Birokrasi sebagai “alat administrasi” negara bertugas menciptakan kesejahteraan rakyat dengan melayani warga negara. Peran birokrasi penting sebagai pamong yang melayani publik, bukan priayi yang minta dilayani.
Oleh
Toto Suryaningtyas
·5 menit baca
Grand Design Reformasi Birokrasi (GDRB) menginginkan pada 2019 birokrasi diharapkan sudah sampai pada tahap kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, serta nepotisme. Pelayanan publik juga diharapkan sudah memenuhi harapan masyarakat sehingga siap ”melejit” ke pemerintahan kelas dunia.
Namun, berbagai ukuran indikator menunjukkan harapan itu belum memuaskan. Tulisan ini mencoba melihat capaian itu secara kuantitatif berdasarkan tiga arahan dalam grand design, yaitu kemampuan bebas dari KKN, kualitas pelayanan publik dan kapasitas-akuntabilitas birokrasi.
Pada peringatan Hari Antikorupsi sedunia 2020, Presiden Joko Widodo menekankan pembenahan birokrasi merupakan jalan memperkecil korupsi. ”…Pemerintah berusaha keras melakukan reformasi struktural secara besar-besaran, regulasi yang tumpang tindih, dan prosedur yang rumit … Butuh orkestrasi kebersamaan yang luar biasa untuk mencegahnya, butuh inovasi dan kerja sistematis untuk menutup peluang bagi terjadinya korupsi,” kata Jokowi. (Kompas.com, 17/12/2020)
Sulitnya Presiden menangani korupsi terlihat nyata dari tertangkap tangannya dua anggota kabinetnya oleh KPK di bulan November 2020 (menteri KKP, Edhy Prabowo) dan awal Desember 2020 (Mensos, Juliari Batubara). Sepanjang tahun 2020, total sudah 8 OTT KPK dilakukan mulai dari awal tahun (7/1, kasus Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah) hingga akhir tahun (4/12, kasus dana Bansos). Tiada jeda koruptor beraksi di sepanjang tahun.
Dari ukuran penyelenggaraan negara bebas korupsi, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2019 tercatat naik 2 poin menjadi 40 dari skor 38 di tahun sebelumnya. Peringkat Indonesia juga naik ada di peringkat ke-85 dari peringkat ke-89 tahun sebelumnya. Rapor ini belum memuaskan jika melihat konteksnya.
Catatannya adalah rata-rata skor IPK dunia berada pada skor 43. Dari 180 negara obyek survei, sebanyak 60 persen atau 120 negara memiliki skor di bawah 50. (Berita KPK, 24/1/2020 dari Tranparency International Indonesia).
Jika merunut tren selama dua dekade ini kondisi bebas korupsi Indonesia sebetulnya menunjukkan perbaikan, tetapi belum mencapai level birokrasi bersih sebagaimana dikehendaki dalam grand design. Terlebih komponen penyusun IPK itu juga disadari tak semata ada di birokrasi, melainkan juga lingkungan yang lebih luas termasuk aspek politik, masyarakat dan kemandirian partai politik.
Sementara itu dalam rapor akuntabilitas pengelolaan keuangan negara memberikan nada lebih positif. Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) menyebutkan bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dicapai oleh seluruh laporan keuangan pemerintah provinsi di Indonesia tahun 2019. Opini WTP juga dicapai oleh 364 dari 415 pemerintah kabupaten, dan 87 dari 93 pemerintah kota.
Secara keseluruhan, BPK mengungkapkan opini WTP atas 485 (90 persen) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Jumlah itu meningkat 82 persen dibandingkan dengan LKPD tahun 2018 (BPK.go.id). Besaran capaian opini tersebut melampaui target kinerja keuangan daerah yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJMN) 2015-2019.
Pelayanan berintegritas
”Mayoritas ASN sudah profesional, tinggal produktivitasnya harus ditingkatkan.... Penyederhanaan birokrasi semata-mata untuk mempercepat pelayanan publik,” kata MenPAN-RB, Cahyo Kumolo dalam sebuah streaming wawancara di media sosial, Juni 2020. Catatan yang disebutkan Menteri Cahyo itu menyiratkan kondisi kondusif arah perbaikan birokrasi di Indonesia.
Kementerian PAN-RB dalam Paparan Akhir Tahun 2020 memang menyatakan tujuan untuk mempercepat pelayanan, meningkatkan responsivitas birokrasi dan meningkatkan kualitas output birokrasi. Hal itu dilakukan dengan lebih banyak melakukan penyederhanaan struktur birokrasi di kementerian/lembaga, pembubaran lembaga nonstruktural (LNS), dan transformasi pemerintahan berbasis elektronik.
Tercatat sebanyak 37 LNS dibubarkan sejak 2014 hingga 2020, dan penyederhanaan struktur dari 73 kementerian/lembaga dengan total jumlah mencapai 38.398 struktur birokrasi. Demikian juga pembubaran lembaga negara non struktural (badan, dewan, komite, komisi) yang tahun 2020 mencapai 14 lembaga, jauh lebih besar dari lembaga yang dibubarkan tahun-tahun sebelumnya.
Angka-angka itu tampaknya menjanjikan pelayanan publik yang memiliki performa lebih memadai. Meski demikian patut diwaspadai pula aspek terkait integritas dari para ASN.
Hasil Survei Penilaian Integritas yang dilakukan KPK tahun 2018 terhadap 26 Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah menunjukkan hasil rata-rata skor 68,75 dari skala 1 hingga 100. Dibandingkan dengan setahun sebelumnya (2017), raihan skor umum ini hanya meningkat tipis.
Contoh masih adanya permasalahan integritas dalam survei tersebut, di antaranya adalah keberadaan calo, nepotisme penerimaan pegawai, dan adanya suap/gratifikasi yang didengar sekitar 25 persen responden. Kemudian ada 5,6 persen responden melihat/mendengar suap dalam promosi, dan 20 persen pegawai melihat pelapor korupsi justru mengalami pengucilan, hambatan karier, bahkan mencapat sanksi. (KPK.go.id, Survei Penilaian Integritas 2019).
Sebagai catatan, hasil survei hanya diklaim menggambarkan kondisi pada 26 lokus kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang disurvei, dan belum menggambarkan kondisi keseluruhan kelembagaan birokrasi.
Kemudahan berusaha
Dalam hal aspek kemudahan berusaha, capaian Indonesia sebenarnya tidak jelek amat. Namun, lagi-lagi tampak belum sepadan jika dipakai ukuran dari target yang dikehendaki oleh grand design. Berdasarkan laman doingbussiness.org posisi peringkat Indonesia ada di 73 tahun ini dengan skor 69,6.
Angka ini jika dibandingkan dengan total 190 negara yang dinilai, berada di papan tengah-atas. Sementara dari segi skor, jika dibandingkan dengan sesama negara ASEAN, skor Indonesia hanya di atas Filipina, Kamboja dan Laos, tetapi jauh tertinggal dari skor Thailand, Malaysia apalagi Singapura yang nomor dua dunia.
Eko Prasojo dalam opini di harian ini (28/11/2019) mencatat, problem Indonesia adalah banyaknya peraturan yang tumpang tindih, disharmoni, dan terlalu banyak. Dari penelitiannya sejak 1999, sebanyak 30.000 peraturan di daerah dibuat dan seperempatnya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Nah, masihkah diragukan perlunya pemangkasan regulasi demi penyederhanaan aturan main di negeri ini? (Litbang Kompas)