Ruang Persaingan Sengit Menuju Kursi Kepala Daerah
Wilayah berkarakter pemilih terbuka turut melahirkan persaingan ketat dalam pilkada. Selisih suara tipis di bawah 1 persen menjadi tantangan bagi sebuah kontestasi, terutama terkait penentuan sang pemenang.
Pemilihan kepala daerah tahun ini melahirkan sejumlah ruang kontestasi yang begitu ketat. Beberapa daerah mencatatkan selisih raihan suara antarpasangan calon di bawah 1 persen berdasarkan hasil penghitungan sementara dari KPU.
Kondisi ini menggambarkan bahwa konsentrasi pemilih tidak hanya terpusat pada satu calon tertentu di tengah keterbatasan pelaksanaan kampanye akibat pandemi Covid-19.
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada 9 Desember lalu turut melahirkan banyak pasangan calon, baik tokoh berpengalaman maupun pendatang baru dalam ranah politik lokal.
Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari 270 daerah penyelenggara pilkada, terdapat 739 pasangan calon dari berbagai latar belakang, seperti petahana, pengusaha, pensiunan aparatur sipil negara, dan tokoh adat.
Setiap daerah memiliki jumlah pasangan calon yang berbeda. Sebanyak 45 persen daerah penyelenggara pilkada diikuti oleh satu hingga dua pasangan calon. Sementara 55 persen daerah penyelenggara lainnya menghadirkan tiga hingga lima pasangan calon kepala daerah.
Pada tingkat pemilihan gubernur, pilkada di enam dari sembilan daerah penyelenggara diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Sumatera Barat menjadi daerah dengan jumlah kontestan terbanyak, yakni empat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
Sementara pada pemilihan wali kota, dari total 37 daerah penyelenggara, 57 persen di diantaranya diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Kondisi yang sama juga tercatat pada pemilihan bupati. Dari 224 daerah pemilihan, 54 persen di antaranya diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon.
Kondisi ini menggambarkan bahwa sebagian besar daerah penyelenggara pilkada telah berhasil melahirkan cukup banyak pasangan calon kepala daerah. Sementara pada sejumlah daerah lain, kehadiran dua pasangan calon pada 36 persen daerah penyelenggara pilkada juga menyelamatkan wilayah itu dari pertarungan melawan kotak kosong.
Baca juga : Jaga Kualitas Pilkada
Selisih ketat
Kehadiran lebih dari satu pasangan calon kepala daerah turut melahirkan persaingan yang ketat pada sejumlah daerah. Menurut penghitungan suara sementara dari KPU hingga Kamis (17/12/2020) pukul 13.00 WIB, terdapat 13 daerah penyelenggara pilkada yang mencatatkan selisih suara di bawah 1 persen antara pasangan peraih suara terbanyak pertama dan kedua.
Pada pemilihan gubernur, terdapat dua daerah yang melahirkan persaingan sengit antara pasangan calon, yakni Kalimantan Selatan dan Jambi. Kalimantan Selatan menjadi daerah dengan selisih raihan suara paling kecil di antara sembilan daerah penyelenggara pemilihan gubernur lainnya.
Dari total 95,3 persen suara dari TPS yang telah masuk hingga Kamis siang, perolehan suara pasangan Sahbirin Noor-Muhidin dan Denny Indrayana-Difriadi hanya terpaut 0,5 persen.
Ketatnya persaingan di Kalimantan Selatan cukup mengejutkan mengingat Sahbirin Noor merupakan petahana yang menjabat sebagai gubernur sejak tahun 2016 lalu. Kehadiran Denny Indrayana, putra daerah yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2011-2014, ternyata membuahkan persaingan yang sangat ketat.
Pada Pilkada 2015 lalu, pemilihan gubernur di Kalimantan Selatan juga melahirkan persaingan sengit. Sahbirin Noor saat itu hanya unggul 0,78 persen atas Muhidin, Wali Kota Banjarmasin periode 2010-2015 yang maju melalui jalur independen. Jejak ketatnya persaingan di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa daerah ini memiliki karakteristik pemilih yang terbuka.
Kejutan juga terjadi dalam pemilihan gubernur di Jambi. Calon petahana Fachrori Umar hanya meraih 24,6 persen suara dan berada di posisi terakhir dari tiga pasangan calon. Modal sosial sebagai petahana tidak serta-merta membawa kemenangan bagi Fachrori.
Kekalahan Fachrori sekaligus mengulang kisah tumbangnya petahana dalam pemilihan gubernur di Jambi pada 2015 lalu. Saat itu, Hasan Basri Agus hanya meraih 39,75 persen suara dan harus mengakui keunggulan Zumi Zola dengan raihan 60,25 persen suara.
Pada pilkada tahun ini, persaingan yang amat ketat justru terjadi antara pasangan Al Haris-Abdullah Sani dan Cek Endra-Ratu Munawaroh. Dari total 100 persen suara yang telah masuk, kedua pasangan ini hanya terpaut 0,8 persen untuk kemenangan pasangan Al Haris dan Abdullah Sani.
Baik Al Haris maupun Cek Endra sebelumnya merupakan bupati yang telah terpilih dua kali berturut-turut di wilayah masing-masing. Al Haris memimpin daerah Merangin, sementara Cek Endra menjabat sebagai bupati di Sarolangun.
Baca juga : Persaingan Ketat Tiga Poros Dukungan di Jambi
Pemilihan bupati dan wali kota
Persaingan yang tidak kalah ketat juga terjadi pada 11 daerah penyelenggara pemilihan bupati dan wali kota. Ketatnya persaingan suara sudah terlihat di tengah proses penghitungan suara yang masih berlangsung di sejumlah daerah.
Selisih perolehan suara paling ketat terjadi dalam pemilihan bupati di Halmahera Utara, Maluku Utara. Dari total 52,49 persen suara yang telah masuk dari tempat pemungutan suara, perolehan suara pasangan Frans Manery-Muchlis Tapi Tapi dan Joel B Wogono-Said Bajak hanya terpaut 26 suara atau 0,05 persen. Tentu hasil ini belum dapat digunakan untuk melihat kemungkinan pemenang dalam pemilihan bupati di wilayah itu.
Ketatnya selisih raihan suara tidak terlepas dari figur kedua tokoh calon bupati yang telah dikenal masyarakat di Halmahera Utara. Frans Manery adalah petahana yang menjabat sebagai Bupati Halmahera Utara sejak 2016. Sementara Joel B Wogono merupakan anggota DPRD di daerah yang sama sejak 2004.
Persaingan ketat juga dapat diamati dalam pemilihan bupati di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Dari empat pasangan calon yang bertarung, perebutan kursi bupati menyisakan dua pasangan yang bersaing, yakni Yohanis Dade-John Lado Bora Kabba dan Agustinus Niga Dapawole-Gregorius HBL Pandango. Dari total 100 persen suara yang masuk, kedua pasangan ini hanya terpaut 0,1 persen suara.
Petahana Agustinus Niga Dapawole gagal mengungguli raihan suara dari Yohanis Dade yang merupakan pensiunan aparatur sipil negara. Yohanis pernah menjabat sebagai kepala dinas pada tiga instansi yang berbeda dalam pemerintahan Sumba Barat.
Di bagian barat Indonesia, persaingan sengit terjadi di sejumlah daerah di Pulau Sumatera. Dari total 73 daerah penyelenggara pemilihan bupati dan wali kota di Pulau Sumatera, selisih raihan suara terkecil untuk sementara tercatat dalam pemilihan bupati Mandailing Natal, Sumatera Utara. Duo petahana Dahlan Hasan Nasution dan Muhammad Jafar Sukhairi hanya terpaut 0,1 persen suara.
Selain Mandailing Natal, selisih suara yang amat ketat juga terjadi di daerah Sumatera Utara lainnya, yakni Labuhan Batu (0,4 persen), dan Labuhan Batu Selatan (0,5 persen) antara pasangan peraih suara terbanyak pertama dan kedua. Jumlah suara masuk pada kedua wilayah ini telah mencapai 100 persen. Petahana di Labuhan Batu dan Labuhan Batu Selatan mendapatkan perlawanan yang cukup sengit dari penantang nonpetahana.
Baca juga : Gairah Memilih Tinggi meski di Tengah Pandemi
Konsentrasi pemilih
Selisih raihan suara di sejumlah daerah menunjukkan bahwa Pilkada 2020 menghasilkan persaingan ketat dalam merebut perhatian konstituen. Meski pilkada digelar di tengah pandemi, para calon nonpetahana di sejumlah daerah sukses untuk melahirkan persaingan terbuka dalam menantang calon petahana.
Pada satu sisi, keterbatasan ruang gerak kampanye di tengah pandemi semestinya memberikan keuntungan politik bagi calon petahana yang telah memiliki modal popularitas. Namun, geliat calon nonpetahana selama masa kampanye ternyata memberikan kejutan hingga mampu mengimbangi raihan suara calon petahana.
Persaingan ketat tidak hanya terjadi pada daerah-daerah dengan selisih raihan suara di bawah 1 persen. Jika melihat penghitungan suara yang masih berlangsung di sejumlah daerah, persaingan ketat masih terjadi pada banyak daerah lain dengan selisih raihan suara antara 1-2 persen.
Kondisi ini menggambarkan bahwa pemilih di sejumlah daerah mulai terbuka dalam melihat sosok calon kepala daerah. Tidak ada jaminan kemenangan bagi calon petahana meski telah dikenal oleh masyarakat sebelum pemilihan dilakukan.
Dalam penyelenggaraan pilkada pada masa yang akan datang, persaingan ketat berpotensi kembali terjadi jika pendidikan politik diterima secara masif oleh masyarakat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?