Menghitung Peluang Industri Manufaktur pada Tahun 2021
Dengan asumsi pandemi Covid-19 dapat dikendalikan, pemerintah memprediksi industri manufaktur Indonesia tahun 2021 akan tumbuh 3,95 persen .
Industri manufaktur tahun 2020 mengalami pukulan berat akibat pandemi Covid-19. Dukungan investasi guna mendorong pemulihan manufaktur bisa terhambat oleh ketidakpastian pandemi yang akan memperlemah daya beli dan pasokan bahan baku industri tahun depan.
Peran yang besar pada perekonomian nasional menjadikan industri manufaktur sebagai salah satu sorotan dalam kerangka pembangunan nasional. Program Nawacita pemerintahan periode 2014-2019 memasukkan industri manufaktur menjadi salah satu sektor prioritas.
Strategi tersebut masih berlaku hingga saat ini dan tahun-tahun mendatang. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merespons kebijakan tersebut dengan menyusun peta jalan bertajuk ”Making Indonesia 4.0”.
Kerangka tersebut disusun untuk mendukung target Indonesia menjadi salah satu dari 10 kekuatan ekonomi terbesar di dunia tahun 2030. Peta jalan tersebut juga disusun sebagai strategi pengembangan industri nasional ke depan, terutama kesiapan memasuki era revolusi industri 4.0.
Peran besar industri padat karya tersebut tecermin dari besarnya kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB). Lebih kurang seperlima PDB disumbang oleh sektor tersebut.
Kinerja menurun
Meski demikian, perkembangan kinerja industri manufaktur tak selalu berjalan mulus. Kontribusinya pada perekonomian tetap mendominasi dibandingkan dengan sektor lain, tetapi cenderung menurun, setidaknya dua dekade terakhir.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kontribusi industri manufaktur pada PDB mencapai 29,1 persen tahun 2001. Unggulnya sektor tersebut tak lepas dari pengaruh globalisasi dan dorongan teknologi.
Namun, tahun demi tahun kontribusi tersebut kian menyusut. Tiga tahun belakangan, industri unggulan ini hanya mampu menyumbang tidak lebih dari seperlima PDB.
Lompatan teknologi yang digadang-gadang mampu mendorong kinerja industri ternyata kalah dengan respons sektor tersier yang didominasi jasa perdagangan. Sektor tersier kian melambung hingga mampu menyumbang 44 persen pada PDB tahun 2019.
Sementara ketegangan global yang terjadi beberapa tahun terakhir berdampak pada aktivitas ekspor impor Indonesia yang berujung pada menyusutnya kinerja industri manufaktur. Ditambah lagi efek kejut yang ditimbulkan pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020.
Bencana nonalam yang melanda dunia itu turut mengguncang kinerja industri manufaktur di Tanah Air. Bank Indonesia (BI) mencatat, kinerja manufaktur merosot tajam sepanjang 2020, tergambar dari nilai prompt manufacturing index (PMI) yang disusun BI.
PMI-BI merupakan indikator yang memberikan gambaran umum tentang kinerja sektor manufaktur triwulan tertentu dan proyeksi triwulan berikutnya. Kinerja industri dikatakan mengalami kontraksi jika nilai PMI berada di bawah angka 50.
Triwulan II merupakan kontraksi terdalam PMI-BI sepanjang tahun 2020, yakni sebesar 28,55 persen. Angka tersebut meleset jauh dari proyeksi BI sebesar 48,79 persen saat merilis PMI-BI triwulan pertama. Kontraksi terjadi pada semua komponen pembentuk PMI, terutama volume produksi. Penurunan permintaan dan gangguan pasokan akibat Covid-19 menjadi penyebab utamanya.
Indikator lain penurunan kinerja industri manufaktur tergambar dari laju pertumbuhan sektor tersebut yang juga mengalami pertumbuhan negatif. Seiring dengan kontraksi PMI-BI triwulan II, laju pertumbuhan industri manufaktur juga mengalami kontraksi sebesar 6,19 persen dibandingkan dengan triwulan II 2019 (y-on-y).
Kontraksi tersebut merupakan kontraksi terdalam industri manufaktur selama lima tahun terakhir. Pemutusan hubungan kerja yang dialami jutaan tenaga kerja, termasuk sektor industri, berujung pada penurunan permintaan di kalangan masyarakat. Kemenperin mencatat, hingga triwulan III terdapat 5,5 juta tenaga kerja sektor industri dalam status tidak bekerja karena PHK atau dirumahkan tanpa mendapat gaji.
Jumlah tersebut merupakan 31 persen dari total tenaga kerja sektor industri nasional yang berjumlah 17,48 juta tenaga kerja. Sementara secara keseluruhan terdapat 29,12 juta tenaga kerja dari semua sektor yang terdampak Covid-19.
Kondisi tersebut membuat tingkat pendapatan masyarakat menurun dan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Alhasil, barang produksi yang dihasilkan sektor industri tak terserap oleh konsumen.
Dampaknya, hingga triwulan ketiga kontraksi masih terjadi pada industri manufaktur sebesar 4,31 persen. Kemenperin memprediksi, hingga triwulan IV kontraksi masih akan terjadi pada kisaran 2 persen.
Peluang 2021
Meski masih mengalami kontraksi, industri manufaktur mengalami perbaikan laju pertumbuhan. Menjelang tahun 2021, pemerintah menyatakan optimistis akan adanya pertumbuhan positif pada industri manufaktur.
Kemenperin memprediksi, industri manufaktur Indonesia tahun 2021 akan tumbuh 3,95 persen dengan asumsi pandemi Covid-19 dapat dikendalikan.
Optimisme tersebut timbul karena adanya komitmen investasi pada industri manufaktur yang sudah dikantongi oleh pemerintah. Pemerintah menargetkan, investasi manufaktur 2021 mampu mencapai Rp 323,56 triliun.
Angka tersebut lebih tinggi dari target investasi 2020 sebesar Rp 265,28 triliun (Kompas.com, 28/12/2020). Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat, hingga triwulan III-2020, investasi di sektor industri manufaktur mampu mencapai 32,84 persen dari total investasi nasional, baik investasi asing maupun dalam negeri.
Pemerintah pun meyakini, investasi mampu menjadi faktor penggerak pertumbuhan sektor industri tahun 2021 dan mampu memberikan efek berantai pada perekonomian nasional. Dengan adanya investasi sektor industri, penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, dan penerimaan negara dari ekspor akan meningkat.
Baca juga: Prioritaskan Penyerapan Tenaga Kerja
Meski demikian, terbuka kemungkinan bahwa pasar kerja belum akan pulih pada tahun 2021. Angka pengangguran terbuka meningkat dari Agustus 2019 sebanyak 7,10 juta orang menjadi 9,77 juta orang pada Agustus 2020. Said Iqbal, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, memprediksi akan ada ledakan PHK pada tahun 2021 karena belum redanya pandemi Covid-19. (Kompas.com, 28/12/2020).
Belum lagi, kemunculan mutasi virus di Inggris yang dilaporkan pada 14 Desember 2020 lalu. Kementerian Kesehatan menyebutkan, virus baru tersebut 70 persen lebih cepat menular ketimbang SARS CoV-2 penyebab Covid-19. Bahkan, virus baru itu sudah masuk ke Singapura yang tak lain adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia.
Kondisi ini patut diwaspadai mengingat adanya potensi pandemi gelombang kedua tahun mendatang. Di sisi lain, vaksin Covid-19 masih belum terbukti efektif menekan penyebaran virus yang lama. Kedua skenario tersebut tentu akan berkaitan dengan faktor produksi industri manufaktur, baik SDM maupun SDA.
Baca juga: Momentum Industri Mengisi Pasar Domestik
Kebijakan pembatasan sosial boleh jadi kembali diberlakukan dan berpotensi mengurangi aktivitas pekerja di lingkungan industri. Hal itu berdampak pada menurunnya pendapatan yang berujung pada penurunan permintaan masyarakat.
Mobilitas logistik antarnegara juga yang terbatas akibat pandemi juga berpotensi mewarnai perdagangan luar negeri, khususnya impor bahan baku dan barang modal yang selama ini menopang faktor produksi industri manufaktur. Jika kedua skenario itu terjadi, investasi sebesar apa pun akan minim makna pada pemulihan kinerja industri manufaktur. (LITBANG KOMPAS)