“The Uninhabitable Earth” dan Secarik Pesan dari Bumi yang tak Dapat Dihuni
Derasnya arus perubahan iklim membuat kondisi Bumi makin tidak layak huni. Buku The Uninhabitable Earth membawa pesan penurunan kualitas lingkungan Bumi.
Lebih dari tiga dekade permasalahan perubahan iklim Bumi dibahas. Namun, hingga sekarang problem tersebut masih belum terselesaikan. Proyeksi suhu global yang makin tinggi membawa manusia, hewan, dan tumbuhan ke sebuah kenyataan bahwa Bumi makin tidak layak dihuni.
Buku yang ditulis oleh David Wallace-Wells ini mengungkap fakta pahit makin buruknya kondisi Bumi saat ini dari perspektif lingkungan dan perubahan iklim. Meskipun banyak membahas perubahan iklim, namun penjelasan tentang efek ke sektor lain, mulai dari pangan, air, kemiskinan, hingga migrasi penduduk, turut disajikan dengan runut.
Perubahan iklim menjadi titik berat ulasan, karena fenomena tersebut terus berjalan dengan cepat dan menyebar luas dampaknya. Perubahan iklim tidak hanya terjadi di wilayah Kutub Utara dan Selatan Bumi, tapi juga melanda seluruh dunia. Efek domino yang ditimbulkan merusak keseimbangan ekosistem, termasuk ancaman ketahanan pangan dan ketersediaan air bersih.
Data terbaru dari NASA menyebutkan, kondisi saat ini emisi karbon mencapai 415 ppm pada Oktober 2020. Kadar emisi tersebut merupakan yang tertinggi selama 650.000 tahun terakhir. Demikian pula suhu global memanas hingga 1 derajat, termasuk sebagai titik terpanas sejak 2001.
Situasi besar yang berubah di permukaan Bumi tidak hanya terjadi abad ini, melainkan telah berlangsung sejak 444 juta tahun lalu dan terjadi sebanyak lima kali. Setiap terjadi perubahan, maka seluruh bentuk kehidupan Bumi akan bertranformasi. Bahkan sebagian lenyap (punah massal) dan digantikan kehidupan lainnya.
Terdapat lima peristiwa kepunahan massal yang mampu memusnahkan sebagian besar kehidupan hewan dan tumbuhan. Kepunahan massal tersebut disebabkan perubahan iklim yang makin panas karena kadar karbon naik tajam.
Kepunahan pertama terjadi pada periode Ordovisium Akhir, sekitar 444 juta tahun yang lalu. Peristiwa tersebut melenyapkan 86 persen spesies makhluk hidup di Bumi. Fase kepunahan berikutnya terjadi pada 375 juta tahun yang lalu, tepatnya periode Akhir Devonian, dengan total kepunahan 75 persen spesies.
Selanjutnya, kematian massal dan perubahan drastis terjadi 257 juta tahun yang lalu pada periode Permian Akhir, di mana 96 persen spesies di Bumi punah. Saat itu, kehidupan di Bumi nyaris lenyap, bahkan seakan mundur 300 tahun lamanya. Kepunahan besar berikutnya muncul 200 juta tahun yang lalu pada periode Trias Akhir, sebanyak 80 persen spesies lenyap.
Perubahan besar paling dekat terjadi pada periode Kapur Akhir, yaitu 66 juta tahun yang lalu, di mana 76 persen makhluk hidup musnah. Periode Kapur merupakan masa kejayaan hewan besar yang disebut dinosaurus.
David Wallace memberi penekanan pada setiap kejadian lenyapnya spesies makhluk hidup, yaitu kondisi Bumi yang makin hangat. Kadar karbon yang terus meningkat membuat suhu Bumi makin panas dan memusnahkan sebagian spesies hewan dan tanaman.
Naiknya suhu Bumi juga masih berlangsung hingga saat ini. Bumi makin dipenuhi karbon dengan laju penambahan kadar karbon lebih tinggi, bahkan diperkirakan sepuluh kali lebih cepat. Apabila dilihat dari titik awal periode industrialisasi, maka laju kenaikan karbon mencapai seratus kali lebih cepat. Ironisnya, kadar karbon di atmosfer sudah sepertiga lebih banyak selama 800.000 tahun terakhir.
Kritis
Fakta memburuknya Bumi saat ini dan kisah kepunahan massal menjadi topik pertama yang dingkat dalam buku ini. Narasi kelam kualitas lingkungan dunia dilanjutkan dengan uraian tentang ekosistem Bumi yang makin kritis dan dampaknya bagi kehidupan makhluk hidup.
Ekosistem Bumi yang makin kritis dan dampaknya bagi makhluk hidup menjadi titik berat pembahasan perubahan iklim. Secara khusus, perubahan iklim fokus mengamati dinamika naik turunnya suhu permukaan Bumi. Kenaikan suhu yang drastis mampu mengubah, bahkan merusak eksositem global yang telah terbangun jutaan tahun. Di sisi lain, Bumi yang makin memanas karena rilis karbon dipicu oleh manusia sendiri.
Juni 2020 menjadi bulan paling panas sejak pencatatan suhu tahun 1815, sementara kadar karbonnya 47 persen lebih tinggi dibandingkan tahun 1850. Kenaikan karbon tersebut sangat cepat apabila dibandingkan masa sebelum industrialisasi yang membutuhkan waktu 20.000 tahun dengan persentase yang sama.
Perubahan suhu memunculkan banyak sekali kejadian ekstrem di permukaan Bumi, mulai dari bencana alam hingga ancaman kehidupan manusia karena minimnya bahan pangan dan air bersih. David Wallace-Wells menyebut kejadian ekstrem tersebut ke dalam jenis-jenis kekacauan iklim.
Ada sebelas unsur kacaunya iklim, yaitu gelombang panas, kelaparan, tenggelam, kebakaran, bencana tak lagi alami, kekurangan air, laut sekarat, udara yang tak bisa dihirup, wabah penyakit, ambruknya ekonomi, konflik akibat iklim, dan sistem krisis yang menyeluruh.
Sebagian besar wilayah daratan akan segera mengalami hari-hari yang lebih panas, terutama daerah tropis. Kenaikan suhu di angka 1,5 derajat celsius akan menyebabkan 14 persen populasi manusia terpapar gelombang panas yang parah setidaknya sekali setiap lima tahun. Apabila suhu naik 2 derajat celsius, populasi yang terpapar gelombang panas naik ke angka 37 persen.
Kekacauan berikutnya adalah kekeringan, khususnya yang melanda wilayah Eropa Selatan, Afrika Utara-Timur-Selatan, Amerika Selatan, dan Australia. Sementara kelangkaan air akan dialami hingga 270 juta orang di seluruh dunia menjelang tahun 2050. Bahkan, akibat minimnya air diperkirakan 140 juta orang akan bermigrasi pada 2050.
Bencana ekstrem yang akan lebih sering terjadi adalah banjir dan siklon tropis. Kenaikan suhu memicu peningkatan curah hujan di banyak wilayah, mulai dari frekuensi, intensitas, dan jumlah curah hujan dengan intensitas lebat.
Makin kritisnya kondisi Bumi juga terlihat dari potensi hilangnya banyak organisme. Kenaikan suhu pada angka 2 derajat celsius akan melenyapkan 18 persen serangga, 16 persen tumbuhan, dan 8 persen vertebrata. Situasi tersebut tidak lepas dari proyeksi perubahan besar seluruh bioma di permukaan Bumi.
Ekosistem gurun akan meningkat. Salah satu peningkatan terjadi dari hutan tundra di wilayah dingin yang berkurang karena udara makin panas. Sementara tanah-tanah yang membeku selama berabad-abad akan mencair. Dampaknya, simpanan karbon di dalam tanah akan lepas ke atmosfer.
Permukaan air laut juga akan makin tinggi. Diperkirakan 70 persen garis pantai Bumi akan mengalami kenaikan dan mengakibatkan banjir yang lebih parah di daerah pesisir, erosi pantai, serta memperluas laju intrusi air laut ke air tanah.
Lautan akan menjadi makin asam karena konsentrasi karbon yang tinggi. Kadar oksigen turun drastis dan menciptakan zona kematian biota laut. Setidaknya 70 hingga 90 persen spesies koral laut akan mati. Kondisi tersebut tentu berdampak pada keberlanjutan spesies ikan dan suplai makanan bagi manusia.
Komitmen
Melalui uraiannya ini, David Wallace mengajak pembaca untuk memahami pola iklim Bumi seperti membuka lembaran akhir dunia. Banyak fenomena alam yang muncul dengan ekstrem. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian banyak ilmuwan di seluruh dunia. Pemodelan yang menghasilkan rekomendasi atau menyajikan fakta-fakta tajam bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk meningkatkan kewaspadaan.
Dengan dunia yang satu derajat lebih hangat saja kejadian kebakaran hutan dan lahan, gelombang panas, serta badai sudah memenuhi media massa. Apalagi nanti proyeksi hingga dua derajat terlampaui, manusia akan diperhadapkan dalam kondisi krisis lingkungan, sosial, hingga budaya.
Akibat kondisi ini, tanggung jawab moral perubahan iklim jauh lebih rumit. Pemanasan global tidak terjadi karena satu atau dua orang yang salah membuat kebijakan atau berperilaku, namun kondisi tersebut telah terjadi di mana-mana tanpa memandang siapa pelaku siapa korbannya.
Setelah Protokol Kyoto 1997, bangsa-bangsa dunia kembali memperbaharui komitmen penurunan emisi karbon agar suhu Bumi tidak makin panas. Upaya tersebut ditandai dengan perjanjian Paris tahun 2015. Target utamanya adalah membatasi rata-rata pemanasan global pada 1,5 hingga 2 derajat celsius di abad ini.
Kerja sama dunia ini diperlukan untuk menekan pemanasan global. Persoalan emisi karbon berkaitan erat dengan proses industri di negara-negara maju. Bagi negara berkembang, isu emisi juga penting karena terkendala longgarnya aturan pelestarian lingkungan. Berdasarkan Kesepakatan Paris, negara maju diwajibkan menyumbang 100 miliar dollar AS tiap tahunnya sebagai dana iklim untuk membenahi kualitas Bumi.
Berbagai usaha dilakukan di banyak negara demi terciptanya kondisi iklim yang lebih kondusif. Buku The Uninhabitable Earth dapat menjadi gambaran suram dari kondisi Bumi yang akan datang. Bukti-bukti yang mengarah ke kekacauan iklim juga makin kuat.
Secarik pesan yang dituliskan dalam buku ini adalah pentingnya kolaborasi seluruh negara di dunia untuk menekan emisi karbon. Tanpa upaya bersama, termasuk partisipasi setiap penduduk dunia, Bumi makin cepat tidak layak huni (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: “Enlightenment Now” dan Optimisme Makin Membaiknya Kondisi Dunia