Mengapa Mereka Membenci Tembakau?
Setidaknya ada dua alasan besar yang melatarbelakangi tembakau dan hasil turunannya harus ditekan sedemikian rupa penggunaannya.
Tembakau dan hasil turunannya, terutama rokok, merupakan komoditas yang selalu kontroversial di dunia, termasuk di negeri ini. Ia sedemikian rupa dibenci oleh pegiat-pegiat lingkungan dan kesehatan. Pada saat yang bersamaan, ia juga menjadi sumber penerimaan negara dan penopang jutaan petani serta pekerja yang menggantungkan hidupnya dari tembakau dan rokok.
Mengapa tembakau demikian dibenci?
Setidaknya ada dua alasan besar yang melatarbelakangi tembakau dan hasil turunannya harus ditekan sedemikian rupa penggunaannya. Pertama adalah alasan medis dan kedua alasan ekonomis.
Hasil-hasil penelitian terhadap rokok kerap menunjukkan, setiap batang rokok mengandung berbagai bahan kimia yang berbahaya untuk kesehatan, seperti gas karbon monoksida, kandungan tar, gas oksidan, dan arsenik, sehingga tiap batang rokok yang diisap akan meningkatkan risiko gangguan kesehatan pada tubuh.
Sederet penyakit yang cukup berbahaya disinyalir mengintai perokok aktif, seperti gangguan paru-paru, penyakit jantung koroner, kanker mulut, gangguan lambung, risiko penuaan dini, kanker kulit, mengganggu tingkat kesuburan seseorang, dan membuat sistem imun tubuh melemah. Tidak heran jika tekanan terbesar pada perilaku merokok terutama disampaikan oleh orang-orang yang bergerak di bidang kesehatan.
Saat ini, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat 1,3 miliar pengguna tembakau di seluruh dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) berjudul ”The Tobacco Control Atlas” (2016) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di ASEAN, yakni 65,19 juta orang atau 34 persen dari total penduduk Indonesia pada saat itu.
Baca juga : Partisipasi Industri Tembakau dan Keberpihakan Pemerintah
Sebagai perbandingan, jumlah perokok di Filipina 16,5 juta orang atau 15,97 persen dari jumlah penduduk. Di Vietnam, jumlah perokok 15,6 juta orang atau 16,5 persen dari jumlah penduduk.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa pada 2018 proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengonsumsi tembakau di Indonesia, baik diisap ataupun dikunyah, sebesar 33,8 persen. Pada kalangan laki-laki, proporsi ini mencapai 62,9 persen, sedangkan pada kaum perempuan 4,8 persen.
Merokok tidak hanya menjadi gaya hidup orang dewasa, bahkan anak-anak pun banyak yang terpapar gaya hidup ini. Hasil Riskesdas juga menyebutkan, usia pertama kali merokok terbanyak berada di rentang usia 15-19 tahun (52,1 persen).
Rentang tersebut adalah saat remaja berada dalam usia sekolah SMP-SMA. Sementara itu, hasil penelitian Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 terhadap remaja berusia 13-15 tahun menunjukkan, sebanyak 38,3 persen anak laki-laki dan 2,4 persen anak perempuan saat ini mengisap rokok.
Sebanyak 19,2 persen yang berstatus pelajar juga telah menjadi perokok. Sebanyak 57,8 persen pelajar terpapar asap rokok di rumah dan 66,2 persen pelajar terpapar asap rokok di ruang publik tertutup.
Baca juga : Pengetahuan Pelajar soal Bahaya Rokok Masih Tetap Rendah
Seperti halnya perokok aktif, perokok pasif pun dapat terkena dampak yang sama. WHO dalam laporan terbarunya (2020) melansir, tembakau membunuh lebih dari delapan juta orang setiap tahun.
Kematian tersebut disebabkan oleh penggunaan tembakau langsung atau perokok aktif. Sementara itu, sekitar 1,2 juta adalah non-perokok yang terpapar asap rokok orang lain (perokok pasif).
Laporan Riskesdas menyebutkan, proporsi frekuensi berada di dekat orang merokok di dalam ruang tertutup pada penduduk berumur di atas 10 tahun sudah sangat tinggi. Di DKI Jakarta mencapai 27,7 persen pada tahun 2018. Paling tinggi di Gorontalo, yakni 48,7 persen, diikuti Sumatera Barat 45,8 persen dan Sulawesi Tengah 43,5 persen. Paling rendah di Bali, yakni 20,3 persen.
Selain itu, dari sisi ekonomi rumah tangga, konsumsi rokok juga menyedot anggaran yang sangat besar dan berkontribusi terhadap kemiskinan masyarakat, terlebih pada negara-negara terkebelakang dan berkembang. Menurut WHO (2020), lebih dari 80 persen pengguna tembakau dunia tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Hasil survei demografi kesehatan Indonesia 2017 yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional pun memperkuat pernyataan tersebut. Kenyataannya, sebanyak 82 persen dari penduduk laki-laki dengan kelas ekonomi terbawah menjadi konsumen rokok terbesar.
Makin rendah kelas ekonominya, makin besar kemungkinan untuk merokok. Sementara pada kelas menengah ada kecenderungan berkurangnya perokok, pada kelas terbawah justru sebaliknya memperlihatkan tren naik.
Masyarakat dengan pekerjaan sebagai nelayan atau petani merupakan kelompok tertinggi pengonsumsi rokok. Proporsi merokok pada penduduk di usia 10 tahun ke atas di kalangan nelayan mencapai 63,7 persen atau dua kali lipat dari kalangan pegawai swasta. Pada kelompok petani/buruh tani, jumlah perokok mencapai 40,4 persen.
Hasil Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 memperlihatkan gambaran yang dramatis tentang besarnya pengeluaran untuk konsumsi rokok di Indonesia. Persentase pengeluaran per kapita sebulan untuk komoditas rokok dan tembakau mencapai 12,17 persen.
Pengeluaran ini merupakan komponen kedua terbesar setelah pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi (34,27 persen), serta lebih besar daripada pengeluaran untuk biji-bijian (bahan pangan padi, jagung, dan sebagainya) yang hanya 11,07 persen. Ini artinya, membeli rokok lebih penting daripada membeli beras.
Di perdesaan, konsumsi untuk tembakau dan rokok lebih besar daripada di kota. Jika di kota pengeluaran per kapita untuk membeli rokok hanya 10,96 persen, di perdesaan mencapai 14,17 persen atau sama dengan pengeluaran untuk biji-bijian (14,30 persen).
Ini artinya, di perdesaan merokok sudah bukan lagi sekadar gaya hidup. Merokok menjadi bagian dari konsumsi harian yang setara dengan makan nasi di rumah.
Besarnya persentase pengeluaran yang tiap bulan dialokasikan untuk membeli rokok menyebabkan sumbangan komoditas rokok terhadap garis kemiskinan terbilang besar. Rokok, terutama jenis rokok keretek filter, menjadi komoditas yang menyumbangkan pengaruh sebesar 10,98 persen bagi garis kemiskinan di perdesaan.
Di perkotaan bahkan mencapai 12,16 persen. Dengan besaran tersebut, komoditas rokok keretek filter menjadi penyumbang kedua terbesar dalam memberi pengaruh bagi garis kemiskinan. Angka itu tentu saja belum mencakup jenis rokok putih, rokok linting, dan tembakau susur. Rokok linting dan tembakau susur umumnya banyak di konsumsi di perdesaan, sedangkan rokok putih di perkotaan.
Baca juga : Pengendalian Produk Tembakau Disinergikan dengan Pertumbuhan Ekonomi
Dengan semua masalah yang ditimbulkan oleh tembakau dan rokok, kita bisa memahami mengapa kampanye-kampanye antirokok makin gencar dilakukan, organisasi-organisasi advokasi untuk berhenti merokok kian banyak, dan berbagai peraturan pembatasan merokok di tempat umum diciptakan.
Akan tetapi, apakah agenda-agenda tersebut akan efektif mengurangi jumlah perokok secara signifikan? Untuk menjawabnya, tampaknya, kita juga perlu memahami misteri yang ada di baliknya, yaitu mengapa orang mencintai rokok.
(LITBANG KOMPAS)