Adaptasi Dengan Perkembangan Teknologi
Pandemi Covid-19 serta perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menjadi dua hal utama yang harus menjadi perhatian dalam reformasi birokrasi saat ini.
Sejumlah pertanyaan menggelitik muncul dari aparatur sipil negara di daerah yang diperoleh Pusat Kajian Kebijakan Administrasi Negara, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dalam sejumlah pencarian data.
Pertanyaan menggelitik yang diajukan aparatur sipil negara itu seperti, ”bila tidak melakukan reformasi birokrasi, apa hukumannya”, ”jika melakukan reformasi birokrasi, apa yang saya dapat”, dan ”apakah hanya untuk menaikkan tunjangan kinerja saja, atau citra yang baik di mata publik”?
Dari pertanyaan-pertanyaan itu tergambar kendala yang muncul untuk menjalankan paradigma baru dalam reformasi birokrasi di daerah. Tak heran saat ini baru 200 pemerintah daerah yang melaksanakan reformasi birokrasi. Hal ini terutama disebabkan pemerintah daerah melihat peraturan reformasi birokrasi terlalu ”jelimet”.
Sejauh ini, Presiden Joko Widodo sudah mengambil risiko politik, antara lain melalui sejumlah perubahan undang-undang, pembubaran komisi dan lembaga, serta penyederhanaan struktural dan penyederhanaan perizinan investasi. Langkah yang berisiko secara politik itu harus dilanjutkan pemimpin lembaga, kepala daerah (gubernur, bupati/walikota), hingga kepala dinas di daerah.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, reformasi birokrasi relatif mengalami perbaikan efektivitas meski belum optimal. Ini terlihat dari hasil yang belum memuaskan dari kualitas pelayanan publik, aparatur birokrasi, dan kemandirian birokrasi. Perlu akselerasi untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan.
Reformasi birokrasi merupakan proses politik. Maka, komitmen politik yang kuat dari pemimpin ataupun pejabat politik menjadi kunci keberhasilan reformasi birokrasi. Jika tidak, reformasi birokrasi hanya menjadi jargon semata atau hanya ”bussiness as usual” di birokrasi.
Dengan reformasi birokrasi yang berbasis outcome, diharapkan bahwa prinsip-prinsip berorientasi pada pencapaian tujuan bebas melakukan reformasi sesuai dengan karakter dan kapasitas organisasi serta pelibatan stakeholders terkait menjadi semakin relevan. Intinya, sudah saatnya para pemimpin berkomitmen melakukan pergeseran paradigma dalam memaknai reformasi birokrasi.
Lingkungan strategis
Selain perubahan paradigma dalam birokrasi, pandemi Covid-19 dan perkembangan ICT (teknologi komunikasi dan informasi) menjadi dua hal utama yang harus jadi perhatian dalam reformasi birokrasi saat ini.
Ini karena perkembangan teknologi telah menghadirkan setting baru dalam berbagai arena publik yang merupakan wilayah dalam birokrasi. Ambil contoh masifnya penggunaan media sosial dan berbagai sarana dalam jaringan (daring) di layanan publik. Pemanfaatan e-government harus semakin serius dan terkonsolidasi di tingkat instansi nasional.
Dari survei e-Government Development Index 2020 yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB (10/7/2020), peringkat Indonesia naik signifikan dari peringkat ke-107 pada 2018 naik menjadi peringkat ke-88 pada 2020.
Survei ini mengukur tingkat kecukupan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK), penguasaan sumber daya manusia (SDM) pada TIK, serta ketersediaan layanan publik secara daring (e-service) di 193 negara.
Meski naik pesat, jika ditelisik dari komponen penyusun indeks, terlihat bahwa dari tiga aspek utama, yakni ketersediaan jasa layanan publik daring (online service index), infrastruktur (telecommunications infrastructure index), dan SDM (human capital index), ternyata baru aspek SDM yang meraih skor relatif tinggi. Dua aspek lainnya masih dinilai rendah.
Tantangan utama bagi pembangunan e-government Indonesia adalah kurangnya jangkauan dan cakupan implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) serta belum meratanya koneksi internet yang stabil di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.
Baca juga: Capaian Angka Indeks Membaik, namun ...
Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS) UGM, yang menjabarkan hasil survei tersebut (13/7/2020), mengungkapkan temuan kondisi kepemimpinan di berbagai bidang yang belum mampu mengerakkan tim dan belum mampu berkolaborasi dalam mengelola SPBE.
Pemerintah, terutama di daerah, belum mampu mengonsolidasi triple helix (pemerintah, dunia kampus, kalangan industri) untuk memanfaatkan keunggulan TIK.
”Dunia industri sudah sangat biasa memakai Gopay, Ovo, Link aja, yang diakui negara dan di-support Bank Indonesia dan OJK. Tapi, pembayaran SPP perguruan tinggi belum ada menggunakan aplikasi mobile. Ada daerah yang punya layanan e-lapor sampai tiga buah karena setiap ganti pimpinan ganti sistem, dan masyarakat yang meng-install tidak sampai 100,” kata Wing Wahyu Winarno, pembicara diskusi CfDS itu.
Mobile application masih menjadi pekerjaan rumah dalam tahapan reformasi birokrasi layanan publik. Sifat layanan publik online yang ”mendekati” publik pemakai sepatutnya dipakai sebagai ukuran keberhasilan layanan publik daring.
Kita patut melihat contoh bagaimana praktik di Korea Selatan yang dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem birokrasi berbasis e-government paling unggul di dunia. Hampir semua layanan publik berfungsi melalui daring dan melayani warga masyarakat dengan berbagai kebutuhan secara daring.
Konsolidasi sistem
Kurangnya integrasi antarinstansi dalam membangun e-government menjadi salah satu kendala utama yang ditengarai menghambat kemajuan peningkatan kualitas layanan. Padahal, sebagai panduan kebijakan, Indonesia memiliki Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government.
Strateginya lewat pengembangan sistem layanan, penataan sistem dan proses kerja pemerintah, serta peningkatan SDM TIK. Meski demikian, inpres tersebut tidak berjalan efektif karena setiap instansi pemerintah membangun infrastruktur, sistem, dan aplikasi sendiri. Maka, pada akhir 2018 terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) (Husni Rohman, Kompas, 22/9/2020).
Baca juga: Cita-cita yang Tak Kunjung Tercapai
Sulit dimungkiri, e-government menjadi salah satu pintu masuk terobosan reformasi birokrasi yang kini menjadi semakin strategis karena ada keterbatasan mobilitas sosial akibat pandemi Covid-19. Kerja berat reformasi bisa dimulai dengan wilayah-wilayah yang sudah memiliki infrastruktur TIK memadai dan kepemimpinan institusi atau pemerintah daerah kuat.
Tujuan akhir reformasi birokrasi adalah terbentuknya pemerintahan Indonesia yang berkelas dunia (world-class government) pada tahun 2025 untuk memasuki jenjang baru birokrasi menuju pemerintahan berkualitas negara maju. Kiranya upaya perubahan paradigma yang positif ini pada akhirnya mampu membawa birokrasi Indonesia menuju kualitas birokrasi yang berkualitas, profesional, netral, dan melayani.
(Litbang Kompas)