Media berita digital berbayar adalah jawaban masa depan. dukungan regulasi pemerintah akan mendorong tumbuhnya model bisnis media berita digital berbayar pada masa mendatang.
Oleh
Susanti Agustina S
·6 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Warga mengakses laman Kompas.id yang merupakan salah satu portal berita berbayar yang ada di Indonesia.
Selama pandemi, media tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai pengawas, tetapi juga mendukung upaya mengurangi penularan covid-19. Bersamaan dengan nilai konten yang terus berkembang, industri media membutuhkan model bisnis yang memungkinkan untuk memenuhi fungsi sosialnya sambil tetap mendukung akses luas ke konten kritis lewat media digital berbayar.
Akan tetapi, pada saat yang sama, kondisi keuangan banyak orang menurun tajam akibat pandemi. Peluang media berita digital berbayar masih tinggi asalkan tidak hanya mengandalkan konten serta keterlibatan online, tetapi harus mampu menarik pelanggan generasi muda serta didukung regulasi dari pemerintah.
Kehadiran pandemi Covid-19 kian menambah tantangan yang dihadapi media pemberitaan di dunia. Namun, media pemberitaan, terlebih media pemberitaan digital atau online, tidak hanya harus berhadapan dampak pandemi.
Kehadiran website content aggregator yang telah lama hadir kian menggerus pendapatan media pemberitaan digital. Website content aggregator merupakan suatu situs atau aplikasi yang menggabungkan sejumlah berita dari beberapa situs berita lain, seperti Google News dan Yahoo News.
Website content aggregator di Amerika Serikat bahkan memiliki pengunjung sangat tinggi. Pada Agustus 2020, situs web berita paling populer di Amerika Serikat, Yahoo News, memiliki 175 juta pengunjung unik setiap bulan. Mengikuti di belakang adalah Google News dengan 150 juta pengunjung bulanan, sebelum Huffington Post yang mencapai 95 juta pengunjung unik per bulan.
Kondisi ini menjadi tidak ideal bagi media pemberitaan, secara khusus media pemberitaan digital atau online yang bekerja keras menciptakan konten pemberitaan. Terlebih, website content aggregator juga mengurangi pendapatan iklan media pemberitaan.
Akibatnya, tekanan terhadap website content aggregator, seperti Google, datang dari sejumlah media di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir. Tekanan tersebut berupa dorongan untuk membayar saat ingin memajang berita dari media pemberitaan di platformnya. Media-media di Eropa yang paling keras bersuara soal hal tersebut.
Bahkan, Pemerintah Australia merilis rancangan undang-undang untuk memaksa Google dan Facebook bernegosiasi dengan perusahaan media Australia. Peraturan Australia’s proposed News Media Bargaining Code dirancang untuk memungkinkan perusahaan media melakukan tawar-menawar, baik secara individu maupun kolektif, dengan raksasa teknologi Google dan Facebook. Jika belum mencapai kesepakatan dalam waktu tiga bulan, mereka bisa memakai jalur arbitrasi.
Akhirnya, Google memutuskan akan membayar konten berita dengan kualitas tinggi dari grup media di beberapa negara, yakni Australia, Brasil, dan Jerman. Perusahaan pun bakal melakukan kesepakatan serupa dengan grup media lain. Inisiatif ini mengharuskan Google membayar penggunanya jika hendak mengakses berita yang dikunci lewat sistem berlangganan di situs web tertentu.
Kemauan website content aggregator, seperti Google, lewat desakan berbagai media serta regulasi dari pemerintah terkait memberi peluang media pemberitaan digital leluasa menerapkan sistem berbayar lewat sistem berlangganan.
Upaya ini terbukti berhasil dilakukan oleh sejumlah media pemberitaan mainstream di Amerika Serikat. Berita terpilih atau kajian mendalam terkait sebuah isu menjadi kelebihan yang dapat dijual lewat sistem berlangganan.
Perkembangan
Media pemberitaan digital berbayar lewat sistem berlangganan menjadi salah satu strategi media pemberitaan untuk tetap menjaga keberadaan industrinya. Selain itu, upaya ini tentu menjaga independensi media. Namun, perubahan sikap dan perilaku terkait dengan pembayaran untuk berita cenderung berlangsung secara bertahap dan berbeda-beda di setiap negara.
Survei Reuters Institute tahun 2020 terhadap lebih dari 80.000 orang di 40 negara tentang konsumsi berita digital serta dampak Covid-19 pada konsumsi media di enam negara, yakni Inggris, AS, Jerman, Spanyol, Argentina, dan Korea Selatan.
Survei ini mencatat, kebanyakan orang di semua negara tidak membayar untuk berita online meskipun ada beberapa kisah sukses, seperti di Norwegia, di mana 42 persen melakukannya dan AS mencapai 20 persen. Namun, di Inggris, pembayaran untuk berita online masih belum berkembang.
Beberapa media online di AS sukses menerapkan sistem berbayar yang berhasil membawa untung serta mampu membiayai kegiatan produksi. The Wall Street Journal (WSJ) berhasil menggaet 2 juta pelanggan digital. WSJ menyusul kesuksesan The New York Times yang memiliki 5,2 juta pelanggan untuk media cetak dan digital, dengan 3,42 juta merupakan pelanggan berita digital hingga akhir 2019. Lewat model bisnis media online berbayar, WSJ memperoleh kenaikan jumlah pelanggan sebesar 13 persen pada kuartal keempat 2019.
Dow Jones bahkan mencapai 3,5 juta pelanggan digital. Dow Jones telah melampaui The New York Times dalam hal pertumbuhan pendapatan pada kuartal terakhir 2019, yakni sebesar 4 persen. Total pelanggan digital Dow Jones tumbuh sebesar 17 persen pada kuartal terakhir 2019.
Penelitian yang berjudul Pay Models For Online News in the US and Europe: 2019 Update oleh Felix Simon and Lucas Graves menunjukkan pertumbuhan media pemberitaan digital berbayar di AS meningkat lebih tajam dibandingkan dengan di Eropa. Sekitar 48 persen gerai AS telah memiliki paywall, meningkat 10 persen dibandingkan dengan tahun 2017.
Peningkatan ini secara eksklusif berasal dari surat kabar digital, di mana 76 persen memiliki model media berita digital berbayar pada 2019, naik 16 persen dari 2017. Selama periode yang sama, jumlah pelanggan dari negara-negara Eropa hanya naik 1 persen menjadi 46 persen pada 2019.
Peluang
Peluang media pemberitaan digital berbayar masih terbuka dan jelas menjadi model bisnis yang dapat dilakukan dalam jangka panjang. Survei Nielsen untuk Forum Ekonomi Dunia yang dilakukan sebelum Covid-19 melanda awal Oktober hingga akhir November 2019 menghasilkan fakta menarik.
Survei yang dilakukan pada lebih dari 9.100 orang di China, Jerman, India, Korea Selatan, Inggris, dan AS tentang konsumsi media dan preferensi kebiasaan pembayaran menunjukkan proporsi orang-orang yang bersedia membayar konten digital pada masa depan menunjukkan peningkatan.
Meskipun keterlibatan media tinggi, hanya 16 persen yang membayar untuk berita dan ada 44 persen membayar untuk hiburan. Namun, kesediaan untuk membayar untuk mendapatkan berita pada masa mendatang lebih besar daripada proporsi orang yang saat ini membayar, yakni 53 persen bersedia membayar pada masa mendatang. Khusus untuk hiburan, 70 persen bersedia membayar masa mendatang.
Meskipun temuan ini diperoleh sebelum pandemi Covid-19, peluang media berita digital tepercaya untuk mendapatkan pelanggan berbayar masih tinggi. Krisis Covid-19 menunjukkan nilai berita tepercaya yang dapat diandalkan publik, pembuat kebijakan, perusahaan teknologi, dan lainnya yang berpotensi dapat bertindak untuk mendukung media berita independen.
Kreativitas dan keberanian untuk bereaksi cepat terhadap perubahan teknologi yang terus berubah menjadi sangat diperlukan. Hadir secara online juga harus dibarengi terlibat secara online untuk menarik pengguna generasi milenial dan generasi Z.
Upaya peningkatan literasi akan sumber-sumber informasi pemberitaan yang dapat dipercaya menjadi bagian penting yang perlu dilakukan. Industri media harus mengatasi masalah mendasar tersebut serta menunjukkan kepada publik bahwa berita independen dan jurnalisme profesional berharga bagi publik, komunitas, dan masyarakat pada umumnya. Selain itu, dukungan regulasi pemerintah akan mendorong tumbuhnya model bisnis media berita digital berbayar pada masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)