Bertahan Hidup di Kawasan Rawan Erupsi Gunung Api
Memiliki tingkat kerawanan letusan gunung api, menuntut masyarakat Indonesia untuk memiliki kapasitas adaptasi bencana yang memadai.
Di luar Gunung Sinabung yang sudah kerap bergejolak, ada tiga gunung api yang juga menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik sepanjang 2020. Ketiganya adalah Gunung Ile Lewotolok, Gunung Merapi, dan Gunung Semeru. Tercatat total lebih dari 10.000 jiwa mengungsi akibat peningkatan status ketiga gunung. Upaya mitigasi dan adaptasi menjadi pertaruhan keberhasilan menekan dampak erupsi.
Aktivitas vulkanik tiga gunung meningkat di tahun 2020. Gunung Ile Lewotolok yang terletak di Lembata, NTT, meletus pada Minggu (29/11/2020) pukul 09.00 WITA. Saat erupsi, muncul gempa tektonik sebanyak enam kali, kemudian keluar kolom abu setinggi 500 meter dari puncak gunung. Radius yang harus dihindari dari puncak gunung mencapai 4 kilometer.
Catatan dari BNPB, hingga Sabtu (5/12/2020) warga yang mengungsi berjumlah 9.028 jiwa. Berbagai fasilitas publik menjadi sarana pengungsian, seperti aula kelurahan, aula kantor camat, hingga pasar. Selain fasilitas publik, banyak warga mengungsi ke keluarga yang lokasi tempat tinggalnya lebih aman.
Sebagai respon situasi darurat bencana, Pemerintah Kabupaten Lembata menetapkan status tanggap darurat di wilayahnya mulai tanggal 29 November hingga 12 Desember 2020. Berbagai langkah penanganan dilakukan, termasuk melakukan cek suhu dan rapid tes antigen bagi warga sebagai upaya pencegahan infeksi Covid-19 di lokasi pengungsian.
Tak berselang lama, masyarakat dikejutkan dengan letusan gunung api tertinggi di Pulau Jawa, yaitu Gunung Semeru. Letusan terjadi pada 1 Desember 2020. Aktivitas vulkanik masih terjadi hingga seminggu sejak letusan dengan guguran lava pijar dan luncuran awan panas mencapai jarak 1,5 kilometer dari puncak gunung.
Guguran awan panas paling besar terjadi saat erupsi pertama yang jarak luncurnya mencapai 11 kilometer dari kawah. Saat meletus, muncul kolomerupsi putih tebal dengan ketinggian sekitar 500 meter dari kawah. BPBD Kabupaten Lumajang melaporkan, setidaknya ada 550 warga mengungsi.
Kenaikan aktivitas vulkanik juga ditunjukkan oleh Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Status siaga ditetapkan pada Kamis (5/11/2020) setelah diketahui adanya peningkatan intensitas gempa dan laju deformasi di area tubuh gunung.
Penetapan status siaga menunjukkan potensi terjadinya erupsi dalam waktu dekat. Oleh sebab itu, radius lima kilometer dari puncak kawah dikosongkan, mengingat adanya bahaya erupsi berupa guguran lava, lontaran material, dan awan panas.
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) yang bertugas memantau Gunung Merapi telah mengumumkan wilayah mana saja yang diperkirakan terdampak. Dusun-dusun tersebut tersebar di Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten.
Selain tiga gunung api yang meningkat aktivitas vulkaniknya, terdapat juga Gunung Sinabung yang juga kembali meletus tahun ini. Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, dengan tinggi kolom abu 5.000 meter dan 2.000 meter, terjadi pada 10 Agustus 2020. Abu pekat memapar empat kecamatan di Karo, yakni Berastagi, Merdeka, Dolat Rayat, dan Namanteran.
Risiko letusan
Secara geologi, ketiga gunung api yang menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik tersebut berada di wilayah sisi selatan Indonesia. Karakteristik gunung di wilayah tersebut pembentukannya terpengaruh oleh batas geologi antara Asia dan Australia. Dalam terminologi ilmu kebumian dikenal dengan batas antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia.
Namun, bukan hanya di wilayah sisi selatan saja keberadaan gunung api di nusantara. Indonesia memiliki jumlah gunung api aktif terbanyak di seluruh dunia, total sebanyak 129 gunung. Apabila dirunut dari Sumatera hingga Sulawesi, total jalur gunung api mencapai 7.000 kilometer. Oleh sebab itu masyarakat yang tinggal di daerah tersebut selalu memiliki ancaman bahaya erupsi gunung.
Berdasarkan pengukuran risiko letusan gunungapi oleh BNPB, ada 18 provinsi yang masuk kategori risiko rendah hingga tinggi dengan luasan area mencapai 1,15 juta hektar. Total penduduk terpapar diperkirakan sebanyak hampir 4 juta jiwa.
Perhitungan risiko menjadi pendekatan nonstruktural dalam upaya menekan dampak bencana. Parameter penting perhitungan dampak bencana adalah penduduk, penggunaan lahan, karakteristik wilayah, dan data sejarah letusan. Oleh sebab itu, risiko bencana akan meningkat seiring kepadatan penduduk dan masifnya pembangunan.
Implementasi risiko bencana adalah penyusunan rencana tata ruang wilayah berbasis mitigasi bencana. Khusus bencana gunungapi, penetapan status kerawanan wilayah didasarkan pada alur sungai dan jauhnya lontaran material vulkanik saat terjadi letusan.
Alur sungai biasanya menjadi wadah aliran awan panas hingga banjir lahar dingin dengan daya rusak tinggi. Sementara lontaran material vulkanik dijadikan salah satu acuan penetapan kawasan rawan bencana (KRB) I hingga III. Area paling berbahaya berada di KRB III.
Material vulkanik yang dikeluarkan saat erupsi gunung api sangat berbahaya. Ada material yang mengandung gas beracun dan material bersuhu sangat tinggi. Wilayah paling dekat dengan puncak gunung api sering terkena awan panas, aliran lava, lontaran material vulkanik, gas beracun, hingga guguran batu pijar.
Kesiapsiagaan komunitas
Melihat tingginya risiko bencana dari erupsi gunung api harus diimbangi faktor kesiapan masyarakat. Tujuannya untuk menekan dampak kerugian yang lebih besar dari munculnya bencana erupsi. Salah satu basis kesiapsiagaan untuk bencana letusan gunung api diprioritaskan dalam bentuk berbasis komunitas.
Mitigasi berbasis komunitas ini dimulai dari keseragaman pemahaman tentang bahaya, risiko, dan upaya mitigasi bencana. Ujung dari kesiapsiagaan komunitas ini adalah pengambilan keputusan yang tepat di saat darurat.
Proses mitigasi yang telah dikembangan perlu mendapat dukungan dari komunitas penduduk di lokasi rawan bencana. Setiap komunitas memiliki tingkat pemahaman berbeda-beda, sehingga penilaian kesiapan dapat dilihat dari proses adaptasi yang tercermin dari budaya lokal.
Baca juga: Gunung Semeru yang Memberi Penghidupan
Hampir serupa dengan jenis bencana lainnya, kapan letusan gunung api terjadi masih belum bisa ditentukan dengan tepat. Berbagai macam pengamatan dan penelitian dilakukan sampai penentuan status potensi erupsi atau tidak.
Ketidakpastian yang membayangi bencana letusan gunung api menuntut berbagai pihak mampu merumuskan rencana penanganan dengan jelas. Komunitas yang berdaya menjadi modal besar keberhasilan menekan dampak bencana.
Dalam konteks kemampuan beradaptasi terhadap situasi krisis letusan gunung api, terdapat enam level pembangunan komunitas. Enam level tersebut dikelompokkan menjadi tiga tahapan, yaitu rencana manajemen bencana, edukasi publik berbasis media dan institusi, serta penguatan kebijakan dan strategi.
Tahapan pertama, rencana manajemen bencana, menjadi level paling dasar dalam penguatan komunitas. Level ini bertujuan untuk membentuk pemimpin lokal, budaya/kearifan lokal, jaringan komunitas, dan penyelarasan pengetahuan bencana dan manajemen bencana.
Tahapan kedua, edukasi publik berbasis media dan institusi, memiliki dua level, yaitu partisipasi, penguatan, dan peningkatan jaringan komunitas, serta program pendanaan, implementasi, dan evaluasi yang transparan.
Sementara tahapan akhir agar terbentuk komunitas yang tangguh dilakukan melalui tiga level, yaitu penetapan rencana kontingensi, pelatihan dan penyempurnaan rencana kontingensi, serta aksi rencana kontingensi sebagai respon situasi krisis.
Di masa pandemi Covid-19, mitigasi berbasis kesehatan juga harus menjadi bagian dari kemampuan adaptasi bencana. Menyediakan masker, sarana cuci tangan, dan penerapan jaga jarak di pengungsian merupakan antisipasi yang juga harus diperhitungkan. Jangan sampai, bencana alam berupa letusan gunung api dapat diantisipai, namun muncul bencana non-alam berupa pandemi korona yang mengancam masyarakat di tenda-tenda pengungsian.
Sebagai wilayah dengan kerawanan bencana letusan gunung api, masyarakat Indonesia dituntut untuk memiliki kapasitas adaptasi bencana yang memadai. Basis kesiapsiagaan komunitas termasuk menerapkan protokol kesehatan menjadi salah satu solusi untuk menekan risiko yang ditimbulkan bencana letusan gunung api. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Minim Mitigasi di Zona Bahaya