Kue Basah yang Mengiris Garis Kemiskinan
Di tengah pandemi, cerita kontribusi kue basah terhadap garis kemiskinan ikut mewakili sepenggal potret persoalan makro kue kesejahteraan yang tak kunjung dinikmati masyarakat secara lebih merata.
Kue basah menjadi salah satu komponen makanan yang berdampak besar membentuk garis kemiskinan, sekaligus memperdalam dan memperparah irisan kesenjangan kemiskinan.
Komponen makanan merupakan salah satu kelompok yang membentuk garis kemiskinan. Merujuk Badan Pusat Statistik, garis kemiskinan makanan didefinisikan sebagai nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per orang dalam sehari.
Komoditas makanan memberi andil sekitar 74 persen terhadap garis kemiskinan. Selebihnya, garis kemiskinan disumbang komoditas nonmakanan, seperti perumahan, bahan bakar minyak, listrik, dan pendidikan.
Ada 52 jenis komoditas kebutuhan dasar makanan. Beberapa di antaranya padi-padian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, serta kue basah.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, ada 10 dari total 52 komoditas makanan yang memberi andil besar terhadap garis kemiskinan. Di kawasan perkotaan, 10 komoditas makanan ini memberikan kontribusi sekitar 52 persen terhadap garis kemiskinan, senilai lebih kurang Rp 335.800 per bulan per kapita.
Di perdesaan, 10 komoditas makanan itu memberikan andil hingga 54 persen terhadap garis kemiskinan. Total konsumsi makanan di desa dalam garis kemiskinan mencapai Rp 245.800 per bulan per orang.
Salah satu dari 10 komoditas makanan yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan adalah kue basah. Jenis kue basah yang masuk dalam pendataan BPS antara lain kue lapis, bika ambon, lemper, dan arem-arem.
Secara agregat, dampak konsumsi kue basah terhadap kemiskinan barangkali tidak terlampau mengesankan. Pada Maret 2020, kue basah berada di urutan kedelapan dari 10 komoditas yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan.
Namun, komoditas ini konsisten berada di urutan kedelapan sejak tiga tahun terakhir. Sebelum tahun 2018, kue basah tak tercatat sebagai salah satu komponen yang berpengaruh besar terhadap pembentukan garis kemiskinan.
Data BPS mengelompokkan pula sebagian kue basah dalam komoditas makanan yang mengandung beras. Artinya, kue basah berkontribusi tidak langsung pada konsumsi beras yang paling berpengaruh terhadap garis kemiskinan.
Pola dan kultur konsumsi
Publikasi BPS juga menunjukkan bahwa kue basah berpengaruh besar membentuk garis kemiskinan di perkotaan dan perdesaan. Fakta demikian tidak lepas dari dua faktor yang melatarbelakanginya, yakni pergeseran pola konsumsi dan pola kultur masyarakat Indonesia.
Pergeseran pola konsumsi tecermin dari kecenderungan masyarakat kota dan desa yang semakin konsisten mengarah pada produk makanan jadi. Proporsi rata-rata konsumsi makanan dan minuman jadi dalam kelompok konsumsi makanan terus meningkat dalam lima tahun belakangan.
Sepanjang 2015-2019, rasio konsumsi rata-rata makanan dan minuman jadi terhadap konsumsi total kelompok makanan di perkotaan meningkat dari 31,8 persen menjadi 39,4 persen per orang. Dalam kurun waktu yang sama, rasio konsumsi rata-rata makanan dan minuman jadi per orang di perdesaan juga naik dari 20,1 persen menjadi 28,1 persen.
Baca juga: Kemiskinan dan Jurang Ketimpangan Kian Dalam
Faktor lain yang mengakibatkan kue basah menjadi salah satu komponen penting dalam pembentukan garis kemiskinan adalah kultur masyarakat. Pengeluaran individu untuk konsumsi kue basah semakin terdorong naik antara lain akibat bertambahnya pengeluaran individu untuk kegiatan pesta ataupun upacara tradisi.
Lebih terinci, rasio pengeluaran rata-rata keperluan pesta atau upacara adat terhadap total konsumsi non-makanan individu di perkotaan meningkat dari 3,2 persen menjadi 3,7 persen sepanjang tahun 2015-2019. Rasio pengeluaran rata-rata individu di desa untuk keperluan pesta atau upacara adat juga bertambah dari 3,8 persen menjadi 3,9 persen dalam kurun waktu yang sama.
Kualitas kemiskinan
Tahun ini, kue basah juga menunjukkan irisan kualitas kemiskinan yang memburuk. Kondisi demikian tecermin dari besaran indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Artinya, memburuknya situasi kemiskinan ini semakin menguat sejak pandemi Covid-19.
Indeks kedalaman kemiskinan merupakan ukuran rata-rata yang menunjukkan kesenjangan antara pengeluaran setiap penduduk miskin dan garis kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan yang bernilai semakin tinggi mencerminkan kondisi rata-rata pengeluaran penduduk miskin yang kian jauh di bawah garis kemiskinan.
Potret indeks kedalaman kemiskinan yang kian tinggi terjadi sepanjang Maret 2019 hingga Maret 2020. Indeks kedalaman kemiskinan per Maret 2019 tercatat 1,55 dan pada Maret 2020 menjadi 1,61.
Indeks lainnya, yakni keparahan kemiskinan, yang menggambarkan sebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, juga mencerminkan memburuknya kualitas kemiskinan. Pada Maret 2019, indeks keparahan kemiskinan tercatat 0,37 dan di Maret 2020 menjadi 0,38. Nilai indeks keparahan yang kian tinggi menunjukkan pengeluaran di antara penduduk miskin semakin timpang.
Dampak ketimpangan
Gambaran memburuknya kualitas kemiskinan pada gilirannya berdampak pada ketimpangan ekonomi secara luas. Kemiskinan mengakibatkan masyarakat kian sulit mendapatkan kesejahteraan. Masyarakat di kelompok miskin akan mengalami ketimpangan kemampuan ekonomi dengan kelompok masyarakat yang lebih mampu secara finansial.
Ketimpangan ekonomi tersebut dapat dilihat dari perhitungan rasio Gini. Besaran rasio Gini di wilayah kota tercatat meningkat dari 0,391 menjadi 0,393 sepanjang September 2019-Maret 2020. Menguatnya ketimpangan terjadi pula di wilayah perdesaan yang mencatat kenaikan rasio Gini dari 0,315 pada September 2019 menjadi 0,317 di Maret 2020.
Ketimpangan cenderung menguat sejak pandemi Covid-19. Publikasi BPS kembali menunjukkan, ada 13 dari total 34 provinsi yang menunjukkan kenaikan rasio Gini sepanjang September 2019-Maret 2020.
Dari total 13 provinsi yang mencatat kenaikan rasio Gini tersebut, enam di antaranya berada di Pulau Jawa. Mereka adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, serta Banten dan DKI Jakarta. Peningkatan rasio Gini paling tinggi terjadi di DKI Jakarta, dari 0,391 pada September 2019 menjadi 0,399 di Maret 2020.
Baca juga: Pendapatan dan Benalu Ketimpangan
Secara khusus, BPS memberikan analisis bahwa rasio Gini pada Maret 2020 meningkat karena pengeluaran di kelompok masyarakat lapisan bawah turun lebih cepat daripada pengeluaran masyarakat kelompok atas. Dengan kata lain, situasi pandemi Covid-19 sebenarnya mengakibatkan dampak paling parah di kelompok masyarakat miskin.
Di tengah pandemi, cerita kontribusi kue basah terhadap garis kemiskinan paling tidak juga mewakili sepenggal potret persoalan makro kue kesejahteraan yang tak kunjung dinikmati masyarakat lebih merata. Kemampuan menikmati kue kesejahteraan pun semakin jauh dari mimpi masyarakat miskin sejak pandemi Covid-19.
(LITBANG KOMPAS)