Selama pandemi Covid-19, kejahatan siber di Indonesia meningkat. Perlindungan data pribadi menjadi tantangan tatkala aktivitas berbagi data kian menjadi keniscayaan.
Oleh
Susanti Agustina S/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Tantangan penanganan pandemi Covid-19 tidak saja berkaitan dengan urusan kesehatan dan ekonomi. Dampak dari pemanfaatan teknologi informasi yang makin meningkat di masyarakat juga turut membawa persoalan tersendiri, yaitu maraknya kejahatan siber.
Kebijakan pembatasan sosial yang dilakukan sebagai upaya meredam penyebaran Covid-19, pada akhirnya menguatkan ketergantungan pada teknologi. Akselerasi transformasi digital terjadi di tengah ketidaksiapan masyarakat pengguna maupun regulator.
Data Polri menunjukkan sepanjang Januari hingga November 2020, tercatat 4.250 kejahatan siber ditangani Bareskrim Polri. Jenis kejahatan siber yang menonjol antara lain penipuan daring, penyebaran konten provokatif, dan akses ilegal. Juga penyebaran malware, ransomware, serta spam email.
Selain kejahatan siber, intensitas serangan siber yang mengancam keamanan data masyarakat juga meningkat. Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional, Badan Siber dan Sandi Negara, mencatat, selama periode Januari-November 2020 terjadi lebih dari 423 juta serangan siber.
Jumlah serangan tahun 2020 itu meningkat dibanding tahun 2018 dan 2019, yang mencapai masing-masing 232,4 juta dan 290,3 juta serangan. Serangan siber yang memanfaatkan isu Covid-19 yang paling banyak adalah trojan, disusul aktivitas pengumpulan informasi, dan upaya menyerang aplikasi web.
Tak pelak, maraknya kejahatan dan serangan siber ini akhirnya menjadikan upaya menjaga privasi individu kian penting di tengah era normal baru ini. Apalagi jumlah pengguna internet di Indonesia diperkirakan mencapai 196,7 juta jiwa per kuartal II 2020. Data Bank Indonesia juga menyebutkan, transaksi e-commerce di Agustus 2020 naik jadi 140 juta, dibanding Agustus 2019 yang 80 juta transaksi.
Hal ini diikuti oleh transaksi perbankan digital yang juga meningkat. Peningkatan paling signifikan terjadi untuk transaksi mobile banking yang pada Agustus 2020 mencapai 12 juta transaksi, naik 4 juta transaksi dibanding Agustus 2019.
Peningkatan serangan siber kala pandemi Covid-19 terjadi karena pengguna mengunjungi atau mengunduh, serta menggunakan beragam situs dan aplikasi dengan intensi yang lebih tinggi dibanding sebelumnya.
Jutaan data pribadi masyarakat terkait berbagai aktivitas tersebut dipergunakan dan disimpan berbagai pihak, baik pemilik aplikasi media sosial, pemilik jaringan perbankan, fintech, pengelola email maupun pihak lainnya.
Perlindungan data
Perlindungan negara dibutuhkan agar data pribadi masyarakat aman dari kejahatan ataupun serangan siber. Hal ini karena keamanan siber di Indonesia masih longgar. Peringkat pengelolaan keamanan siber di Indonesia masih ada di urutan 41 dari 175 negara dengan skor 0,776.
Peraturan tentang data pribadi saat ini tersebar di sejumlah undang-undang dengan rumusan berbeda. Upaya pemerintah dan DPR yang kini tengah membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) ditunggu publik agar data pribadi warga terjamin keamanannya.
Bagaimanapun ada kekhawatiran yang tinggi di masyarakat akan keamanan data pribadi ketika ketergantungan terhadap teknologi informasi makin meningkat saat pandemi. Hal ini seperti tercermin dari hasil jajak pendapat Kompas pada Juli 2020 yang menyebutkan, hampir seluruh responden (91 persen) sebenarnya khawatir akan bocornya data pribadi mereka, serta khawatir data itu digunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab (Kompas, 27/7/2020).
Hasil jajak pendapat Kompas itu juga menangkap sikap dari 63 persen responden yang menilai perlindungan negara terhadap data pribadi warganya belum memadai. Tentu dengan hadirnya RUU PDP harapan masyarakat akan perlindungan negara tersebut bisa terwujud.
Apalagi sudah banyak negara memiliki UU terkait perlindungan data pribadi. Singapura sejak 2012 memiliki Personal Data Protection Act dan Uni Eropa tahun 2016 memiliki instrumen hukum perlindungan data dalam General Data Protection Regulation. Regulasi ini merupakan evolusi dari The European Data Protection Directive tahun 1995.
Direktur Eksekutif Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria mengakui, dalam kondisi pandemi ketiadaan perlindungan hukum yang pasti pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi warga negara. Menurutnya, perlindungan data pribadi pada akhirnya juga akan melindungi data negara.
“Negara wajib melindungi data warganya, terlebih sangat mungkin kebocoran data negara bermula dari kebocoran data pribadi. Melindungi data pribadi berarti melindungi data negara,” ujar Hariqo.
Apalagi saat ini ada kebijakan berbagi data antaraplikasi digital seperti WhatsApp dan Facebook tanpa sepengetahuan pemilik data.
“Indonesia harus belajar dari upaya berbagi data tersebut. Kondisi serupa mungkin akan dilakukan aplikasi-aplikasi lain di dunia digital. Pemerintah harus siap merespons langkah media sosial dan aplikasi lainnya, ” ungkap Hariqo.
Kesadaran
Selain berharap pada kehadiran UU PDP, diperlukan juga kesadaran publik dalam melindungi data pribadinya. Hal ini penting karena pengguna sosial media cenderung abai akan hal ini. Hal ini terlihat dari banyaknya posting-an yang justru mengekspos konten data pribadi, baik di platform media sosial, maupun di berbagai grup jejaring sosial.
Saat menggunakan sejumlah platform sistem elektronik, baik e-‐commerce, transportasi online, fintech, dan lainnya, pada umumnya pengguna belum secara utuh memahami kebijakan privasi, syarat, dan ketentuan layanan dari setiap aplikasi. Terlebih, pemahaman yang terkait dengan penggunaan data pribadi.
Artinya, edukasi publik menjadi salah satu hal yang penting untuk diatur dalam regulasi perlindungan data pribadi. Publik juga perlu literasi digital untuk bijak saat mengunakan teknologi digital agar bisa terhindar dari kejahatan siber.