Daya Lawan Kolom Kosong Masih Bergeming
Tren kemenangan oleh calon tunggal dan rendahnya perolehan suara kolom kosong menegaskan bahwa perlawanan oleh kolom kosong tetap bergeming.
Hasil rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum menunjukkan, seluruh kandidat tunggal yang maju dalam Pilkada 2020 berhasil meraup kemenangan. Tren kemenangan oleh calon tunggal dan rendahnya perolehan suara kolom kosong menegaskan, perlawanan oleh kolom kosong tetap bergeming. Sejumlah catatan terhadap penyelenggaraan pilkada dengan calon tunggal ini pun penting untuk dievaluasi.
Seperti yang diketahui, pada 9 Desember 2019 pilkada serentak di sembilan provinsi dan 261 kabupaten dan kota telah selesai diselenggarakan. Sebanyak 25 pemilihan di tingkat kabupaten dan kota dilaksanakan dengan hanya satu pasangan calon kepala daerah.
Menilik ke beberapa periode pelaksanaan pilkada serentak yang lalu, tren daerah pilkada berkandidat tunggal memang cukup meningkat signifikan. Di Pilkada 2018, ada 13 daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah dengan hanya satu calon. Sementara untuk Pilkada 2017 dan 2015, jumlahnya lebih sedikit lagi, tak sampai 10 pilkada yang memiliki kandidat tunggal.
Meskipun demikian, bertambahnya calon tunggal tersebut juga tak membuat pola perolehan suara di daerah pilkada dengan paslon tunggal banyak berubah. Hasil perolehan suara yang tercatat oleh KPU pada empat kali pilkada menunjukkan bahwa tren rata-rata keunggulan paslon tunggal berada di angka 76-79 persen. Begitupun dengan rata-rata perolehan suara dari kolom kosong yang tak pernah melebihi angka 24 persen.
Hasil Pilkada 2020 tersebut tak jauh berbeda dengan tahun 2017, yang rata-rata perolehan suara untuk kandidat tunggal mencapai 79,7 persen. Ini merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan dua periode pilkada lainnya.
Perolehan suara untuk kolom kosong yang masih berkisar 20 persen membuktikan bahwa upaya perlawanan kepada calon tunggal memang tak mudah. Dominasi kekuatan politik, modal sosial, dan finansial membuat para calon tunggal terlihat begitu mudah untuk memenangi pemilihan sekalipun harus mengantongi paling sedikit separuh lebih dari total suara pemilih.
Menjamurnya paslon tunggal di tengah besarnya hasrat berkuasa yang banyak diperebutkan oleh para elite partai membuat pola pencalonan seperti ini menjadi bagian dari strategi politik belaka. Terlebih ketika melihat sebagian besar calon tunggal memperoleh aliran dukungan hampir seluruh partai yang berkuasa di parlemen daerah.
Terkait hal tersebut, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, dalam webinar ”Evaluasi Pilkada dan Catatan Perbaikan”, Kamis (17/12/2020), menyatakan, ada anomali dengan kemenangan seluruh calon tunggal di Pilkada 2020. Menurut Titi, menguatnya calon tunggal merupakan insiden tragis di dalam sistem demokrasi Indonesia yang multipartai, memiliki jumlah pemilih besar, dan kompetisi antarpartai.
Lebih lanjut, ia juga mengusulkan bahwa jangan lagi ada ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Penghapusan ambang batas akan memutus hegemoni calon tunggal dan mencegah membanjirnya politik dinasti di daerah.
”Perlawanan” kolom kosong
Kehadiran paslon tunggal sebagai bentuk dari strategi memenangkan pilkada sejak awal memang akan sulit untuk dipatahkan. Meskipun pemilihan tetap dilaksanakan dengan melawan kolom kosong, sosok calon tunggal sudah dapat dipastikan akan lebih populer dan besar kemungkinan terpilihnya.
Dukungan suara kepada kolom kosong dapat dimaknai sebagai bentuk upaya perlawanan pada ketidaksehatan demokrasi di daerah. Harus diakui pula, sebagian besar masyarakat masih begitu awam dengan kandidat tunggal yang melawan kolom kosong dalam kontestasi pilkada. Terlebih pilkada bercalon tunggal menjadi pengalaman perdana bagi seluruh daerah yang menyelenggarakan.
Dari hasil penghitungan suara, sebagian besar calon tunggal memang mengantongi kemenangan besar. Tak kurang dari sepertiga kandidat tunggal yang berkontestasi sukses unggul dengan perolehan suara yang nyaris sempurna, menguasai lebih dari 90 persen suara pemilih.
Meskipun demikian, di sejumlah daerah, perolehan suara kolom kosong terlihat cukup menandingi calon tunggal. Terhitung ada enam daerah pemilihan dengan calon tunggal yang perolehan suara kolom kosongnya mencapai di atas 30 persen, bahkan menyentuh 40 persen suara.
Perolehan suara bagi kolom kosong yang telah melampaui angka rata-rata (di atas 25 persen) tentulah menjadi suatu pencapaian yang juga dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan kepada paslon tunggal. Meskipun tak berhasil dalam bentuk kemenangan, hasil suara kolom kosong yang cukup memuaskan itu mencerminkan bahwa kontestasi masih tetap bergulir sekalipun hanya ada calon tunggal yang maju pemilihan.
Hasil suara kolom kosong yang cukup memuaskan itu mencerminkan bahwa kontestasi masih tetap bergulir sekalipun hanya ada calon tunggal yang maju pemilihan.
Di Pilkada Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, misalnya, paslon tunggal yang tak lain adalah bupati petahana Dosmar Banjarmahor-Oloan P Nababan harus puas dengan kemenangan tipisnya yang meraih 52,5 persen suara. Sebanyak 47,5 persen suara berhasil dikumpulkan untuk kolom kosong. Angka tersebut menjadi kemenangan paling besar kolom kosong di Pilkada 2020.
Tak jauh berbeda, di beberapa daerah lainnya angka perolehan suara untuk kolom kosong juga dapat dikategorikan di atas rata-rata. Hal itu dapat dilihat di Pilkada Kabupaten Kebumen (39,2 persen), Kota Balikpapan (37,6 persen), Kabupaten Wonosobo (36,3 persen), Kabupaten Ogan Komering Ulu (35,2 persen), dan Raja Ampat (33,4 persen).
Perbaikan
Tren perolehan suara kolom kosong yang tak banyak berubah sudah semestinya menjadi catatan evaluasi bagi penyelenggaraan pilkada dengan calon tunggal. Keberadaan kolom tunggal sebagai alternatif pilihan sepertinya belum berhasil menghidupkan ruang kontestasi dalam hajatan demokrasi pilkada.
Padahal, jika ditinjau lebih lanjut, sebagian besar atau sekitar 84 persen pilkada calon tunggal berstatus sebagai petahana kepala daerah atupun wakilnya yang kembali maju pemilihan untuk melanggengkan jabatan.
Dari sisi kekuatan modal sosial dan ketokohan serta dukungan secara politik, petahana pastilah sangat unggul. Namun, di sisi lain, sebetulnya para petahana juga menjadi calon yang paling mudah untuk dinilai kualitas kinerja dan kepemimpinnya oleh masyarakat sebagai pertimbangan menentukan pilihan.
Edukasi dan pemberian informasi yang jelas kepada para pemilih di daerah berpaslon tunggal menjadi kunci terbentuknya sikap kritis yang mendasari pertimbangan pemilih untuk dapat melihat bahwa kolom kosong juga sebagai pilihan. Kemenangan besar para calon tunggal yang nyaris menguasai seluruh suara menjadi bukti bahwa keberadaan kolom kosong belum dilihat sebagai upaya untuk menentukan pilihan menolak pada satu paslon yang disajikan.
Dalam kompetisi, kolom kosong akan terus kalah populer jika tak ada perbaikan dalam proses sosialisasi kepada publik. Tak ada ketokohan ataupun program unggulan yang dijual dalam kampanye kolom kosong.
Padahal, selayaknya paslon yang maju pemilihan, kolom kosong juga harus gencar dikampanyekan agar masyarakat dapat memahami segala proses pilkada dengan hanya satu kandidat. Jika dilihat sejauh ini, eksistensi kolom kosong memang tak begitu melekat di tengah masyarakat, seperti pada sosok kandidat kepala daerah.
Di luar KPU, biasanya hanya kalangan pegiat pemilu dan demokrasi yang begitu gencar menyuarakan keberadaan kolom kosong untuk dapat dipilih dalam pilkada melawan calon tunggal.
Selain itu, berbagai ancaman kecurangan lainnya juga masih begitu membayangi proses pemilihan dengan paslon tunggal melawan kolom kosong. Mulai dari kampanye hitam untuk tidak memilih kolom kosong yang dinarasikan sama dengan golput hingga kecurangan yang begitu rentan terjadi saat proses pemilihan di TPS karena ketiadaan saksi perwakilan dari kolom kosong.
Upaya perbaikan pada pilkada, terutama di daerah dengan kandidat tunggal, ini tentulah memerlukan sinergi seluruh pihak, baik penyelenggara, elite politik, maupun masyarakat. Semua tentu mengidamkan pilkada yang sehat dan bukan hanya sekadar menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan. (LITBANG KOMPAS)