Jangan sampai kesempatan pemulihan dampak Covid-19 untuk membenahi kondisi ekonomi dan sosial agar berwawasan lingkungan terlewatkan, bahkan malah memperburuk perubahan iklim.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·5 menit baca
Meskipun Kesepakatan Paris sudah berjalan lima tahun, upaya menahan kenaikan suhu bumi dan pengurangan emisi gas rumah kaca masih jauh dari target. Pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk mengatasi ketertinggalan melalui pemulihan ekonomi hijau dan target emisi nol.
Lima tahun sudah Kesepakatan Paris berlaku sebagai dokumen persetujuan negara-negara untuk mengatasi perubahan iklim. Pada 12 Desember 2015, 194 negara berkumpul dalam konferensi selama dua minggu untuk membahas perubahan iklim yang mengkhawatirkan. Sebanyak 189 negara yang menandatangani kesepakatan itu telah meratifikasinya.
Kesepakatan Paris sangat penting karena mengikat komitmen sukarela hampir semua negara, baik maju, berkembang, maupun miskin. Kesepakatan sebelumnya, yaitu Protokol Kyoto (1992), hanya mengikat secara hukum negara maju.
Komitmen sukarela untuk mengatasi perubahan iklim menandakan bahwa isu ini sangat penting bagi hampir setiap negara. Pemimpin-pemimpin negara secara kolektif setuju bahwa perubahan iklim merupakan dampak dari aktivitas manusia sehingga dibutuhkan upaya bersama untuk mengatasinya.
Salah satu tujuan Kesepakatan Paris ialah membuat laju kenaikan suhu global kurang dari 2 derajat celsius atau apabila memungkinkan 1,5 derajat celsius pada akhir abad ini, dibandingkan dengan suhu era Revolusi Industri 1850-an. Upayanya berupa kebijakan dan insentif untuk mengurangi emisi karbon dari aktivitas deforestasi, degradasi lahan, dan lainnya.
Capaian lima tahun
Setelah lima tahun berjalan, Kesepakatan Paris sebenarnya cukup efektif untuk menahan kenaikan suhu bumi. Hasil penghitungan Climate Action Tracker 2020 menunjukkan, pada 2100 suhu bumi akan meningkat hingga 2,9 derajat celsius.
Angka tersebut turun 0,7 derajat celsius dibandingkan dengan perkiraan kenaikan suhu bumi yang diukur pada 2015, tepat saat Kesepakatan Paris disetujui. Saat itu, diperkirakan pada 2100, suhu Bumi akan meningkat 3,6 derajat celsius.
Meski demikian, upaya selama lima tahun ini masih jauh dari target menahan kenaikan suhu bumi 2 derajat celsius atau sebisa mungkin 1,5 derajat celsius. Dari pengukuran terakhir, dibutuhkan upaya lebih besar untuk mengejar selisih suhu yang dibutuhkan guna mencapai target Kesepakatan Paris.
Laporan UN Environment Program (UNEP) juga menunjukkan, kondisi emisi gas rumah kaca terus meningkat meski telah ada upaya dari negara-negara yang selaras dengan Kesepakatan Paris. Sejak 2010, konsentrasi emisi gas rumah kaca meningkat sekitar 1,4 persen setiap tahun. Namun, pada 2019, peningkatan mencapai 2,6 persen karena luasnya kebakaran hutan.
Dengan peningkatan tersebut, konsentrasi gas rumah kaca di tingkat global mencapai 59,1 gigaton setara karbon dioksida. UNEP memperkirakan, dengan jumlah emisi gas rumah kaca sebesar itu, kenaikan suhu bumi dapat mencapai 3,5 derajat celsius pada 2100.
Tahun ini pun UNEP memperkirakan emisi gas rumah kaca akan terus meningkat. Covid-19 yang menyebabkan mobilitas dan aktivitas ekonomi lumpuh tidak banyak menyumbang penurunan emisi gas rumah kaca.
Memang akibat pandemi, konsentrasi CO2 menurun 7 persen dibandingkan dengan 2019. Namun, penurunan itu hanya berdampak kecil. Apabila tidak diikuti kebijakan pemulihan ekonomi rendah karbon, kenaikan suhu bumi hanya berkurang 0,01 derajat celsius.
Dekarbonisasi
Covid-19 memberikan kesempatan bagi negara-negara untuk mengalihkan kebijakan ekonomi ke arah ekonomi hijau dan berkelanjutan. Melansir dari laporan UNEP, emisi gas rumah kaca pada 2030 dapat benar-benar ditekan jika pemulihan ekonomi setelah Covid-19 diarahkan untuk program dekarbonisasi.
Jika cara tersebut dilakukan dengan maksimal oleh negara-negara, pada 2030 emisi gas rumah kaca hanya tersisa 44 gigaton setara karbon dioksida (GtCO2e). Artinya, upaya tersebut mengurangi 15 GtCO2e (25,4 persen) dibandingkan dengan kandungan emisi gas rumah kaca pada 2019.
Untuk benar-benar mencapai target penurunan kenaikan suhu bumi 2 derajat celsius, dibutuhkan upaya lebih besar. Dengan target menahan kenaikan suhu bumi 2 derajat celsius, emisi gas rumah kaca hanya boleh tersisa 41 GtCO2e pada 2030.
Apabila mengejar target optimistis menahan kenaikan suhu bumi 1,5 derajat celsius, emisi gas rumah kaca harus ditahan maksimal 25 GtCO2e. Artinya, emisi gas rumah kaca harus berkurang 18 GtCO2e hingga 25 GtCO2e.
Sejumlah upaya sudah dilakukan negara-negara seiring dengan komitmen terhadap Kesepakatan Paris. Negara yang menerapkan kebijakan emisi nol bersih (net zero emissions) semakin banyak dalam lima tahun belakangan.
Climate Action Tracker mencatat 127 negara, termasuk Amerika Serikat dengan terpilihnya Joe Biden sebagai presiden baru, telah memiliki kebijakan tersebut. Mereka berkontribusi atas 63 persen emisi dunia yang terbagi atas China (25 persen), AS (12 persen), Uni Eropa dan Inggris (8 persen), serta negara lain (18 persen).
Masih ada 64 negara lain, termasuk Indonesia, yang belum mengikuti target tersebut. Indonesia memiliki target menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Namun, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan, Indonesia bersama 125 negara lainnya termasuk negara dengan Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) yang kurang mendukung pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca dunia.
Karena itu, konsistensi pemerintah negara-negara dalam menjaga komitmen sangat dibutuhkan. Komitmen tersebut termasuk berupa upaya mengatasi perubahan iklim lewat pemulihan dampak Covid-19. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kebijakan setelah Covid-19 memegang peranan penting yang menentukan arah masa depan perubahan iklim.
Pengalaman sebelumnya sudah memberikan pelajaran bahwa setelah krisis hampir selalu terjadi peningkatan drastis emisi gas rumah kaca. Karena itu, jangan sampai kesempatan pemulihan dampak Covid-19 untuk membenahi kondisi ekonomi dan sosial agar berwawasan lingkungan terlewatkan dan malah memperburuk perubahan iklim.