Sejumlah indikator kuantitatif dalam ukuran pencapaian reformasi birokrasi terpantau bergerak membaik selama dua dekade pemerintahan pascareformasi. Namun, skala perbaikan itu terasa lamban
Oleh
Toto Suryaningtyas
·5 menit baca
Tahun 2025 adalah saat birokrasi di Indonesia diharapkan telah mencapai tata pemerintahan yang baik dengan aparat yang profesional, berintegritas tinggi, menjadi pelayan masyarakat sekaligus abdi negara. Mampukah kita mencapainya?
Sejumlah indikator kuantitatif dalam ukuran pencapaian reformasi birokrasi terpantau bergerak membaik selama dua dekade pemerintahan pascareformasi. Aspek meminimalkan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta perbaikan kualitas layanan publik mulai beranjak. Namun, skala perbaikan itu terasa lamban sehingga bisa-bisa birokrasi terperangkap dalam stagnasi capaian.
Contohnya data dimensi kapasitas dan akuntabilitas birokrasi dari Woldwide Governance Indicator (Indikator Tata Kelola Pemerintahan Global) yang disusun Bank Dunia. Terlihat skor Indonesia merambat naik hingga tahun 2019 mencapai nilai 60,1 dari skala 0 (terendah) sampai 100 (tertinggi).
Tahun sebelumnya, indeks efektivitas pemerintahan Indonesia adalah 59,13. Bandingkan dengan tahun 2010 yang saat itu kita baru mencapai skor 46,89. Namun, bukan berarti tak ada lagi masalah dalam birokrasi kita. Sebaliknya, angka-angka capaian kuantitatif dalam pelayanan masyarakat harus dibuktikan secara riil secara kualitatif di lapangan.
Menurut Yanuar Nugroho dalam tulisan opini di harian ini (17/1/2020), masih ada tujuh masalah pokok dalam tubuh birokrasi, yaitu rendahnya kompetensi dan timpangnya distribusi pegawai, lemahnya komitmen pemda mereformasi birokrasi, intervensi politik dalam struktur birokrasi, serta kurangnya pengawasan internal dan penegakan hukum.
Ada juga persoalan tumpang-tindih fungsi antara struktur birokrasi pusat dan pusat, dan antardaerah; minimnya kesadaran publik dalam membangun birokrasi yang cakap; serta keruwetan aturan hukum. Litani persoalan itu jika diuraikan melalui kacamata perspektif lain, bisa dipastikan akan semakin panjang.
Secara tersirat, berbagai persoalan yang masih bercokol di birokrasi juga diakui oleh lembaga-lembaga yang kini sedang menangani persoalan reformasi birokrasi, terutama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), serta Lembaga Administrasi Negara (LAN).
Dalam Catatan Akhir Tahun 2020 Kemenpan dan RB dan BKN, terdapat arahan Presiden Joko Widodo yang menjadi acuan reformasi birokrasi, yaitu ”secara komprehensif, bukan hanya kosmetik, tetapi betul-betul harus menyentuh jantungnya persoalan”.
Persoalan kini adalah, dengan banyaknya kendala mampukah dibuat sebuah terobosan yang realistis agar kecepatan perbaikan itu bisa ditingkatkan? Faktanya, meski terjadi perbaikan secara sporadis dan sistemik di berbagai bidang dan lapisan struktur birokrasi, hal itu dipandang belum cukup.
Kajian LAN
Berdasarkan kajian PK2AN (Pusat Kajian Kebijakan Administrasi Negara) LAN tahun 2020, sulit dihindari bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi hingga saat ini masih berfokus pada perbaikan kinerja dalam organisasi (inward-looking), belum menyentuh sasaran-sasaran strategis atau capaian-capaian terhadap pembangunan, apalagi dengan bagaimana dampak/manfaat bagi stakeholders.
Peta jalan reformasi birokrasi yang telah dibuat oleh setiap instansi dalam implementasi reformasi birokrasi pun hingga kini belum memiliki keterkaitan antara rencana strategis (renstra)/rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) yang ada. Bahkan, setelah dilakukan evaluasi, peta jalan reformasi birokrasi itu belum dapat menjawab hubungan pembangunan dengan renstra ataupun RPJMD yang telah disusun.
Temuan dari LAN sebagai lembaga kajian reformasi birokrasi adalah paradigma reformasi birokrasi selama ini masih berfokus pada perubahan di internal birokrasi dan belum melihat bagaimana dampak reformasi birokrasi terhadap ketercapaian sasaran pembangunan atau manfaatnya bagi perbaikan pelayanan publik.
Selain itu, peta jalan reformasi birokrasi yang disusun kementerian/lembaga/daerah juga belum terintegrasi secara langsung dengan RPJMN atau renstra. Hal itu diperparah dengan pelaksanaan reformasi birokrasi yang tidak terintegrasi dan terkoordinasi antarlembaga.
Peran birokrasi masih berorientasi pada pemenuhan dokumen (output-oriented), sedangkan program reformasi birokrasi cenderung bersifat proyek. Keterlibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan evaluasi program reformasi birokrasi terpantau masih rendah dan sering terjadi penyeragaman area perubahan dan kegiatan, padahal tidak semua lembaga memiliki permasalahan dan kapasitas sumber daya yang sama.
Berbagai persoalan dalam birokrasi itu yang kemudian menghantarkan sebuah gagasan (PK2AN) untuk melakukan kajian bahwa reformasi birokrasi perlu dikaitkan secara langsung dengan ketercapaian hasil (outcome).
Reformasi Birokrasi Berbasis Outcome dalam kajian ini dimaksudkan sebagai ”proses menata ulang, terobosan dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan berpikir dan bertindak di luar kebiasaan dengan upaya yang luar biasa yang hasilnya memberikan manfaat/nilai tambah bagi organisasi dan stakeholders.”
Komitmen kolaborasi
Gagasan tentang upaya yang luar biasa dan tidak monoton itu sudah sering disinggung dalam pidato pengarahan Presiden Jokowi. Namun, tampaknya masih perlu sebuah perubahan di tingkat organisasi birokrasi agar gagasan tersebut benar-benar terlaksana.
Sebagai contoh, untuk meningkatkan kualitas SDM di bidang pertanian dan menumbuhkan minat generasi muda, kementerian terkait menyusun suatu desain reformasi birokrasi bidang pertanian. Menggunakan perspektif outcome looking, reformasi itu harus mampu meningkatkan akses kaum muda terhadap lahan pertanian, ketersediaan modal, naiknya daya tarik (citra) petani muda, dan tersedianya aplikasi (digital) pertanian yang mendukung.
Banyak aktor yang perlu dilibatkan dalam kebijakan ini. Di tingkat nasional, peran Presiden sebagai pemimpin program reformasi birokrasi sangat penting. Aktor lainnya adalah di tingkat menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah yang memimpin proses reformasi birokrasi. Penerjemahan ke dalam peta jalan serta komitmen kolaborasi menjadi kunci berjalannya program.
Program perubahan semacam ini juga tidak perlu terlalu banyak, tetapi fokus pada kegiatan-kegiatan prioritas dan memiliki dampak paling besar terhadap tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik. Bagaimanapun, karena tataran terobosan outcome looking ini adalah di level paradigma, diperlukan turunan kebijakan dan pengawalan secara politik.