Perkembangan Kota dan Penyebaran Covid-19
Pembatasan sosial untuk mengurangi penyebaran virus tidak bisa diterapkan hanya pada kota besar. Pembatasan juga harus dilakukan secara berbarengan pada wilayah atau kota penyangga di sekitarnya.
Fenomena urban sprawl atau perluasan kota secara kurang terencana tidak hanya mengubah tatanan secara spasial, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Fenomena ini juga berkontribusi pada penyebaran Covid-19 terkait dengan mobilitas penduduk dan kurangnya koordinasi antar-pemerintah daerah.
Pemerintah pusat menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali tanggal 11-25 Januari 2021 untuk menekan persebaran Covid-19, khususnya di wilayah metropolitan.
Adapun kawasan metropolitan merupakan area perkotaan yang terpisah secara administrasi, tetapi terhubung secara spasial serta terdiri dari pusat kota dan wilayah sekitarnya. Kawasan ini, antara lain, Jabodetabek, Bandung Raya, Semarang Raya, Banyumas Raya, Solo Raya, Surabaya Raya, dan Malang Raya.
Langkah PPKM tepat karena pembatasan sosial untuk mengurangi penyebaran virus tidak bisa diterapkan hanya pada kota besar/induknya. PPKM juga harus diikuti pembatasan aktivitas masyarakat di wilayah penyangga.
Baca juga: Hidup di Kota Besar Tak Lagi Menyenangkan
Sayangnya, langkah tersebut terbilang terlambat diterapkan di beberapa kawasan metropolitan. Selama 10 bulan pandemi, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara kawasan hanya diterapkan di Jawa, seperti Jabodetabek, Surabaya Raya, dan Malang Raya. Selanjutnya, hal itu diterapkan di luar Jawa, yakni Kota Makassar-Kabupaten Gowa, Kota Palembang-Kota Prabumulih, Kota Banjarmasin-Kota Banjarbaru-Kabupaten Barito Kuala-Kabupaten Banjar, serta Kota Pekanbaru-Kabupaten Kampar-Kabupaten Siak-Kabupaten Bengkalis-Kabupaten Pelalawan.
Beberapa kawasan metropolitan lainnya, seperti Medan, Denpasar, Semarang, dan Surakarta, belum menerapkan pembatasan sosial dengan aturan PSBB. PSBB di kawasan perkotaan tersebut hanya berlaku di awal pandemi, April hingga Mei/Juni.
Selanjutnya, seiring dengan penerapan kebijakan adaptasi kebiasaan baru, aturan PSBB dihentikan. Hingga sekarang, hanya wilayah Jabodetabek yang masih menerapkan PSBB.
”Urban sprawl”
Perkembangan kota besar di Indonesia cenderung untuk menjalar ke kota-kota di sekitarnya. Fenomena urban sprawl terjadi karena kota induk sudah tidak bisa menampung kegiatan masyarakat. Pergerakan warga menyentuh batas kota dan sampai di kota sekelilingnya.
Wilayah urban menjadi pusat aktivitas pemerintahan, perkantoran, dan komersial. Adapun wilayah sub-urban menjadi tempat bermukim. Mobilitas antar-wilayah terjadi setiap hari dan terbentuklah aktivitas komuter. Penelitian ”Mobilitas Pekerja dan Risiko Covid-19 di Perkantoran Jabodebatek (Atika dkk, 2020) menyebutkan, urban sprawling berpotensi menyebarkan Covid-19 ke wilayah lain yang tak siap menangani pandemi.
Baca juga: Waspada, Wisma Atlet Kemayoran dan Pademangan Hampir Penuh
Hal tersebut sudah terjadi di Jabodetabek. Wilayah Bodetabek mulai kewalahan menampung pasien Covid-19. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, selama Desember lalu, 24-27 persen kapasitas fasilitas kesehatan di DKI terisi oleh pasien dari luar Jakarta, terutama dari Bodetabek. Catatan Pemprov DKI Jakarta per 17 Januari, 24 persen kapasitas RS di Jakarta terisi oleh pasien dari Bodebek.
Laboratorium di Jakarta juga ikut menampung spesimen hasil tes usap warga Bodetabek. Selama Desember 2020, dari 63.742 kasus positif, 26 persen di antaranya merupakan warga Bodetabek.
Pola penyebaran
Berkaitan dengan urban sprawl, transmisi awal kasus Covid-19 justru muncul di kawasan sub-urban yang selanjutnya menyebar ke kota induk. Pola penyebaran tersebut, menurut artikel ”Memahami Virus Corona Baru dalam konteks Sistem Perkotaan di Indonesia dan Beberapa Negara Dunia (Luthfi, 2020)”, terjadi secara global.
Di Indonesia, misalnya, kasus pertama terjadi Depok, kawasan penyangga Jakarta, yang diumumkan 2 Maret 2020. Transmisi awal tersebut menimpa seorang ibu dan anak perempuannya setelah bersosialisasi dengan warga Jepang di Kemang, Jakarta.
Dijelaskan dalam paparan tersebut, pola yang sama terjadi di luar Indonesia. Stockdorf, kota tersier di Bavaria, sebelah barat daya Munich, Jerman, menjadi titik transmisi pertama di Eropa. Di Italia, awal penyebaran terjadi di Codogno, kota kecil di Lombardia, Italia utara.
Pola penyebaran yang bermula dari kawasan sub-urban tersebut terjadi juga di Jabodetabek. Penyebaran Covid-19 di Jakarta di awal pandemi (Maret-April) terjadi pada kelurahan yang berbatasan langsung dengan wilayah tetangga.
Wilayah itu, antara lain, Kelurahan Duren Sawit yang bersebelahan dengan Kota Bekasi. Data laman Covid-19 Jakarta menyebutkan, hingga 3 April, Duren Sawit masuk dalam 10 besar kelurahan dengan kasus tertinggi. Hingga 17 Januari 2021, Duren Sawit mencatatkan angka tertinggi kedua, yakni 6.923 kasus positif Covid-19.
Mobilitas
Kemudahan konektivitas melahirkan mobilitas tinggi sekaligus penularan Covid-19 di satu kawasan metropolitan. Masyarakat yang rentan terpapar meliputi mereka yang masih bekerja/beraktivitas di luar rumah dan menggunakan moda transportasi umum.
Mereka mungkin terpapar di moda transportasi atau tempat bekerja/aktivitas. Hal tersebut berpotensi menjadi kluster keluarga jika protokol kesehatan selepas bepergian tak diterapkan dengan baik.
Bukan hanya perkantoran ataupun transportasi umum, melainkan juga fasilitas umum/sosial, seperti mal, pasar, tempat makan, taman, dan obyek wisata, berpotensi sebagai tempat penularan. Beberapa media memberitakan munculnya kluster pasar dan restoran, seperti tempat makan soto di Yogyakarta dan mangut di Semarang.
Merujuk pada penelitian ”How Mobility Habits Influenced the Spread of the Covid-19 Pandemic: Results from the Italian Case Study (Carteni dkk, 2020)”, jumlah kasus harian Covid-19 sangat terkait dengan perjalanan yang dilakukan 21 hari sebelumnya. Hal ini dibuktikan dari meningkatnya jumlah kasus setelah liburan panjang di beberapa kota tujuan wisata dan daerah asal. Sebagai contoh, kasus di Jakarta meningkat 47 persen sepanjang dua minggu setelah liburan panjang bulan Agustus 2020.
Koordinasi
Pembatasan kegiatan masyarakat di beberapa kawasan metropolitan harus konsisten dan kompak dilakukan oleh setiap pemerintah daerah. Sebagai contoh, pembatasan kegiatan di perkantoran dan fasilitas umum yang dilakukan di kota induk juga harus konsisten dijalankan kota sekelilingnya.
Jika tidak secara serempak dilakukan, dampaknya bisa dilihat pada kondisi Jakarta dan Bodetabek saat Jakarta menerapkan PSBB II (14/9/2020-11/10/2020). Jakarta secara ketat membatasi aktivitas masyarakatnya, termasuk ada larangan untuk makan di restoran dan menutup obyek wisata.
Namun, pemerintah Bodetabek masih cukup longgar melaksanakan PSBB. Akibatnya, warga Jakarta saat pembatasan berlangsung memilih menikmati fasilitas umum di Bodetabek. Hal tersebut bisa dilihat dari tingginya mobilitas warga Jawa Barat dan Banten di taman dan tempat rekreasi.
Rata-rata mobilitas di kawasan rekreasi dan ritel Jakarta berkurang hingga 41 persen. Namun, di Banten dan Jabar hanya berkurang sekitar 20 persen.
Hal serupa tampak pada mobilitas di taman. Mobilitas di taman di Jakarta berkurang hingga 71 persen. Sebaliknya di Banten dan Jabar, ada beberapa hari mobilitas warga di taman kota meningkat hingga 10 persen.
Sekarang kita tunggu bagaimana hasil pembatasan kegiatan masyarakat di sejumlah kawasan metropolitan di Jawa-Bali. Apakah berhasil menurunkan kasus atau kasus akan terus meningkat?
(LITBANG KOMPAS)