Pertimbangan politik memilliki andil dalam penerimaan vaksin Covid-19 di Indonesia.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Salah satu kesimpulan dari survei terbaru Litbang Kompas, yang dilakukan terhadap 2.000 responden di 34 provinsi seluruh Indonesia pada awal tahun 2021, menunjukkan bahwa kesediaan masyarakat divaksinasi Covid 19 terbilang tinggi. Tidak kurang dari tiga perempat bagian responden (76 persen) yang saat ini mengaku bersedia divaksinasi. Sementara tersisa seperempat bagian (24 persen) yang cenderung ragu-ragu hingga menolak divaksinasi.
Tingginya proporsi masyarakat yang bersedia divaksinasi, jika ditelusuri lebih jauh, disertai dengan beragam pertimbangan. Menariknya, kesediaan divaksinasi bagi bagian terbesar masyarakat cenderung lebih banyak disertai kalkulasi di luar nilai guna manfaat (used value) medis dari vaksin itu sendiri.
Dari seluruh yang bersedia divaksinasi, hanya 26,8 persen yang menyatakan kesungguhan divaksinasi lantaran meyakini benar konsekuensi nilai manfaat yang diperoleh dari vaksin Covid-19. Justru bagian terbesar (49,2 persen) cenderung melandasi sikap kesediaan divaksinasi dengan mengedepankan berbagai kalkulasi ekonomi, politik, sosial keagamaan.
Dari berbagai dimensi yang berpengaruh, pertimbangan ekonomi menjadi yang terbesar. Pertimbangan ekonomi yang dimaksud dalam survei ini terkait dengan besaran nilai ekonomi yang dipertukarkan terhadap manfaat yang diperoleh dari vaksin. Survei menunjukkan, masyarakat secara ekonomi merasa terbebani.
Tatkala Presiden Joko Widodo, 15 Desember 2020, mengambil kebijakan membebaskan pembiayaan vaksinasi, terbukti mampu mengalihkan penyikapan 15,4 persen responden yang sebelumnya enggan divaksinasi. Dengan kebijakan ekonomi vaksin tersebut, kesediaan masyarakat divaksinasi siginifikan meningkat. Tercatat 53,4 persen yang bersedia divaksinasi.
Selain faktor ekonomi vaksin, pertimbangan politik, khususnya yang juga melibatkan kehadiran sosok Jokowi, juga menjadi faktor yang menarik dicermati. Sebelumnya, tidak sedikit perdebatan yang mempersoalkan kebijakan vaksinasi sebagai langkah penting yang diambil pemerintah dalam mengakhiri kegelapan pandemi.
Sikap-sikap yang cenderung resisten mewarnai kalangan yang bersikap skeptis terhadap vaksin. Tidak jarang pula yang merasa enggan divaksinasi lantaran pandangan miring terhadap pilihan jenis vaksin yang diproduksi dari negara tertentu. Ujung dari perdebatan lebih bersifat politis yang justru menyasar pada tantangan kesediaan presiden sebagai sosok pertama yang divaksinasi.
Sampai pada titik ini, vaksin tidak lagi ditempatkan dalam arti sesungguhnya. Ia telah dipertukarkan sebagai atribut politik. Selanjutnya, tatkala Presiden Jokowi menyatakan kesediaan dan mengambil posisi terdepan saat vaksinasi dilakukan, maka vaksin telah ditempatkan sebagai simbol politik yang coba memengaruhi masyarakat.
Hasilnya terbukti punya pengaruh. Dalam survei ini, misalnya, kehadiran Presiden Jokowi sebagai sosok pertama yang divaksinasi Covid 19 mampu memikat hingga 7,1 persen responden yang sebelumnya resisten divaksinasi.
Berdasarkan hasil survei ini, tidak dapat disangkal bahsa Presiden Jokowi menjadi faktor determinan dalam minat vaksinasi. Lebih tepatnya, faktor Jokowi merupakan variabel penekan (suppressor variable) yang ikut andil memperbesar kesediaan masyarakat divaksinasi meski sesungguhnya sosok Jokowi tidak terkait dengan nilai guna vaksin.
Akan tetapi, menarik dicermati pula jika dalam ranah politik, sikap-sikap yang saling bertentangan ataupun saling beroposisi jamak terbentuk. Dalam hal ini, sekalipun posisi politik Jokowi sebagai presiden dinobatkan secara konstitusional yang diraih dari kontestasi politik demokratis, tidak serta-merta menghilangkan eksistensi kelompok yang beroposisi terhadap kekuasaannya.
Dalam kondisi semacam ini, keberadaan faktor Jokowi tidak lagi menjadi pendongkrak minat, tetapi dapat saja menjadi penghambat (distorter variable) minat kalangan yang berseberangan sikap dengannya untuk divaksinasi.
Kehadiran Presiden Jokowi sebagai sosok pertama yang divaksinasi Covid 19 mampu memikat hingga 7,1 persen responden yang sebelumnya resisten divaksinasi.
Gambaran dua wajah kehadiran faktor Jokowi semacam itu tecermin dari hasil survei. Apabila masing-masing responden dibedakan preferensi politiknya, yaitu kalangan yang menjadi pemilih Jokowi dan yang bukan pemilih Jokowi, tampak signifikasi perbedaannya.
Dalam hal ini, mereka yang bukan pemilih Jokowi cenderung lebih besar keragu-raguan dan tingkat penolakannya divaksinasi. Jika pada kelompok bukan pemilih Jokowi ada 22,2 persen yang ragu dan cenderung menolak, maka pada para pemilih Jokowi hanya 12,2 persen.
Sebaliknya pada kesediaan divaksinasi, hasil survei menunjukkan, jika kalangan yang menjadi pemilih Jokowi tampak lebih besar yang menyatakan kesediaan divaksinasi (34,5 persen) dibandingkan dengan kelompok bukan pemilih Jokowi (20,1 persen). Distribusi kesediaan dan penolakan masyarakat yang berbeda tersebut menunjukkan kehadiran faktor Jokowi yang memperbesar sekaligus menghalangi kesediaan divaksinasi.
Elaborasi lebih jauh terkait dengan andil faktor Jokowi dalam menghalangi langkah sebagian kalangan divaksinasi tecermin pada wilayah-wilayah yang menjadi sentral kekalahan Jokowi pada Pemilu 2019. Dengan mengambil pembuktian kasus di Provinsi Sumatera Barat, misalnya, tampak jika faktor Jokowi berefek.
Pada Pemilu 2019, Provinsi Sumatera Barat menjadi ladang pembantaian pilihan suara Jokowi. Saat itu hanya sekitar 14 persen suara dukungan pemilih diraih Jokowi. Proporsi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan capaiannya pada Pemilu 2014 tatkala Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla yang meraih 23,1 persen suara.
Apabila dikaitkan dengan kebijakan vaksinasi saat ini, tampak jika kesediaan ataupun penolakan divaksinasi berelasi dengan pilihan presiden. Secara keseluruhan, hasil survei menunjukkan bahwa di Sumatera Barat, penolakan vaksinasi terbilang di atas rata-rata nasional.
Sebanyak 19,8 persen menyatakan penolakan divaksinasi. Selain itu, 27 persen lainnya ragu dan cenderung menolak. Dengan demikian, tidak kurang 46,8 persen yang resisten terhadap vaksinasi.
Penolakan yang terbilang besar tersebut menjadi semakin tinggi jika kepada setiap responden dipilah berdasarkan pilihan politik mereka saat Pemilu 2019. Hasil survei mengungkapkan, 20,4 persen yang bukan pemilih Jokowi menolak divaksinasi.
Selain itu, 29 persen responden lainnya ragu dan cederung menolak vaksinasi. Jika digabungkan, kelompok masyarakat yang menolak ataupun mendukung vaksinasi menjadi sama besar.
Bagi para pemilih Jokowi, resistensi penolakan vaksinasi relatif lebih kecil. Tercatat hanya 12 persen saja yang menolak dan sebanyak 9,1 yang ragu-ragu. Bagian terbesar, menyatakan kesiapannya divaksinasi.
Derajat resistensi yang lebih tinggi tampak jika ditelusuri hingga ke satuan wilayah yang lebih kecil (kabupaten/kota). Semakin signifikan tampak pada wilayah Bukittinggi, Payakumbuh, dibandingkan dengan Padang dan Solok.
Semua penggambaran semacam ini semakin menunjukkan jika resistensi vaksinasi lebih banyak diekspresikan oleh mereka yang memang sejak awal memilih berseberangan sikap dan pilihan politik pada pemerintahan saat ini. (LITBANG KOMPAS).