Urgensi Melindungi Perempuan dari Kekerasan Daring
Publik resah dengan merebaknya kekerasan berbasis jender daring terhadap perempuan. Selain berharap perempuan lebih waspada saat bermedia daring, publik juga menanti langkah pemerintah mengantisipasi kekerasan itu.
Oleh
Yoesep Budianto
·3 menit baca
Publik resah dengan merebaknya kekerasan berbasis jender daring terhadap perempuan di Indonesia. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan mencatat kenaikan hingga lebih dari 40 kali lipat sejak 2016. Kenaikan paling banyak terjadi pada 2020, yakni 659 kasus per Oktober 2020.
Kekerasan yang terjadi di media daring paling banyak berupa ancaman distribusi foto atau video pribadi serta penyebaran konten ilegal.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 10-12 Desember 2020 mengungkapkan, 6 dari 10 responden mengkhawatirkan ancaman dan kekerasan terhadap perempuan secara daring. Selain kasusnya yang makin banyak, keresahan ini juga dipicu oleh dampak dari kekerasan itu dan upaya perlindungan yang belum optimal.
Komnas Perempuan mencatat peningkatan paling besar terjadi dalam bentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto/video dengan konten pornografi. Komnas Perempuan kesulitan mencari lembaga penerima rujukan layanan kekerasan daring karena minimnya kapasitas lembaga layanan.
Dampak kekerasan secara daring terhadap perempuan tidak kalah merusak dibandingkan dengan kejadian secara langsung atau fisik. Saat terjadi secara daring, perempuan sering kali merasa tidak berdaya dan bingung karena tidak bertemu langsung dengan pelaku.
Perempuan yang menjadi penyintas juga dapat mengalami tekanan psikologis. Secara sosial, mereka juga berpotensi diasingkan, apalagi saat keluarga atau orang terdekat melihat unggahan pornografi tentang korban.
Antisipasi mandiri
Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan secara daring ini menjadi peringatan bagi banyak pihak, termasuk perempuan agar tak jadi korban. Bentuk antisipasi beragam.
Melindungi privasi diri di media sosial menjadi tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual secara daring.
Hasil jajak pendapat Kompas menyebutkan, sebanyak 41,4 persen responden menilai, melindungi privasi diri di media sosial menjadi tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual secara daring. Perempuan rentan lalai menjaga privasinya sebab sering kali meminta pertolongan orang lain saat mengoperasikan gawai.
Laporan riset oleh Google bertajuk ”Toward Gender Equity Online” tahun 2019 menyebutkan, 62 persen perempuan selalu meminta tolong orang lain untuk mengoperasikan gawainya, sedangkan laki-laki hanya 36 persen. Penguasaan teknologi untuk berinternet dan bermedia sosial menjadi penting bagi perempuan.
Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah tidak mengisi sembarang aplikasi yang tidak dikenal, seperti bermain kuis online atau iklan-iklan aplikasi (17,2 persen). Pengecekan akun pribadi secara berkala di aplikasi ponsel atau website juga menjadi opsi (11,8 persen).
Perempuan perlu mengenal modus kekerasan berbasis daring. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) membaginya menjadi enam modus. Enam modus itu adalah pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, perusakan reputasi, pelecehan, ancaman dan kekerasan, serta serangan ke komunitas tertentu. Seluruh modus ini dilakukan berbasiskan pengambilan informasi pribadi atau peretasan aplikasi dan website tertentu.
Kajian SAFEnet, setidaknya ada tiga kelompok perempuan yang paling berisiko terpapar kekerasan daring.
Kelompok pertama adalah seseorang yang terlibat dalam hubungan, seperti pasangan kekasih. Kelompok kedua adalah profesional yang sering terlibat dalam urusan publik, seperti aktivis, jurnalis, penulis, peneliti, musisi, dan aktris. Kelompok ketiga ialah penyintas dan korban penyerangan fisik.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah juga perlu segera membuat bentuk perlindungan yang tegas melalui dukungan penanganan dan dukungan regulasi. Dalam aspek dukungan penanganan, kebijakan yang dapat dilakukan adalah memperkuat lembaga layanan penanganan kekerasan berbasis jender daring, seperti menambah personel polisi jender di institusi Polri.
Penguatan unsur penegak hukum ini dibutuhkan karena hasil jajak pendapat Kompas, bagian terbesar responden (33,9 persen) menyatakan akan melaporkan tindak kekerasan daring kepada polisi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga dapat memperbanyak layanan aduan ramah perempuan yang menjadi tempat melapor sekaligus menceritakan kisahnya tanpa rasa takut, malu, dan khawatir.
Dukungan kedua adalah penguatan aspek regulasi. Setiap perempuan berpeluang menjadi korban pelecehan berbasis daring selama tidak ada perlindungan hukum yang tegas.
Sebelumnya, sudah ada inisiatif penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, setelah masuk Prolegnas Prioritas 2016, RUU itu kembali ke fase awal dan bahkan dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020. Tanpa perlindungan negara, praktik kekerasan terhadap perempuan akan terus terjadi.