Data emisi karbon 1758-2018 dari Statista dan Global Green Growth Institute menemukan tren kenaikan drastis emisi setelah krisis akibat pandemi. Konsep ekonomi hijau menjadi tawaran penyeimbang pembangunan pascapandemi.
Oleh
Yoesep Budianto
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas menguji emisi kendaraan roda empat di kompleks kantor Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta di Cililitan, Jakarta Timur, 24 November 2020.
Berdasarkan catatan sejarah, kegiatan ekonomi menunjukkan tren peningkatan setelah pandemi. Hal ini menyebabkan kenaikan emisi karbon yang mengancam kelestarian lingkungan. Konsep ekonomi hijau menjadi tawaran penyeimbang pembangunan di era pascapandemi.
Sejarah menunjukkan, intensitas pembangunan ekonomi cenderung meningkat setelah pandemi. Kegiatan ekonomi dan pembangunan yang sempat terhenti pada pandemi kembali dilakukan untuk mengejar pertumbuhan. Aktivitas ekonomi pulih dan menggerakkan sektor-sektor industri, transportasi, hingga mobilitas pekerja.
Data emisi karbon sejak 1758 hingga 2018 dari Statista dan Global Green Growth Institute menemukan tren kenaikan drastis emisi setelah krisis pandemi. Dalam periode tersebut, setidaknya tercatat enam krisis kesehatan besar yang melanda dunia, yaitu kolera, flu rusia, flu Spanyol, flu asia, flu Hong Kong, serta flu babi. Adapun dalam satu dekade terakhir, terjadi tiga wabah penyakit, yakni ebola, MERS, dan Covid-19.
Geliat pembangunan ekonomi diiringi naiknya polutan dan emisi karbon yang berasal dari pembakaran bahan bakar dan emisi fugitive dari produksi bahan bakar. Pembakaran bahan bakar meliputi emisi yang dihasilkan oleh produksi listrik dan panas, industri minyak bumi, batubara, manufaktur, transportasi, serta perumahan. Adapun emisi fugitive berasal dari produksi bahan bakar, termasuk gas metan yang dihasilkan dari fasilitas produksi migas.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga melintasi area Laboratorium Pembangkit Listrik Tenaga Bayu di Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, 24 November 2020. Laboratorium ini menjadi proyek percontohan Pemerintah Kota Semarang yang bekerja sama dengan akademisi dalam pengembangan energi ramah lingkungan.
Rata-rata, kenaikan emisi karbon setelah pandemi 23,7 persen. Kenaikan paling besar terjadi setelah muncul wabah flu Asia (H2N2) pada 1957-1958, yaitu 33,6 persen. Lonjakan berikutnya terjadi wabah flu Hong Kong (H3N2) pada periode 1968-1970 yang mencapai 32,3 persen.
Tren peningkatan emisi karbon di satu sisi menjadi indikator pulihnya kegiatan ekonomi setelah terhenti pada saat pandemi. Namun, di sisi lain, naiknya emisi menjadi gambaran efek samping aktivitas ekonomi konvensional yang tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan.
Sejak 1978 hingga 2018, rata-rata kenaikan emisi tiap satu dekade 26 persen. Berdasarkan perhitungan, diproyeksikan emisi tahun 2028 mencapai 46,082 miliar ton. Emisi sebesar itu tentu akan menggagalkan tujuan besar pembangunan berkelanjutan rendah karbon dan upaya pengurangan kenaikan suhu rata-rata global. Potensi gagalnya upaya menekan perubahan iklim dan menjaga kualitas lingkungan perlu diatasi.
Ekonomi hijau
Saat ini telah tersedia pendekatan baru dunia, yakni paradigma ekonomi hijau yang memberikan jalan tengah antara keuntungan ekonomi dan penyelamatan lingkungan.
Ekonomi hijau memusatkan pada pertumbuhan yang kuat, tetapi ramah lingkungan dan inklusif secara sosial. Sistem yang dibangun terdiri dari pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, penurunan kemiskinan, dan keterlibatan sosial secara global dalam perspektif berkelanjutan. Intinya, ekonomi hijau membuat urusan ekonomi dan lingkungan tidak saling meniadakan.
Rancangan ekonomi hijau membutuhkan platform yang jelas karena ada tiga titik tumpu yang menentukan keberhasilannya. Ketiganya meliputi pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan emisi gas rumah kaca yang rendah.
Sementara itu, dalam konteks perekonomian terdapat instrumen pembiayaan pembangunan, yaitu pemberian stimulus. Riset yang dilakukan oleh Vivid Economics and Finance for Biodiversity menunjukkan, ternyata hanya sedikit negara yang memberikan investasi stimulus akibat Covid-19 terhadap proyek ramah lingkungan.
Penelitian tersebut dirilis dalam dokumen Greenness of Stimulus Index (GSI) yang melibatkan G-20 dan negara lain dengan perekonomian terbesar di dunia. Secara global, paket stimulus yang dikeluarkan mencapai 12,7 triliun dollar AS. Akan tetapi, hanya empat dari 25 negara yang memperhatikan isu lingkungan dan perubahan iklim secara serius. Indonesia belum termasuk di dalamnya.
Indeks Stimulus Hijau mengukur besarnya pembiayaan yang mendukung proyek-proyek berbasis lingkungan. Empat negara dengan stimulus hijau tertinggi ialah Perancis, Spanyol, Inggris, dan Jerman. Sebagai tambahan, Kanada menjadi negara dengan stimulus yang imbang antara kontribusi terhadap lingkungan dan sebaliknya.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidrap berdiri di perbuktian di Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, 22 Juli 2019. Pembangkit ini terdiri dari 30 turbin yang masing-masing berkapasitas 2,5 MW.
Posisi Indonesia dalam Indeks Stimulus Hijau masuk 10 negara dengan stimulus ekonomi di masa pandemi yang memiliki kontribusi negatif terhadap lingkungan. Catatan penting dari rilis tersebut ialah ketidakjelasan aturan hukum di Indonesia berdampak pada penurunan lingkungan.
Padahal, sebenarnya Indonesia telah mengambil langkah besar dalam implementasi ekonomi hijau. Proses pertamanya dilakukan dengan memasukkan unsur lingkungan dan perubahan iklim dalam struktur ekonomi makro 2024 dan menjadikannya sebagai poin prioritas nasional.
Dalam konteks pembangunan ekonomi hijau, implementasi dilakukan oleh Bappenas dan tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024. Masuknya parameter lingkungan dan perubahan iklim di dalam RPJMN berimbas pada acuan prioritas ekonomi makro, yaitu menurunkan emisi karbon sebesar 27,3 persen.
Implementasi lima platform tersebut dilakukan dengan menunjuk tujuh provinsi percontohan, yaitu Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Papua Barat, dan Papua. Target terdekatnya ialah menghindari pemulihan ekonomi yang merusak lingkungan setelah pandemi.
Pergeseran paradigma
Prinsip dasar ekonomi hijau adalah meningkatkan kesejahteraan dan sekaligus mencegah naiknya emisi gas rumah kaca serta mengatasi dampak perubahan iklim. Bappenas memulainya dengan melakukan penerjemahan program pembangunan rendah karbon di tingkat daerah.
Kompas/Priyombodo
Foto udara perumahan yang dilengkapi panel surya di kawasan Summarecon Serpong, Tangerang, Banten, 4 Maret 2020.
Ada enam kebijakan yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dalam jangka panjang. Pertama, mempercepat transisi menuju sumber energi terbarukan dan menjauh dari batubara. Target terbesar, porsi energi terbarukan mencapai 30 persen pada tahun 2045.
Kedua, meningkatkan efisiensi energi dengan menurunkannya menjadi rata-rata 3,5 persen per tahun hingga 2045. Ketiga, pelaksanaan menyeluruh moratorium izin kehutanan, sawit, tambang, dan lahan gambut.
Keempat, meningkatkan target reforestasi menjadi lebih dari tiga kali lipat atau sekitar 1 juta hektar pada 2024. Kelima, meningkatkan komitmen mencapai keberlanjutan air, perikanan, dan keanekaragaman hayati. Poin terakhir, produktivitas lahan diperbaiki secara komprehensif.
Opsi mendorong ekonomi konvensional setelah masa pandemi atau krisis merupakan langkah pasti untuk menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, hal itu harus dibarengi dengan pembangunan berkelanjutan. (LITBANG KOMPAS)