Sulitnya Meraih Target Bauran Energi
Melalui upaya serius, target bauran energi sekitar 23 persen energi baru terbarukan pada 2025 bukan hal yang muskil dicapai.

Panel-panel sel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sengkol, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (29/8/2019).
Hingga saat ini, pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia masih sekitar 9 persen. Realisasi tersebut jauh di bawah target penggunaan energi baru terbarukan nasional sebesar 23 persen tahun 2025.
Berdasarkan Outlook Energi Indonesia 2019, setidaknya ada tiga skenario yang memproyeksikan tentang bauran energi Indonesia masa mendatang. Skenario itu mencakup business as usual, pembangunan berkelanjutan, dan skenario rendah karbon.
Pada skenario business as usual, bauran energi tahun 2025 mencapai kisaran 21 persen dan tahun 2050 sebesar 29 persen. Untuk skenario rendah karbon, target bauran energi tahun 2025 mencapai 36 persen dan tahun 2050 mencapai 58 persen.
Pada skenario pembangunan berkelanjutan, bauran energi tahun 2025 adalah 23 persen dan tahun 2050 mencapai kisaran 32 persen. Dari ketiga skenario ini, asumsi pembangunan berkelanjutan adalah rancangan yang paling mendekati target bauran energi.
Skenario pembangunan berkelanjutan merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No 70/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dengan target bauran energi baru terbarukan di Indonesia tahun 2025 paling sedikit 23 persen dan pada tahun 2050 sebesar 31 persen.
Peta konsumsi energi
Namun, hingga sejauh ini mayoritas sumber energi nasional masih mengandalkan energi fosil. Penggunaan energi dari minyak bumi mencapai 32 persen, gas 28 persen, dan batubara 32 persen.

Aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta menggelar aksi di depan Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta, Jumat (11/12/2020).
Ini mengindikasikan transformasi menuju target sesuai kebijakan energi nasional masih relatif jauh. Untuk mencapai target bauran penggunaan energi baru terbarukan, pemerintah harus menyusun langkah yang tepat.
Salah satu langkah itu diawali dengan memetakan konsumsi energi di Indonesia. Beberapa asumsi penting dalam Outlook Energi 2019 adalah target penggunaan biodiesel dan bioetanol, pertumbuhan jaringan gas rumah tangga, target kendaraan listrik, dan penggunaan kompor induksi serta dimethyl ether untuk substitusi LPG.
Baca Juga: Harapan kepada Energi Terbarukan
Pemetaan Dewan Energi Nasional menunjukkan bahwa sektor transportasi menjadi pengguna energi terbesar tahun 2018. Sektor ini mengonsumsi 40 persen energi.
Sektor lain yang juga banyak mengonsumsi energi adalah industri (36 persen). Sektor berikutnya adalah rumah tangga (16 persen), serta sisanya 8 persen dikonsumsi sektor komersial dan lainnya.

Tampungan batubara di kawasan PLTU milik PT Obsidian Stainless Steel, Motui, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Minggu (6/9/2020).
Data ini menunjukkan bahwa pengguna energi terbesar di Indonesia adalah sektor transportasi. Tiga sektor berikutnya mayoritas mengonsumsi energi dengan mengandalkan pengadaan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Inisiatif strategis
Mereduksi ketergantungan energi fosil di sektor transportasi penting diprioritaskan untuk menerapkan diversifikasi energi di Indonesia. Beberapa kementerian telah mengusulkan inisiatif strategis terkait transportasi di Indonesia.
Usulan pertama dari Kementerian Perhubungan ialah merencanakan penggunaan bahan bakar nabati, seperti biodiesel untuk moda transportasi darat, kendaraan BBG, dan bus listrik.
Rencana ini diproyeksikan untuk angkutan berat, seperti truk dan angkutan umum seperti bus. Ada juga angkutan massal berbasis rel dan listrik, seperti MRT dan LRT, yang sedang dikembangkan di Jakarta dan Palembang.

Presiden Joko Widodo didampingi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz bersiap memberikan keterangan kepada para jurnalis seusai meninjau kesiapan penerapan prosedur standar new normal di kawasan stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta Pusat, Selasa (26/5/2020).
Usulan kedua muncul dari Kementerian Perindustrian. Kementerian ini merencanakan pembangunan industri moda transportasi listrik dan hibrida dari hulu sampai hilir.
Dari kedua rencana tersebut, inisiatif strategis dari Kementerian Perhubungan mulai diwujudkan. Rencana itu terkait dengan bahan bakar nabati biodiesel.
Program ini sudah cukup lama dirintis, yakni sekitar tahun 2005. Pada rentang 2009-2018, produksi biodiesel bertambah berkali-kali lipat. Pada tahun 2009, jumlah produksinya masih sekitar 190.000 kiloliter. Namun, tahun 2018 jumlahnya sudah mencapai 4,7 juta kiloliter.
Bahkan, sebagian produksinya diekspor dan menambah devisa negara. Jumlah yang dikirim ke luar negeri pun cenderung naik dan pada 2018 jumlah ekspornya sudah lebih dari 1 juta kiloliter.
Kian meningkatnya produksi biodiesel itu tak lepas dari upaya pemerintah yang mewajibkan penggantian secara bertahap bahan bakar minyak solar dengan biodiesel. Melalui Peraturan Menteri ESDM No 12/2015, kebijakan mandatori biodiesel dipercepat tahun 2014 dengan program B-10, B-15 tahun 2015, dan meningkat lagi menjadi B-20 tahun 2016.

Pada tahun 2020 ini, mandatori yang ditargetkan adalah B-30 yang berarti pencampuran biodiesel sebesar 30 persen dalam energi fosil solar. Kebijakan ini menyasar pada usaha mikro, usaha pertanian, transportasi, dan pelayanan umum yang mendapat subsidi (PSO). Sektor transportasi non-PSO serta sektor industri dan komersial juga menjadi sasaran target.
Khusus untuk transportasi, misalnya, apabila semua kendaraan niaga seperti bus dan truk yang jumlahnya 10 juta unit pada tahun 2019 itu mengaplikasikan B-30, dampaknya akan signifikan bagi penghematan konsumsi solar. Apalagi, jika disertai masifnya penggunaan mandatori biodiesel itu pada sektor industri yang merupakan kelompok pengguna energi total terbesar kedua di Indonesia.
Energi listrik
Salah satu lini bisnis energi yang juga tengah berupaya mengurangi ketergantungan pada energi fosil adalah sektor kelistrikan.
Penggunaan biodiesel sudah mulai diterapkan pada sebagian pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) milik PLN sejak 2018. Penggunaan B-20 dan B-30 yang digunakan pada pembangkit PLN pada 2018 mencapai 1.641 kiloliter dan naik menjadi 2.158 kiloliter tahun 2019.

Saat ini, PLN berencana mengonversi PLTD ke pembangkit listrik bersumber energi baru terbarukan. Langkah itu sebagai salah satu upaya mendorong bauran energi baru terbarukan. PLN akan mengubah 5.200 unit PLTD di 2.130 lokasi ke pembangkit listrik energi baru terbarukan dengan potensi energi 2 gigawatt.
Penguatan produksi biodiesel nasional untuk sektor transportasi dan kelistrikan dapat memperbesar peluang tercapainya target bauran energi terbarukan 23 persen tahun 2025. Namun, hal lain yang tidak kalah penting adalah mengupayakan penggunaan energi baru terbarukan jenis lain. Melalui upaya serius, target bauran energi sekitar 23 persen energi baru terbarukan pada 2025 bukan hal yang muskil dicapai.
Melalui upaya serius, target bauran energi sekitar 23 persen energi baru terbarukan pada 2025 bukan hal yang muskil dicapai.
Peluang mencapai target energi baru terbarukan akan semakin besar jika disertai penyediaan sarana transportasi dan kelistrikan berbasis energi fosil nonminyak yang lebih ramah lingkungan. Salah satu contoh adalah pemanfaatan sumber energi gas yang masih sangat berlimpah.

Presiden Joko Widodo menyaksikan pengisian bahan bakar dengan menggunakan biodiesel 30 persen (B30) pada kegiatan peresmian implementasi energi baru terbarukan B30 di SPBU Pertamina, Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, Senin (23/12/2019).
Sarana angkutan umum, seperti bus listrik, kereta rel listrik, dan bus, dapat memanfaatkan bahan bakar gas. Memang, penyediaan transportasi dengan sumber energi gas tidak akan berpengaruh signifikan dalam tempo singkat. Namun, hal itu merupakan peluang bagi pemerintah dan juga pihak swasta untuk menciptakan kendaraan angkutan umum yang lebih ramah lingkungan.
Pada akhirnya, upaya melakukan diversifikasi sumber energi akan semakin mendukung kebijakan bauran energi seperti yang diamanatkan PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Aturan ini dapat sebagai pijakan setiap daerah untuk berlomba mengembangkan berbagai bauran energi, salah satunya di bidang transportasi massal.(LITBANG KOMPAS)