Dana Kampanye Turut Menopang Kemenangan
Hasil analisis atas laporan dana kampanye dan perolehan suara dalam Pilkada 2020 menunjukkan besarnya dana kampanye bukan jaminan meraih kemenangan. Namun, tak bisa dimungkiri, dana kampanye ikut menopang kemenangan.
Pilkada serentak 2020 untuk memilih sembilan gubernur-wakil gubernur serta 261 bupati serta wali kota sudah berlangsung pada 9 Desember 2020. Saat ini, sebagian pasangan calon kepala daerah masih dalam proses sengketa hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi.
Terlepas dari proses hukum yang tengah berjalan di MK, menarik untuk mengkaji relasi antara dana kampanye yang dilaporkan dan perolehan suara dalam pilkada. Isu dana kampanye cukup menyedot perhatian dalam beberapa gelombang pilkada serentak.
Hasil analisis Litbang Kompas terhadap pasangan calon yang meraih suara terbanyak dari hasil rekapitulasi perolehan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, peraih suara terbanyak masih didominasi pasangan calon yang memiliki dana kampanye lebih besar. Besaran dana kampanye itu dapat dilihat dari Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) yang disampaikan pasangan calon ke KPU.
Jika dibandingkan dengan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), ada kecenderungan terjadi kenaikan hingga 10 kali lipat pada LPPDK yang dilaporkan. Data LPPDK yang diakses 8 Januari 2021 menunjukkan, rentang perolehan dana kampanye antara Rp 0 dan Rp 21 miliar. Dana kampanye ini berasal dari sumbangan partai politik, pihak perseorangan, kelompok, badan hukum swasta, atau dari pasangan calon itu sendiri.
Dari sisi pengeluaran, sumbangan yang diperoleh dialokasikan untuk membiayai pertemuan, produksi iklan, penyebaran bahan kampanye, dan kegiatan lain. Total Rp 1,1 triliun dikucurkan 739 pasangan calon untuk kampanye. Dengan kata lain, rata-rata setiap pasangan calon mengeluarkan Rp 1,4 miliar selama masa kampanye.
Baca juga: Laporan Dana Kampanye Masih Disepelekan
Dari analisis data yang dihasilkan, ada kecenderungan pasangan calon yang berhasil meraih suara terbanyak memang memiliki dana kampanye yang lebih besar. Dari 270 pilkada, ada 265 data yang tersedia dan berhasil diolah.
Tercatat, berdasarkan data LPPDK, total biaya yang dikeluarkan semua pasangan calon yang meraih suara terbanyak di pilkada mencapai Rp 459 miliar. Dari data tersebut, separuh lebih peraih suara terbanyak (53,2 persen) ditopang dana kampanye di atas Rp 1 miliar, bahkan sebagian di antaranya berada di rentang Rp 5 miliar-Rp 20 miliar. Dari kelompok pasangan calon ini ada empat pasangan calon yang ditopang dengan dana kampanye lebih dari Rp 10 miliar, bahkan salah satunya mencapai hampir Rp 20 miliar.
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah peraih suara terbanyak dengan biaya kampanye terbesar ialah Sugianto Sabran-Edy Pratowo di pemilihan gubernur-wakil gubernur Kalimantan Tengah. Laporan LPPDK pasangan ini mencapai Rp 19,3 miliar dan tercatat tertinggi ketimbang pasangan calon peraih suara terbanyak lain di Pilkada 2020.
Sebaliknya, pasangan calon di pemilihan gubernur dengan nominal laporan pengeluaran paling minimalis adalah Zainal Arifin Paliwang-Yansen di Pilkada Kalimantan Utara. Dari data LPPDK, pasangan ini melaporkan pengeluaran Rp 1 miliar. Pasangan Zainal-Yansen mengalahkan salah satu pasangan yang melaporkan dana kampanye Rp 2,5 miliar.
Sementara itu, di tingkatan pemilihan wali kota dan wakil wali kota, rentang dana kampanye yang dilaporkan Rp 0 hingga 15 miliar. Meskipun lebih dari separuh pasangan calon di pilkada kota mengeluarkan dana kampanye di bawah Rp 1 miliar, tidak sedikit yang begitu menonjol dana kampanyenya. Pasangan Bobby Afif Nasution-Aulia Rachman dalam Pilkada Kota Medan, Sumatera Utara, misalnya. Pasangan calon itu melaporkan pengeluaran dana kampanye Rp 15,4 miliar.
Dari kelompok pemilihan wali kota, pasangan calon dengan laporan dana kampanye terendah ialah pasangan Achmad Afzan Arslan-Salahudin di Pilkada Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Pasangan ini melaporkan LPPDK Rp 97,9 juta dan berhasil menyisihkan lawannya yang memiliki dana kampanye lebih besar.
Kemudian, pada kelompok pemilihan bupati-wakil bupati, dari 219 data yang berhasil dikumpulkan dan diolah, ada rentang pengeluaran dana kampanye Rp 32 juta hingga Rp 9 miliar. Hampir separuh pengeluaran dana kampanye di pilkada kabupaten ini di bawah Rp 1 miliar dan separuhnya lagi di atas Rp 1 miliar.
Dari kelompok pilkada tingkat kabupaten, tercatat laporan dana kampanye terbesar ada pada pasangan Hanindhito Himawan Pramanda-Dewi Mariya Ulfa di Pilkada Kabupaten Kediri, Jawa Timur, dengan LPPDK Rp 8,7 miliar. Sementara yang terendah adalah pasangan peraih suara terbanyak dari Pilkada Kabupaten Wonogiri, Jateng, yakni Joko Sutopo-Setyo Sukarno yang melaporkan dana kampanyenya hanya Rp 32 juta. Pasangan ini mengalahkan rivalnya yang dana kampanyenya mencapai Rp 141 juta.
Bukan jaminan
Kemenangan pasangan calon yang berhasil menyisihkan lawan yang memiliki dana kampanye lebih besar mengindikasikan dana kampanye memang bukan jaminan mutlak akan mengantarkan kemenangan. Ada 46,8 persen pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah peraih suara terbanyak di pilkada ini yang mengeluarkan dana kampanye di bawah Rp 1 miliar.
Tidak terjaminnya kemenangan dengan besarnya dana kampanye bisa dilihat dari munculnya pasangan calon peraih suara terbanyak lain yang merupakan pasangan calon dengan dana kampanye lebih sedikit dari pasangan rivalnya. Sebut saja di Pilkada Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pasangan Munafri Arifudin-Abdulrahman Bando dengan dana kampanye yang dilaporkan mencapai Rp 20 miliar, perolehan suaranya kalah dari pasangan Moh Ramdhan Pomanto-Fatmawati Rusdi yang melaporkan LPPDK Rp 2,4 miliar.
Hal yang sama terjadi di Pilkada Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pasangan Syafruddin H Maming-Muh Alpiya Rakhman yang melaporkan LPPDK Rp 17,5 miliar, perolehan suaranya kalah dari Zairullah Azhar-Muh Rusli yang melaporkan pengeluaran kampanye Rp 6,6 miliar.
Boleh jadi data resmi LPPDK ini memang belum menggambarkan angka sesungguhnya di lapangan yang merangkum segala aktivitas kampanye. Namun, data ini setidaknya bisa menjadi ukuran awal soal korelasi antara kemenangan pasangan calon dan dana yang dikeluarkan untuk kepentingan kampanye pilkada.
Data riil
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana menyebutkan, data LPPDK dalam Pilkada 2020 menegaskan bahwa biaya politik kontestasi pilkada tidaklah murah. ”Kita selalu kesulitan mendapatkan data yang sesungguhnya terkait real costs dari setiap pasangan calon sehingga pasti dugaan kita selalu beranggapan ini mahal,” ungkap Aditya.
Ke depan, kata Aditya, perlu ditegaskan untuk memperluas regulasi agar laporan sumbangan ataupun pengelolaan dana kampanye agar juga mampu menjangkau di luar tahapan kampanye, terutama yang selama ini menjadi isu terkait mahar politik untuk mendapatkan tiket pencalonan dari partai politik.
Bagaimanapun transparansi terkait pembiayaan pilkada dari pasangan calon penting untuk menjaga kualitas demokrasi. Terutama juga demi meningkatkan kepercayaan publik pada pasangan calon terpilih.