) minyak dan gas, mengakibatkan keterbatasan cadangan BBM dan LPG nasional.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), ketahanan energi didefinisikan sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau. Ketersediaan dan akses tersebut mensyaratkan jangka waktu yang panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan lingkungan hidup.
Ketahanan energi negara menjadi hal penting dalam situasi darurat energi, baik akibat bencana alam atau bencana sosial. Energi seperti bahan bakar minyak dan LPG akan relatif sulit ditemukan dan berharga sangat mahal dalam kondisi semacam itu.
Mahalnya harga energi dalam kondisi bencana potensial berdampak semakin luas pada komoditas ekonomi lain. Harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak tinggi bisa memicu konflik sosial.
Potensi kerawanan ini selalu dipetakan setiap tahun. Sejauh ini, Indonesia senantiasa berada situasi kerentanan cadangan penyangga energi.
Gambaran ini tecermin dari data yang dipublikasikan Dewan Ketahanan Energi (DEN) tahun 2019. Hasil monitor DEN menunjukkan indikator cadangan penyangga energi (CPE) sepanjang 2014-2018 selalu mencatat skor rata-rata di bawah 3 setiap tahunnya.
Dari skala nol hingga 10 ketahanan energi, skor rata-rata di bawah 3 menunjukkan rendahnya daya tahan cadangan penyangga energi Indonesia. Angka skor CPE selalu masuk dalam kategori rentan, sedikit lebih baik dari kategori sangat rentan (skor 0-1,99).
Pada tahun 2018, cadangan operasional BBM jenis premium, solar, dan LPG hanya bertahan pada kisaran 20-an hari. Dengan kata lain, kondisi CPE hanya bertahan pada level “zero” atau “nol hari” sehingga Indonesia dihadapkan pada potensi kerawanan krisis dan darurat energi yang sangat tinggi.
Meskipun secara ketentuan CPE itu bersifat wajib, tetapi dengan berbagai kendala di Indonesia akhirnya indikator ini belum mampu tersedia hingga sekarang.
Cadangan energi menjadi persoalan krusial mengingat CPE seharusnya mampu untuk mengatasi konsumsi energi hingga minimal 30 hari ke depan. Standar minimum ini pun belum termasuk cadangan operasional yang idealnya juga mampu bertahan hingga 30 hari ke depan.
Kondisi tersebut sangat jauh berbeda dengan sejumlah negara lainnya di dunia. Dalam 10 tahun terakhir terakhir, beberapa negara di kawasan ASEAN, Asia dan sebagian negara lainnya telah membangun secara bertahap infrastruktur penyangga energinya serta memiliki strategic petroleum reserve (SPR).
Negara-negara anggota International Energy Agency (IEA) diwajibkan memiliki SPR setara minimal 90 hari impor. Jepang memiliki SPR selama 140 hari yang terdiri dari cadangan minyak bumi selama 83 hari dan BBM 65 hari.
Sejumlah negara kawasan ASEAN juga memiliki SPR yang tinggi jauh meninggalkan Indonesia. Thailand memiliki memiliki SPR 81 hari (45 hari minyak bumi dan 36 hari BBM) dan SPR Singapura 60 hari (30 hari minyak bumi dan 30 hari BBM).
Kondisi ketahanan energi khususnya CPE di sejumlah negara tersebut jauh timpang dengan Indonesia. Dalam Laporan Ketahanan Energi 2019, dinyatakan pemerintah masih menyiapkan rancangan Peraturan Presiden Tentang Cadangan Penyangga Energi (CPE).
Substansi rancangan perpres tersebut memuat sejumlah hal. Di antaranya penentuan jenis; jumlah; waktu dan lokasi penyimpanan CPE; serta mekanisme penyediaan CPE dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dalam pembangunan dan pengelolaan CPE. Selain itu, juga memuat tentang sumber pembiayaan APBN dan sumber lainnya yang memungkinkan untuk pembangunan infrastruktur CPE.
Upaya tersebut merupakan langkah pemerintah untuk mengakselerasi program peningkatan cadangan energi nasional untuk menghadapi berbagai kemungkinan krisis dan kondisi darurat lainnya. Sayangnya, meskipun program pembangunan CPE telah masuk dalam agenda prioritas nasional tahun 2014-2019, tetapi hal tersebut belum juga terealisasi hingga sekarang karena terhambat sejumlah kendala.
Rancangan regulasi tentang penyediaan dan pengelolaan CPE belum juga selesai dirumuskan. Selain itu, juga terkendala kemampuan keuangan negara (APBN) dalam meningkatkan ketahanan energi nasional.
Guna meningkatkan ketahanan energi nasional di tengah segala macam keterbatasan tersebut maka pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia perlu lebih dioptimalkan lagi. Pencapaian bauran energi yang relatif masih rendah, yakni EBT sekitar 9 persen menjadi pekerjaan rumah bagi segenap stake holder untuk mengakselerasinya menjadi lebih tinggi lagi.
Harapan Indonesia yang dapat mencapai bauran energi hingga 23 persen EBT pada tahun 2025 dan 32 persen pada tahun 2050 harus lebih serius lagi diterapkan pada sejumlah kebijakan terkait energi. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan sejumlah regulasi dan kemudahan bagi para investor yang akan mengembangkan energi berbasis EBT.
Salah satu tujuannya agar bauran energi dapat meningkat secara drastis sehingga ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil kian berkurang. Tidak menutup kemungkinan, di masa depan CPE Indonesia bukan hanya bersumber dari energi fosil semata.
Cadangan penyangga energi dapat didukung oleh EBT yang dihasilkan secara mandiri. Selain itu, pemerintah perlu segera membangun strategic reserve dari proyeksi kondisi global beberapa tahun ke depan.
Diperkirakan harga energi fosil seperti migas di masa depan akan cenderung menurun perlahan-lahan dalam jangka panjang. Salah satunya karena kian maraknya pemanfaatan energi dari sumber EBT di berbagai belahan dunia.
Akan semakin banyak negara-negara di dunia akan mulai beralih penggunaan sebagian energinya dari fosil ke EBT. Misalnya saja untuk sektor transportasi yang mulai berangsur-angsur beralir ke mobil listrik. Bahkan, sejumlah negara di eropa mulai menerapkan kebijakan larangan kendaraan berenergi fosil dalam 10 tahun ke depan.
Bukan tidak mungkin hal ini juga akan segera diikuti oleh negara-negara lainnya di berbagai belahan dunia. Akibatnya, permintaan energi fosil secara global akan menurun secara bertahap sehingga diperkirakan harga jualnya akan cenderung lebih murah.
Kondisi tersebut menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat cadangan energinya. Pemerintah dapat membeli energi fosil berharga lebih murah dalam skala banyak untuk memperkuat cadangan energi domestik.
Oleh sebab itu, mulai dari sekarang Indonesia perlu untuk memperbanyak tempat-tempat penampungan atau storage migas di berbagai wilayah. Caranya bisa dengan membangun tangki-tangki penampungan baru.
Selain itu, Indonesia bisa memanfaatkan sumur-sumur lapangan tua yang telah tidak berproduksi sebagai storage untuk minyak mentah (crude oil) yang diimpor. Hal ini untuk memanfaatkan situasi harga minyak yang cenderung akan terus menurun sekaligus memperkuat ketahanan energi Indonesia.