Reformasi birokrasi menjadi langkah strategis untuk mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi nasional. Langkah perombakan dilakukan di tengah kelambanan untuk berubah menjadi akuntabel, efisien, dan melayani.
Oleh
Toto Suryaningtyas
·5 menit baca
Agenda reformasi birokrasi sebenarnya sudah digaungkan sejak 1998 saat gerakan reformasi digelorakan oleh mahasiswa dan masyarakat. Secara intrinsik agenda perbaikan birokrasi itu menjadi bagian dari salah satu tuntutan reformasi, yakni penghapusan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Birokrasi menjadi bagian dari jaring kekuasaan politik pada masa Orde Baru.
Sejak era reformasi, Ketetapan MPR dan sejumlah peraturan perundangan telah dilahirkan untuk mengawal dan memperbaiki kondisi di dalam birokrasi.
Ada enam Tap MPR terkait reformasi birokrasi yang lahir antara tahun 1998 dan 2002, dengan dua di antaranya menuju jantung reformasi birokrasi. Keduanya adalah Tap MPR RI Nomor II/MPR/2002 tentang percepatan pertumbuhan ekonomi dan reformasi birokrasi, dan Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2002 tentang reformasi kultur birokrasi yang transparan, akuntabel, bersih dan melayani masyarakat.
Dalam bentuk undang-undang, paling tidak enam UU dibentuk sejak 1999 hingga 2007 yang langsung-tidak langsung berusaha menerjemahkan batasan dan arahan reformasi birokrasi. Yang terawal lahir adalah UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Setelah itu langkah penguatan reformasi birokrasi melalui pembentukan perundangan tidak terpantau, kecuali berbagai peraturan tingkat menteri, dan baru muncul lagi pada 2010. Langkah sistematis oleh pemerintah kembali hadir di tahun 2010 melalui terbitnya Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2024 (GDRB).
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 inilah yang kemudian (mestinya) menjadi acuan bagi kementerian, lembaga, ataupun pemerintah daerah dalam mereformasi birokrasi. Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, aparat sipil negara (pegawai negeri) diarahkan untuk meninggalkan pola pendekatan pangreh praja (yang bernuansa pejabat sebagai penguasa), menjadi bersikap pamong praja (pejabat sebagai pelayan publik).
Pelaksanaan operasional GDRB, dituangkan dalam Road Map Reformasi Birokrasi yang ditetapkan setiap 5 (lima) tahun sekali oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Grand design menjadi pedoman penyusunan Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) 2010-2014.
Salah satu yang menonjol dalam grand design itu adalah keinginan agar birokrasi Indonesia mampu mencapai level pemerintahan yang berkelas dunia (World-class Government) di tahun 2025. Artinya pada tahun 2025, Indonesia diharapkan berada pada fase yang benar-benar bergerak menuju negara maju.
Kesadaran bahwa RI membutuhkan birokrasi pemerintahan berkelas dunia ini mengacu kepada kemajuan yang dicapai bangsa-bangsa di dunia, khususnya di Asia (Korea Selatan, China, Singapura, dan Jepang) yang mampu mencapai kemajuan pesat saat ini dengan mengawalinya dari perbaikan di dalam sistem birokrasi mereka di waktu dulu.
Pencapaian
Berdasarkan acuan grand design tersebut, kita sebenarnya sudah memiliki timetable perbaikan birokrasi, alias tahap-tahap perbaikan yang harus sudah diselesaikan. Sebagai contoh, di tahun 2014 berdasarkan grand design diharapkan sudah ada kondisi jumlah PNS (ASN) yang proporsional dan penguatan kualitas pelayanan publik.
Adapun pada tahun 2019, diharapkan dapat diwujudkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, serta nepotisme. Juga penerapan prinsip-prinsip clean government dan good governance menjadi prinsip yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Sayangnya implementasi dari pelaksanaan program reformasi birokrasi masih belum menemukan hasil yang maksimal. Pelayanan publik secara umum relatif belum sesuai dengan harapan masyarakat, di tengah perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi yang semakin ketat.
Faktanya hingga tahun 2019 lalu masih belum muncul langkah menonjol. Reformasi di bidang birokrasi secara umum masih relatif tertinggal dibandingkan grand design. Langkah menonjol baru terjadi di Juni 2020 lalu, saat pemerintah memangkas jajaran Eselon 3 dan 4, (sebagian kecil eselon 5), untuk merampingkan proses perijinan.
Bisa dibilang meski membaik, kapasitas dan akuntabilitas kinerja aparat dan struktur birokrasi masih lamban, profesionalitas belum merata, dan mind-set belum mencerminkan integritas dan kinerja tinggi. Singkat kata, proses reformasi birokrasi Indonesia terjadi perbaikan, tetapi belum berjalan optimal dilihat dari sudut pandang administrasi publik maupun politik negara.
Tak pelak, Presiden Jokowi pun terlihat gerah melihat proses reformasi birokrasi Indonesia yang masih tertatih-tatih itu dan dinilai menghambat kemajuan pembangunan. Dalam pidato perdana pasca-kemenangan Pilpres 2019 di Sentul, Bogor, (14/7/2019) Presiden Jokowi dengan lantang dan tegas menyatakan perlunya penyederhanaan birokrasi, peningkatan efisiensi dan penyederhanaan struktur kelembagaan.
”…Sangat penting bagi kita untuk mereformasi birokrasi kita. Reformasi struktural! Agar lembaga semakin sederhana, semakin simpel, semakin lincah!... Kalau pola pikir, kalau mindset birokrasi tidak berubah, saya pastikan akan saya pangkas! Tolong ini dicatat! Karena kecepatan melayani, kecepatan memberikan izin, menjadi kunci bagi reformasi birokrasi kita. …Akan saya kontrol sendiri! Begitu saya lihat tidak efisien atau tidak efektif, saya pastikan akan saya pangkas…!” kata Jokowi.
”Teriakan” Presiden Jokowi itu sebenarnya sudah lama disampaikan di berbagai kesempatan. Jika dirunut dari pemberitaan berbagai platform media, Presiden Jokowi sebenarnya sudah berkali-kali memberi perhatian dan menuntut terlaksananya reformasi birokrasi sejak awal masa jabatan periode I (2014).
Dalam Rapat Kabinet Terbatas, Januari 2017, Jokowi memberi lagi tiga arahan reformasi birokrasi: (1) memperbaiki distribusi ASN, (2) meningkatkan skor Indeks Efektivitas Pemerintahan, (3) memberantas korupsi dan memperbaiki sistem merit.
Faktanya, peta jalan (road map) Reformasi Birokrasi yang dirilis Kementerian PAN dan RB setiap lima tahunan belum menjadi petunjuk yang menuntun jalan menuju suatu transformasi kelembagaan pemerintahan.
Hasil yang dicapai pun belum maksimal. Selain birokrasi masih gemuk jumlahnya, lebih dari 4 juta orang saat ini, struktur pemerintahan masih relatif bertakik-takik dan mengalami tarik-menarik politik ketika hendak dilempangkan. (Litbang Kompas-Bersambung)