Semua Harus Patuh Protokol Kesehatan, tapi…
Pandemi menjadi tantangan dalam pelaksanaan survei di lapangan bagi Litbang ”Kompas”. Pengalaman peneliti terjun ke responden di tengah pandemi dengan protokol kesehatan menjadi warna tersendiri lika-liku penelitian.
Berkunjung ke beberapa kota dan menempuh empat kali penerbangan dalam tempo delapan hari, saat kasus Covid-19 menyentuh rekor tertinggi, cukup memacu adrenalin. Satu-dua fasilitas layanan publik di sejumlah daerah cukup ketat mematuhi protokol kesehatan, sementara sebagian lainnya tampak kewalahan di tengah keterbatasan sumber daya yang tersedia.
Pelaksanaan survei adalah hal lumrah yang dilakukan oleh Litbang Kompas setiap tahunnya. Setiap peneliti biasanya akan disebar ke sejumlah daerah di Indonesia, dari Aceh hingga Papua, untuk melaksanakan kegiatan survei ataupun penelitian kualitatif tentang beragam topik, seperti evaluasi pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya.
Layaknya sebuah penelitian, belum lengkap rasanya jika tidak dibumbui oleh hambatan dan tantangan di lapangan. Pernah suatu ketika, seorang peneliti nyaris terjebak dalam bencana gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, September 2018, saat bertepatan dengan pelaksanaan survei evaluasi kinerja pemerintahan.
Tepat satu tahun kemudian, September 2019, giliran kabut asap yang menjadi hambatan dalam melakukan penelitian. Perjalanan darat antarprovinsi harus ditempuh dari Aceh ke Medan yang saat itu terdampak kabut asap sehingga mengganggu penerbangan.
Tantangan serupa kembali hadir dalam pelaksanaan survei pada awal Januari 2021 saat Litbang Kompas melakukan penelitian tentang respons masyarakat terhadap vaksin Covid-19 beserta sejumlah topik penelitian lainnya. Tantangan yang dihadapi bukan lagi bencana alam, kabut asap, ataupun gangguan teknis penelitian, melainkan sebaran penyakit tak kasatmata: Covid-19.
Praktis, penelitian ini dipersiapkan dengan cara yang berbeda. Disinfektan, pelindung wajah, penyanitasi tangan, hingga tes antigen menjadi hal mutlak yang harus dipersiapkan. Wawancara dengan responden juga harus dilakukan dengan menjaga jarak. Protokol kesehatan kian menjadi hal penting seiring semakin meningkatnya kasus positif Covid-19 setelah liburan akhir tahun usai.
Dalam pelaksanaan survei, para peneliti biasanya akan melakukan penelitian pada dua hingga tiga provinsi dan menempuh perjalanan pada beberapa kabupaten/kota di setiap provinsi. Hal serupa dilakukan dalam penelitian pada Januari tahun ini. Sebagian peneliti harus berkunjung pada beberapa kabupaten/kota, baik yang termasuk zona merah maupun zona kuning Covid-19, untuk melakukan penelitian dan wawancara tatap muka.
Kondisi ini tentu cukup memacu adrenalin. Pasalnya, pada akhir 2020, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah memprediksi akan terjadi kenaikan angka kasus positif Covid-19 secara harian sebagai dampak dari libur akhir tahun. Prediksi ini lahir berdasarkan fakta pada momen liburan panjang sebelumnya yang selalu diiringi dengan kenaikan jumlah kasus positif.
Baca juga: Kasus Aktif Capai Rekor Baru
Protokol kesehatan
Meski diiringi sejumlah risiko, penelitian harus tetap dilakukan dengan agenda utama untuk menangkap respons masyarakat terkait vaksinasi massal yang akan dilakukan oleh pemerintah pada tahun ini. Penelitian ini amat penting untuk memetakan sikap masyarakat dan penentuan strategi yang harus diambil agar pendekatan kekebalan komunitas, herd immunity, melalui vaksinasi dapat tercapai.
Namun, layaknya setiap penelitian, selalu terdapat hasil observasi lainnya yang menarik diamati di luar topik utama penelitian. Kali ini, hasil observasi yang menarik dicermati adalah penerapan protokol kesehatan selama perjalanan ke sejumlah daerah.
Saya ditugaskan untuk melakukan penelitian di enam kota yang mencakup dua provinsi selama delapan hari. Di daerah Sumatera Barat, penelitian dilakukan di Kota Padang dan Bukittinggi. Sementara di Sumatera Utara, penelitian dilakukan di Medan, Deli Serdang, Pematangsiantar, dan Simalungun. Di sejumlah daerah inilah tampak kelonggaran penerapan protokol kesehatan dalam sejumlah fasilitas layanan publik.
Pemerintah jauh-jauh hari telah memperketat penerapan protokol kesehatan selama liburan akhir tahun. Kewajiban bagi penumpang penerbangan untuk memiliki hasil tes negatif antigen, hingga melakukan sosialisasi secara gencar dalam penerapan 3M, yakni menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, adalah langkah preventif yang dilakukan untuk mencegah penambahan kasus.
Sayangnya, protokol kesehatan belum diterapkan secara optimal pada berbagai fasilitas layanan publik. Salah satunya terlihat pada sejumlah bandar udara. Di satu sisi, fasilitas untuk menerapkan protokol kesehatan telah disiapkan oleh sejumlah bandara. Namun, terbatasnya jumlah petugas di bandara menyebabkan terjadinya penumpukan penumpang sehingga jaga jarak sulit dilakukan.
Hal ini salah satunya terlihat di Bandar Udara Internasional Minangkabau, Sumatera Barat. Pada Selasa, 5 Januari 2021, sekitar pukul 16.00, hanya terdapat dua petugas yang melayani validasi hasil tes antigen calon penumpang. Dampaknya, terjadi antrean sebelum memasuki terminal keberangkatan.
Penumpukan penumpang yang lebih panjang juga tampak saat proses check in salah satu maskapai penerbanyan berbiaya rendah. Jaga jarak sulit untuk dilakukan karena terbatasnya area antrean.
Kondisi serupa terlihat di Bandar Udara Internasional Kualanamu di Deli Serdang, Sumatera Utara. Pada 9 Januari 2021 pukul 18.00, antrean panjang harus dilalui oleh calon penumpang saat melakukan validasi hasil tes antigen. Persis seperti di Bandara Internasional Minangkabau, hanya terdapat dua petugas yang melakukan validasi kepada semua calon penumpang saat itu.
Beberapa penumpang tampak panik karena harus melakukan penerbangan pada pukul 19.00. Satu-dua orang di antaranya memilih untuk menyerobot antrean dan langsung meminta prioritas kepada petugas karena sudah mendekati jadwal penerbangan.
Menurut salah seorang petugas pengamanan bandara (aviation security) di Bandara Kualanamu, jaga jarak cukup sulit dilakukan dalam antrean pemeriksaan antigen meski telah diberi peringatan oleh petugas. Penanda antrean yang telah ditempel di lantai bandara pun hanya menjadi hiasan semu yang luput dari perhatian.
Hal ini tidak terlepas dari minimnya jumlah petugas dalam melakukan validasi hasil tes antigen. Akibatnya, calon penumpang yang antre cukup lama terus mendesak untuk maju dan abai dalam menjaga jarak. Bahkan, beberapa di antaranya memilih untuk menurunkan masker ke bawah dagu.
Kondisi ini tentu cukup mengkhawatirkan saat jumlah kasus positif Covid-19 terus memuncak. Hingga 10 Januari lalu di Sumatera Utara, dari 33 kabupaten/kota, 27 daerah atau 82 persen di antaranya masuk pada kategori risiko sedang atau satu tingkat di bawah zona merah. Sementara di Sumatera Barat, semua daerah termasuk pada zona risiko sedang.
Baca juga: Vaksinasi Covid-19 Dimulai di Tengah Lonjakan Kasus di Medan
Antre Antigen
Selain di bandara, penerapan protokol kesehatan juga terlihat cukup longgar di sejumlah layanan publik lainnya. Saat tes antigen, misalnya, kerumunan tidak dapat dihindari saat antre di sejumlah fasilitas layanan kesehatan, baik di Sumatera Barat maupun di Sumatera Utara.
Secara keseluruhan, saya melakukan tes antigen empat kali sepanjang pelaksanaan survei. Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang saya kunjungi adalah Rumah Sakit Rasyida Siantar di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara.
Saat tiba sekitar pukul 07.50 pada 8 Januari 2021 untuk tes antigen, saya harus rela menunggu hingga sore hari karena memperoleh nomor antrean 86. Tes antigen ini diperlukan untuk melakukan perjalanan udara kembali ke Jakarta.
Menurut petugas keamanan di rumah sakit, masyarakat sekitar biasanya telah datang sejak pukul 03.00 dini hari guna memperoleh nomor antrean lebih awal. Selain di rumah sakit ini, tes antigen juga dapat dilakukan di Rumah Sakit Tentara yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Rumah Sakit Rasyida Siantar. Terbatasnya jumlah fasilitas layanan kesehatan yang melayani tes antigen menyebabkan terjadinya penumpukan antrean.
Sebagian masyarakat yang tiba di atas pukul 09.00 harus rela gigit jari karena kehabisan jatah harian untuk tes antigen. Saat itu, hanya tersedia 130 kuota untuk tes antigen dan 25 kuota untuk rapid test antibodi.
Beruntung, pihak rumah sakit sigap dalam menerapkan protokol kesehatan di tengah banyaknya warga yang tidak berhenti berdatangan hingga sore hari untuk menanyakan ketersediaan kuota tes antigen. Sejak siang hingga sore hari, penyemprotan disinfektan dilakukan dua kali pada area antrean di dalam rumah sakit. Meski begitu, jaga jarak cukup sulit diterapkan saat antre di luar rumah sakit. Beberapa warga yang antre tampak masih mengobrol tanpa menggunakan masker.
Kondisi ini setidaknya menggambarkan bahwa belum semua daerah siap untuk menyediakan fasilitas tes antigen. Kebijakan pemerintah pusat terkait kewajiban tes antigen yang hanya berlaku 3 x 24 jam saat itu berdampak pada banyaknya warga yang harus melakukan tes dua hingga tiga hari jelang penerbangan secara bersamaan. Namun, hal ini belum diikuti oleh penambahan fasilitas atau layanan tes antigen di sejumlah daerah.
Baca juga: Hindari Formalitas Aturan Pembatasan
Penyesuaian
Kini, pemerintah kembali memperketat aturan. Meski kuota penumpang dalam penerbangan dihapuskan, hasil tes antigen hanya berlaku 2 x 24 jam. Hal ini diatur dalam Surat Edaran Kementerian Perhubungan Nomor 3 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksana Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease. Aturan ini berlaku 9-25 Januari 2021.
Pada saat bersamaan, jumlah kasus harian positif Covid-19 semakin meningkat. Pada 8-15 Januari, jumlah penambahan kasus harian beberapa kali mencetak rekor di atas 10.000 kasus setiap hari. Hal ini tentu menjadi suatu catatan khusus bagi semua pihak. Imbauan untuk mematuhi protokol kesehatan tentu tidak akan dapat terlaksana tanpa adanya kesiapan fasilitas di setiap tempat pelayanan publik dan kesadaran masyarakat untuk menempuh protokol kesehatan.
Kembali ke topik utama penelitian, tentang penerimaan vaksin, penelitian ini telah usai dilakukan dengan sejumlah temuan. Beruntung, di tengah tantangan yang dihadapi oleh tim lapangan, seperti enggannya narasumber menggunakan masker dan sulitnya menerapkan protokol kesehatan pada sejumlah titik keramaian di daerah, hasil pemeriksaan akhir tim peneliti yang bertugas di lapangan terkonfirmasi negatif Covid-19.
Hasil penelitian ini dapat dibaca di harian Kompas dan Kompas.id pada Senin, 18 Januari 2021, mendatang. Apakah vaksin diterima atau ditolak oleh mayoritas masyarakat? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?