Dua Sisi Bisnis Barang Bekas
Penggunaan barang bekas berdampak pada penghematan sumber daya serta pengurangan pencemaran udara.
Pemanfaatan barang bekas untuk dikonsumsi kembali menjadi fenomena global yang menguat sejak beberapa tahun belakangan hingga saat terjadinya pandemi Covid-19. Salah satunya ialah pemanfaatan pakaian bekas yang dikenal dengan istilah ”thrifting”.
Istilah thrifting juga kerap kali dikenal dengan istilah lain, seperti barang secondhand dan barang preloved. Merujuk Google Trends, kata thrift mencapai puncak popularitas (100 poin) dalam waktu lima tahun terakhir pada 28 Juni-4 Juli 2020 dan 26 Juli-1 Agustus 2020.
Tren mengonsumsi barang bekas mendunia, salah satunya terjadi di Amerika Serikat (AS). Merujuk laporan situs jual beli barang bekas ThredUP 2019, kontribusi barang bekas terhadap total pasar AS pada 2009 hanya 3 persen terhadap total pasar di AS dan kini menjadi 7 persen atau 28 miliar dollar AS pada 2019.
Untuk kategori thrift store (toko mode bekas) saja, laporan lembaga riset Ibisworld memperkirakan total pasar di AS mencapai 10,3 miliar dollar AS pada 2020, meningkat sekitar 7 persen dalam lima tahun terakhir. Peningkatan pasar barang mode bekas juga terpantau di Eropa dan Asia meski angka total perdagangan tak dapat ditemukan.
Tak ketinggalan, Indonesia pun menjadi sasaran pasar barang bekas. Salah satu situs jual beli barang bekas daring di Indonesia, Tinkerlust, pernah menghitung, pasar barang bekas di Indonesia pada akhir 2019 diperkirakan mencapai 998 juta dollar AS atau setara Rp 13,9 triliun.
Dalam wawancara yang dimuat di laman Marketeers, CEO Tinkerlust Samira Shihab mengungkapkan bahwa kini banyak orang memandang thrifting sebagai produk berkualitas tinggi yang bisa dibeli dengan harga terjangkau.
Menjadi industri
Salah satu alasan masyarakat menggunakan kembali barang bekas ialah harganya lebih murah daripada barang baru. Hal ini penting mengingat pandemi Covid-19 berdampak pada penurunan pendapatan sehingga mendorong masyarakat lebih berhemat.
Mengutip laporan ThredUP, empat dari lima responden di AS cenderung membeli barang bekas saat uang mereka menipis. Adapun data dari laman census.gov AS menyebutkan, hampir seperlima konsumen AS mampir ke toko mode bekas setiap tahun, hampir setara dengan kunjungan mereka ke department store besar.
Dengan kata lain, barang bekas telah menjadi substitusi atau barang pengganti saat seseorang tak dapat menjangkau produk baru. Hal ini layaknya seseorang mengganti konsumsi beras menjadi umbi-umbian atau jagung ketika terjadi kelangkaan beras dan harganya menjadi mahal.
Baca juga: Hemat Baju demi Lingkungan Sehat
Di antara banyaknya barang bekas yang diperdagangkan, pakaian menjadi salah satu produk yang paling dicari konsumen. Di Indonesia, sembilan dari 10 produk barang bekas yang beredar di pasaran ialah pakaian.
Bahkan, sebenarnya perdagangan pakaian bekas sudah menjadi industri besar dan berasal dari impor. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor pakaian dan gombal bekas tahun 2020 hingga November sebanyak 5,5 juta ton.
Angka ini meningkat 28 persen dari volume impor sepanjang tahun 2019 yang mencapai 4,3 juta ton. Tiga tahun belakangan angka impor gombal memang terus meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa di tengah pandemi Covid, antusiasme masyarakat berburu pakaian bekas tidak surut.
Meski berjualan secara konvensional terbatas karena ada pembatasan wilayah dan aktivitas masyarakat, pelaku thrifting, baik penjual maupun pembeli, tidak kekurangan cara. Pasar daring menjadi jawaban dengan memanfaatkan media sosial. Berdasarkan penelusuran, setidaknya 61 akun Instagram menggunakan kata thrift dengan maksud menjajakan barang bekas.
Emisi karbon
Di sisi lain, kepedulian terhadap lingkungan kini juga semakin menjadi pertimbangan. Pengurangan eksternalitas negatif atau dampak tidak langsung terhadap lingkungan menjadi salah satu tujuan membeli pakaian bekas.
Baca juga: Militansi Mode Lambat
Laporan McKinsey bertajuk ”The State of Fashion 2021” menunjukkan, pemakaian mode bekas menjadi salah satu cara mendorong sirkularitas (circularity) dan masa depan yang berkelanjutan (sustainability).
Penggunaan barang bekas jelas berdampak pada penghematan sumber daya dan mengurangi pencemaran udara. Sebagai contoh, merujuk publikasi World Economic Forum, industri pakaian menghasilkan 10 persen dari total emisi karbon dunia. Emisi karbon dari total industri pakaian dunia bahkan melampaui gabungan pencemaran karbon yang dihasilkan industri penerbangan dan transportasi laut internasional.
Industri pakaian juga menjadi konsumen terbesar kedua pasokan air dunia. Sebagai gambaran, produksi sepotong kemeja membutuhkan 700 galon air atau setara 3.192 liter. Adapun produksi sepotong celana jins membutuhkan 2.000 galon air atau setara 9.120 liter. Sebagai perbandingan, kebutuhan air minum per orang delapan gelas atau 2,5 liter per hari sehingga dalam setahun 912,5 liter.
Namun, ada kritik terhadap fenomena bisnis pakaian bekas, antara lain, kenyataannya, hanya sedikit dari total pakaian bekas yang dijual itu laku terbeli. Sebagian besar di antaranya terpaksa dibuang atau dijual lagi ke penjual dengan level harga di bawahnya. Artinya, pada akhirnya, pakaian bekas akan berakhir di tempat sampah dan mencemari lingkungan.
Demikian pula sebagian besar penjual berusaha mendapatkan keuntungan tinggi dari barang yang sebetulnya sudah sangat turun nilainya sehingga sebagian kalangan menilainya tidak etis. Kalaupun dijual, seharusnya barang itu bernilai sangat murah, bahkan disumbangkan.
Pro dan kontra tentu ada, tetapi thrift fashion tetap memiliki celah untuk mendukung apa yang dinamakan circularity yang merujuk pada publikasi McKinsey. Upaya menghemat sumber daya dan mengurangi polusi ditempuh, antara lain, dengan mengonsumsi kembali produk yang bisa dipakai ulang.
(LITBANG KOMPAS)