Perlindungan hak asasi manusia atau HAM masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia. Mayoritas responden jajak pendapat Litbang ”Kompas” menganggap upaya perlindungan HAM belum kunjung membaik.
Oleh
Susanti Agustina S
·5 menit baca
Jajak pendapat Litbang Kompas akhir November lalu merekam bagaimana publik masih skeptis terkait perkembangan penegakan hak asasi manusia saat ini. Sikap ini ditunjukkan oleh separuh lebih responden (63,3 persen) yang menilai perlindungan pada hak asasi manusia masih berjalan di tempat, bahkan sebagian dari kelompok responden ini menilai, perlindungan HAM di Indonesia memburuk.
Penilaian ini disampaikan hampir merata dari kelompok responden, baik yang berlatar belakang pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi. Meskipun demikian, isu HAM ini memang lebih banyak diikuti oleh mereka yang berpendidikan menengah ke atas. Kelompok responden berpendidikan menengah ke atas cenderung lebih kritis melihat perkembangan HAM. Kelompok responden ini lebih banyak yang menilai kondisi perlindungan HAM makin buruk dibandingkan kelompok responden berpendidikan rendah.
Hal ini menandakan, ada publik yang melihat kinerja penegakan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia pada pemerintahan Presiden Joko Widodo belum banyak berubah dibandingkan periode sebelumnya. Komitmen penegakan HAM yang dinyatakan Presiden Jokowi dalam visi-misi saat kampanye pemilihan presiden belum sepenuhnya berjalan.
Data Setara Institute juga menguatkan apa yang tertangkap dari jajak pendapat Kompas ini. Setara menyebutkan, penegakan HAM pada era pemerintahan Presiden Jokowi berjalan stagnan, bahkan mengalami kemunduran di beberapa aspek, meskipun beberapa kemajuan juga tercatat. Skor Indeks Kinerja HAM pemerintahan Presiden Jokowi pada periode 2015-2019 mencapai 3,2 dari skala 1-7. Nilai 1 menunjukkan pemenuhan yang rendah dan 7 menunjukkan pemenuhan yang tinggi.
Indikasi serupa juga muncul dalam World Report 2020 oleh Human Rights Watch yang menyebutkan bahwa Indonesia menghadapi ancaman serius di bidang penegakan HAM pada tahun 2019. Human Rights Watch menyoroti kemunduran penegakan HAM di Indonesia pada delapan bidang. Beberapa di antaranya terkait kebebasan beragama, hak-hak minoritas dan masyarakat adat, hak penyandang disabilitas, serta masalah Papua. Amnesty International Indonesia juga menyatakan, selama 2019, kebebasan berekspresi, berserikat, dan beragama di Indonesia masih terancam meski ada sedikit perbaikan.
Beragama dan berekspresi
Kebebasan beragama dan berekspresi menjadi dua hak yang paling dikenal oleh publik ketika mereka membayangkan soal hak asasi manusia. Hal ini terekam dari hasil survei Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait Refleksi 20 Tahun UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang digelar pada 2019. Survei ini mencatat, hak beragama dan berekspresi atau menyatakan pendapat menjadi dua hal yang paling banyak diketahui publik sebagai bagian penting HAM.
Sementara itu, jajak pendapat Kompas menangkap, kebebasan beragama sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kebangsaan di Indonesia. Lebih dari separuh responden sepakat bahwa kebebasan menjalankan agama bagi pemeluk agama, tidak terkecuali pemeluk agama minoritas, sudah benar-benar dijamin dan dilindungi negara. Meskipun demikian, pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan masih saja terjadi.
Kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan masih marak terjadi pada masa pandemi Covid-19. Anjuran untuk tidak berkerumun dan tidak beribadah di rumah ibadah ternyata membuat warga minoritas mengalami tekanan. Akhir April 2020, peribadatan di rumah keluarga Kristen di Cikarang Pusat, Bekasi, Jawa Barat, digerebek warga sekitar dengan alasan melanggar pembatasan sosial berskala besar. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat itu turun tangan dan menjamin hak beribadah serta menegaskan bahwa tidak ada pelanggaran oleh keluarga tersebut.
Tekanan serupa juga dialami warga Syiah yang sedang melaksanakan doa bersama keluarga dekat di Pasar Kliwon, Kota Solo, Jawa Tengah, pada 8 Agustus 2020. Kasus yang sama terjadi di sejumlah wilayah selama masa pandemi ini dengan modus serupa, yakni penolakan sekelompok masyarakat terhadap pelaksanaan ibadah dengan alasan larangan berkerumun pada masa pandemi.
Sementara itu, isu hak berekspresi dan berpendapat juga direspons cukup positif oleh responden. Separuh responden sepakat bahwa kebebasan warga sipil menyuarakan pendapat sudah dijamin dan dilindungi negara. Namun, seperti halnya isu kebebasan beragama, isu kebebasan berpendapat tetap menemui tantangan pada masa pandemi. Kasus unjuk rasa yang diwarnai kericuhan dan kekerasan terkait penolakan Undang-Undang Cipta Kerja pada Oktober lalu bisa menjadi contoh.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat, ada 1.579 orang yang ditangkap polisi di wilayah Jabodetabek dalam kasus unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja. Selain peserta unjuk rasa, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers juga menyatakan, tujuh jurnalis menjadi korban kekerasan aparat (Kompas, 9/10/2020).
Beban sejarah
Penjaminan atas hak beragama dan berpendapat, terutama pada masa pandemi, akan menjadi beban tersendiri bagi negara. Apalagi, negara masih memiliki beban sejarah masa lalu yang sampai hari ini tak kunjung selesai, yakni terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat. Sebut saja kasus penghilangan orang pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, penembakan Trisakti-Semanggi pada 1998-1999, peristiwa Talangsari (Lampung) 1989, peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003, dan peristiwa 1965-1966.
Kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu dan kasus-kasus baru menjadi sangat penting segera diselesaikan. Hal ini mengingat publik melihat bahwa pemerintahlah yang paling dipercaya dalam pemenuhan HAM tersebut.
Merujuk hasil survei Komnas HAM, pendidikan dan perlakuan yang sama di depan hukum menjadi dua kata kunci yang cukup tinggi disematkan kepada pemerintah terkait pemenuhan hak asasi manusia itu sendiri.
Pada akhirnya, kedua hal ini mesti berjalan beriringan. Pendidikan kepada masyarakat terkait pemahaman HAM penting untuk dilakukan terus-menerus. Di sisi yang lain, penguatan komitmen pemerintah terhadap penegakan hukum juga harus diwujudkan.
Tentu hal itu harus dilakukan dengan tetap berpedoman bahwa hukum berlaku sama pada semua warga negara dengan seadil-adilnya. Jika keduanya berjalan sinergis, boleh jadi hal itu akan menjadi modal bagi bangsa ini untuk mengurangi beban masa lalunya, sekaligus siap untuk menegakkan agenda perlindungan HAM saat ini dan di masa depan. (LITBANG KOMPAS)