Langkah Global Setelah Vaksin Covid-19
Setelah dunia diredakan dari virus SARS-CoV 2019, sejumlah langkah perlu dilakukan agar pandemi akibat virus lain tidak terulang.
Sejumlah negara akan memulai vaksinasi untuk mengatasi pandemi Covid-19. Beberapa negara akan melakukannya sebelum tahun berganti dan negara lainnya pada 2021.
Per tanggal 6 Desember 2020, jumlah penduduk dunia yang terinfeksi Covid-19 sudah mencapai 65,87 juta jiwa di 220 negara. Sebanyak 1,52 juta jiwa meninggal dunia. Berpacu dengan waktu, sejumlah lembaga melakukan penelitian untuk menghasilkan vaksin yang efektif mencegah Covid-19.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, terdapat lebih dari 100 calon vaksin Covid-19 yang dalam pengembangan. Beberapa sudah diujicobakan kepada manusia dan telah sampai pada uji klinis tahap ketiga. Namun, ada juga negara, seperti Rusia dan China, yang sudah melakukan vaksinasi sebelum uji klinis tahap ketiga dilakukan pada manusia.
Standarnya, jika vaksin sudah dinyatakan aman dan efektif digunakan, vaksin bisa didistribusikan ke semua negara. Prioritas vaksin diberikan kepada orang yang memiliki risiko tinggi. Di Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 9860 Tahun 2020, pelaksanaan vaksinasi masih menunggu izin edar atau persetujuan penggunaan pada masa darurat (emergency use authorization) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Setelah vaksinasi Covid-19 dilakukan, apa langkah selanjutnya yang dapat dilakukan agar pandemi tidak terulang?
Sejumlah pakar dalam IPBES Workshop on Biodiversity and Pandemics, Oktober lalu, yang diselenggarakan oleh Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) mengingatkan, pada masa yang akan datang pandemi akibat virus lain akan lebih sering terjadi dan lebih mematikan dibandingkan dengan Covid-19.
Dalam laporannya, para pakar IPBES tersebut menyebutkan bahwa terdapat sekitar 1,7 juta virus yang belum terungkap ada pada mamalia dan burung. Sebanyak 827.000 virus di antaranya bisa menginfeksi manusia. Selanjutnya, para pakar menekankan pentingnya sejak dini manusia mencegah pandemi ketimbang mengobati yang biayanya teramat sangat besar.
Pandemi Covid-19 merupakan krisis kesehatan global keenam yang terjadi sejak pandemi Flu Spanyol pada 1918. Penyebab Covid-19 adalah virus atau mikroba yang berasal dari hewan dan berpindah ke manusia. Transmisi virus dari hewan ke manusia semakin mudah terjadi karena dipicu oleh kegiatan manusia yang kian dekat dengan habitat hewan, termasuk hewan liar.
Kondisinya kira-kira sama dengan kegiatan manusia yang juga memicu perubahan iklim dan rusaknya keanekaragaman hayati yang berdampak pada lingkungan. Perubahan dalam penggunaan lahan, kegiatan perdagangan yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan, serta rantai produksi dan konsumsi yang mengganggu kelestarian alam telah meningkatkan kontak antara hewan liar, hewan ternak, dan patogen dengan manusia.
Kedekatan kontak ini yang menjadi media bagi virus untuk berpindah antarspesies dan menyebar secara cepat ke berbagai belahan dunia.
Baca juga: Sinovac dan Urgensi Hadirnya Vaksin Alternatif
Biaya besar
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir satu tahun ini telah menghabiskan banyak energi dan biaya. Perekonomian dunia lesu, pergerakan manusia menjadi sangat terbatas, dan kondisi sosial masyarakat yang banyak menderita. Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam laporannya berjudul Visions Towards a Responsible Future of Consumption (29 Oktober 2020) menyebutkan, dampak pandemi kali ini telah menyebabkan lebih dari 165 juta orang di dunia kehilangan pekerjaan dan sekitar 265 juta orang di seluruh dunia menderita kelaparan.
Diperkirakan biaya yang dikeluarkan secara global untuk mengatasi pandemi Covid-19 sudah lebih dari 16 triliun dollar AS. Angka tersebut sudah termasuk kerugian akibat pembatasan sosial dan larangan bepergian yang sebesar 5,8-8,8 triliun dollar AS atau sebesar 6,4 persen hingga 9,7 persen dari total produk domestik bruto (GDP) global.
Dibandingkan dengan krisis kesehatan yang disebabkan oleh virus SARS pada akhir 2002 dan 2003 lalu yang menewaskan sekitar 800 orang di 17 negara, biaya akibat pandemi Covid-19 sangat jauh perbedaannya. Total kerugian ekonomi global akibat virus SARS diperkirakan hanya 40 miliar dollar AS.
Menurut ilmuan IPBES, biaya ekonomi yang dihabiskan untuk menanggulangi pandemi Covid-19 saat ini seratus kali lipat lebih besar dibandingkan dengan biaya yang diperkirakan bisa digunakan untuk pencegahana pandemi dengan cara melindungi dan melakukan konservasi alam. Itu sebabnya, negara-negara di dunia harus mencegah terjadi pandemi pada masa depan karena pencegahan akan mengurangi biaya pengobatan dan kerugian lainnya, baik kerugian ekonomi maupun sosial.
Baca juga: Covid-19, Biden, dan Peta Perdagangan Maritim dunia
Langkah global
IPBES mengajak pemerintah negara-negara dunia untuk berkoordinasi mengambil langkah pencegahan terjadi pandemi pada masa depan. Jika tidak segera diambil tindakan nyata, pandemi selanjutnya bisa saja terjadi lebih sering, penyebarannya lebih cepat, dan menyebabkan kematian lebih banyak dibandingkan dengan Covid-19.
Dunia sudah seharusnya mulai bertindak untuk melakukan pencegahan melalui upaya konservasi besar-besaran atau menyeluruh dan segera mengakhiri eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam dan lingkungan.
Tindakan nyata tersebut, antara lain, dengan mengubah konsumsi, baik jenis maupun jumlahnya. Juga mengerem ekspansi sektor pertanian dan pertambangan serta perdagangan yang dapat memicu pandemi. Termasuk juga penerapan pajak dan retribusi untuk konsumsi daging, produksi ternak, dan bentuk-bentuk lainnya yang berisiko tinggi menimbulkan pandemi.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan pada 2030 konsumsi daging global per kapita akan mencapai 45,3 kilogram per tahun, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan masa 1960-an. Konsumsi yang kian membesar tentu saja memerlukan produksi yang juga besar sehingga ekspansi pertanian dan eksploitasi alam akan menjadi-jadi.
Meskipun pembatasan sosial (lockdown) dan larangan bepergian yang diterapkan untuk mengatasi Covid-19 dapat mengurangi polusi dan memperbaiki kualitas udara, di sisi lain berpotensi meningkatnya angka kemiskinan. Kemiskinan dikhawatirkan akan memicu kegiatan yang semakin merusak lingkungan ketika manusia kembali ke aktivitas memburu hewan liar dan membuka hutan untuk berkebun agar bertahan hidup.
Senada dengan ajakan IPBES, WEF pun mengajak dunia industri untuk menerapkan konsumsi yang berkelanjutan (sustainable consumption), mengurangi dampak lingkungan dengan mengembangkan model ekonomi sirkular, termasuk juga mengurangi sampah, terutama sampah plastik.
Kepedulian terhadap kesehatan tidak ditentukan oleh seberapa besar biaya yang bisa dialokasikan untuk pengobatan, tetapi mencegah timbulnya penyakit sejak dini untuk menyelamatkan kehidupan.(LITBANG KOMPAS)