Setiap Empat Hari, Satu Jurnalis di Dunia Terbunuh
Dalam 15 tahun terakhir, lebih dari 1.000 jurnalis terbunuh dari berbagai belahan dunia. Serangan teror dan kekerasan tidak saja mengancam jurnalis, tapi mengancam jurnalisme.
Dalam kurun 15 tahun terakhir, lebih dari 1.000 jurnalis terbunuh dari berbagai belahan dunia. Serangan teror, liputan konflik bersenjata, dan aktivitas reportase khusus menjadi penyebab.
Berperan sebagai garda terdepan dalam menyampaikan informasi, para jurnalis harus berhadapan dengan serangkaian ancaman yang terkadang tidak sebanding dengan hak yang mereka terima.
Kasus pembunuhan Jamal Khashoggi, jurnalis asal Arab Saudi, pada 2018 membuka mata dunia internasional tentang ancaman bagi profesi kewartawanan. Penulis kolom di The Washington Post ini sempat dikabarkan hilang setelah mengunjungi Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, pada Oktober 2018.
Khashoggi memang banyak menulis tentang Arab Saudi dari sudut pandang kritis. Ia pernah melontarkan kritikan tentang gencarnya penangkapan ulama hingga aktivis yang memiliki perbedaan pendapat dengan pemerintah Arab Saudi.
Ia juga dikenal kritis terhadap Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman. Atas peristiwa ini, kejaksaan Turki pada September 2020 menuntut hukuman penjara seumur hidup bagi dua terdakwa serta penjara lima tahun bagi empat terdakwa lainnya (Kompas, 29 September 2020).
Khashoggi adalah satu di antara 99 jurnalis di dunia yang terbunuh sepanjang tahun 2018. Pekerjaan sebagai penyampai informasi memang turut memberikan risiko yang besar bagi para pewarta. Ancaman kekerasan verbal, fisik, dan pembunuhan dialami oleh sejumlah jurnalis pada berbagai negara di dunia dalam tiga lustrum terakhir.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mencatat, sejak tahun 2006 hingga 23 Desember 2020, terdapat 1.225 jurnalis yang terbunuh di seluruh dunia. Jika dirata-ratakan, terdapat satu jurnalis yang terbunuh setiap empat hari selama 15 tahun terakhir.
Puncak tertinggi jumlah kasus terbunuhnya jurnalis adalah tahun 2012. Saat itu 124 jurnalis terbunuh dalam kurun satu tahun. Salah satu kasus yang menjadi perhatian dunia internasional kala itu adalah terbunuhnya 2 jurnalis Barat di Kota Homs, Suriah.
Jurnalis foto asal Perancis, Remi Ochlik, dan wartawan surat kabar Inggris, Sunday Times, Marie Colvin, tewas terbunuh akibat tembakan artileri tentara Suriah yang sedang mengepung basis oposisi di wilayah Homs. Selain itu, juga terdapat satu jurnalis lokal dan 24 warga sipil lainnya yang juga terbunuh (Kompas, 24 Februari 2012).
Dalam enam tahun terakhir, jumlah kasus terbunuhnya jurnalis mulai menunjukkan tren penurunan. Namun, jumlahnya masih cukup tinggi. Pada tahun 2020, misalnya, hingga 23 Desember UNESCO mencatat terdapat 59 jurnalis yang tewas terbunuh.
Jika dirata-ratakan, setiap enam hari terdapat satu jurnalis di dunia yang terbunuh sepanjang 2020. Kondisi ini menggambarkan bahwa keselamatan jurnalis dalam menjalankan aktivitas liputan masih tetap terancam di tengah pandemi Covid-19.
Baca juga: 50 Jurnalis Terbunuh di 2020, Mayoritas Menjadi Target
Sebaran
Menilik berdasarkan sebaran wilayah, jumlah kematian jurnalis akibat terbunuh selalu didominasi oleh kawasan Asia Pasifik dan Amerika Latin-Karibia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Pada tahun 2018, misalnya, terdapat 32 kematian jurnalis di kawasan Asia Pasifik dan 26 kematian di kawasan Amerika Latin-Karibia.
Hal serupa juga kembali terjadi pada tahun 2020. Kawasan Asia Pasifik dan Amerika Latin-Karibia masing-masing mencatatkan 22 kematian jurnalis akibat terbunuh.
Pada tahun 2018 dan 2019, kasus kematian jurnalis tertinggi tercatat di Meksiko (25 kasus), Afghanistan (21), dan Suriah (15). Meksiko menjadi salah satu negara dengan tingkat ancaman yang tinggi bagi jurnalis.
Menurut catatan Committee to Protect Journalists (CPJ), organisasi nirlaba yang fokus pada hak-hak jurnalis, sepanjang tahun 2020 terdapat 14 jurnalis di Meksiko yang hilang.
Salah satu peristiwa pembunuhan jurnalis di Meksiko terjadi pada 9 Desember 2020. Menurut laporan CPJ, pewarta foto Jaime Castano ditembak saat mengendarai sepeda motor. Sebelumnya, Castano memotret dua korban penembakan.
Namun, ia diminta menghapus foto tersebut oleh seorang pemuda tidak dikenal. Karena menolak untuk menghapus, ia dikejar sebuah mobil hingga akhirnya ditembak.
Dari seluruh jurnalis yang terbunuh di dunia dalam kurun 2018-2019, jumlah kasus terbesar dialami jurnalis televisi yang mencapai 47 kasus. Kasus yang cukup tinggi juga dialami jurnalis dari radio (38 kasus) dan media cetak (33 kasus).
Sementara menilik dari sisi jender, terdapat kenaikan kasus kematian jurnalis perempuan secara persentase. Pada tahun 2018, dari total jurnalis yang terbunuh, tujuh persen di antaranya perempuan. Persentase ini meningkat pada tahun 2019 menjadi sembilan persen.
Baca juga: Kasus Pembunuhan Jurnalis Mengguncang Pemerintah Malta
Faktor penyebab
Ada beberapa faktor penyebab terbunuhnya para jurnalis, khususnya pada periode 2018 dan 2019. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi dua, yakni penyebab langsung dan tidak langsung.
Menurut catatan UNESCO, dari 156 jurnalis yang terbunuh dalam kurun 2018-2019, 51 persen di antaranya tewas saat bertugas langsung di lapangan. Sementara 49 persen lainnya ditemukan tewas di luar konteks pekerjaan secara langsung.
Dari total jurnalis yang tewas saat bertugas, 13 jurnalis pada tahun 2018 dan 10 jurnalis pada 2019 tewas saat meliput konflik bersenjata. Pada daerah konflik, memberitakan suatu informasi sensitif merupakan sesuatu hal yang dapat mengancam keselamatan jurnalis.
Selain itu, sebagian jurnalis lainnya terbunuh saat menjalankan tugas khusus, seperti reportase lapangan, wawancara, dan proses membuat film dokumenter. Sebanyak 13 jurnalis tewas sepanjang periode 2018-2019 saat melakukan tugas-tugas itu.
Keselamatan jurnalis juga terancam saat meliput kerusuhan. Sebanyak tiga jurnalis di dunia terbunuh saat berada di lapangan ketika meliput aksi protes atau kerusuhan sepanjang 2018 dan 2019.
Baca juga: Tahun 2020, Tahun Kelam bagi Wartawan
Kekerasan jurnalis di Indonesia
Ancaman selama melakukan proses peliputan juga dialami sejumlah jurnalis di Indonesia. Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), terdapat 84 kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis sejak 1 Januari hingga 25 Desember 2020.
Jumlah kasus ini merupakan yang terbanyak dalam 10 tahun terakhir. Bahkan, dibandingkan tahun 2015, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia pada tahun 2020 meningkat hingga dua kali lipat.
Dari seluruh kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia pada tahun 2020, 20 persen di antaranya adalah kekerasan fisik dan 18 persen lainnya kekerasan dalam bentuk perusakan hingga perampasan alat liputan. Selain itu, juga terdapat ancaman teror yang diterima oleh 10 persen jurnalis lainnya.
Meski menghadapi tantangan dan ancaman dalam liputan, belum semua jurnalis di Indonesia memperoleh hak secara wajar. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh AJI Jakarta terhadap 144 jurnalis dari 37 media pada November 2019, masih terdapat jurnalis yang menerima gaji di bawah standar upah minimum. Hal ini tentu menjadi ironi di tengah tugas dan risiko besar yang dihadapi oleh jurnalis.
Di tengah maraknya bias informasi di media sosial, peran jurnalis kini amat sangat dibutuhkan untuk menghasilkan informasi yang jernih bagi publik. Ancaman kekerasan, kasus pembunuhan di dunia yang terus terjadi setiap tahun, dan persoalan upah yang layak tentu perlu menjadi perhatian. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?