“Ten Lessons for a Post-Pandemic World” dan Bekal Dunia Pascapandemi
Buku ini menawarkan sepuluh butir pelajaran untuk menyiapkan diri dalam tatanan kehidupan dunia seusai pandemi Covid-19.
Sudah hampir satu tahun pandemi Covid-19 melanda dunia sejak dilaporkan pertama kali pada 31 Desember 2019 lalu. Berbagai aspek kehidupan kemudian mengadaptasi cara-cara baru karena pandemi. Dari keseharian tersebut, menarik untuk melihat keberlanjutan cara hidup manusia seusai pandemi. Fareed Zakaria menawarkan petunjuk berupa sepuluh pelajaran untuk bekal dunia pascapandemi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020 mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi skala global. Pengumuman yang berselang tiga bulan sejak munculnya kasus Covid-19 sontak membuat seluruh negara di dunia bereaksi. Namun, ragam respon antar bangsa berbeda satu dengan yang lainnya dalam menyikapi pandemi korona ini.
Beberapa negara merespon dengan melakukan pembatasan mobilitas warga, melakukan pengetesan serta melacak riwayat kontak. Di sisi lain, terdapat negara yang menganggap "enteng" status pandemi yang dicanangkan oleh WHO.
Negara yang menanggapi kondisi awal pandemi secara tepat di antaranya Selandia Baru, Singapura, Taiwan, dan Finlandia. Negara tersebut menerapkan antisipasi secara cepat dan terukur. Penanganan yang responsif membawa hasil yang positif. Salah satu hasilnya adalah angka penularan dan kematian akibat Covid-19 dapat ditekan.
Sebagai contoh, angka kematian akibat Covid-19 di Selandia Baru masih berada di dua digit. Data pada 11 Desember 2020 menunjukkan, terdapat 25 warga negara ini yang meninggal di antara 2.092 total kasus Covid-19 yang ditemukan. Angka ini stabil selama lima bulan terakhir. Kasus infeksi baru yang dilaporkan pada 11 Desember 2020 sebanyak 4 kasus.
Namun, kondisi sebaliknya dialami oleh Amerika Serikat, Inggris, Brasil, dan Meksiko. Negara-negara tersebut dapat dikatakan sedikit terlambat dalam menangkal pandemi yang merebak di wilayahnya. Menurut Fareed Zakaria dalam bukunya Ten Lessons for a Post-Pandemic World, lambannya respon tersebut dipicu oleh kebijakan yang diambil pemerintahnya.
Hingga saat ini AS, Brasil, Inggris, dan Meksiko masuk sebagai negara dengan tingkat infeksi korona terbesar di dunia. Covid-19 telah merenggut lebih dari 282.829 jiwa warga negara AS. Angka ini adalah yang tertinggi di dunia dibandingkan dengan negara lain.
Bahkan jauh di atas China sebagai negara yang pertama kali mengalami kasus. Padahal, AS memiliki anggaran kesehatan yang terbilang besar, dukungan fasilitas kesehatan, riset, serta Pusat Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit (CDC).
Menggali pelajaran
Dinamika keberagaman cara menanggulangi pandemi menarik perhatian Fareed Zakaria. Ia merupakan editor, kolumnis, sekaligus penulis. Respon dan tindakan masing-masing negara di dunia dalam menangani pandemi diamati sekaligus dianalisis. Dari situ, ia menarik sepuluh butir pelajaran untuk menyiapkan diri dalam tatanan kehidupan dunia seusai pandemi.
Buku yang dipublikasikan pada 6 Oktober 2020 ini menitikberatkan ulasan terkait cara hidup pascapandemi dari segi sosial, ekonomi, politik, teknologi, serta geopolitik. Narasi yang disajikan Zakaria sebagian besar melihat penanangan pandemi di AS. Tidak heran, jika uraiannya banyak memberikan kritik terhadap penanganan pandemi Covid-19 di AS yang masih menjadi episentrum wabah virus korona.
Kendati memberikan titik berat di AS, Zakaria juga menguraikannya dari multi aspek dengan ulasan kasus berskala global. Ia memberikan bingkai pandangan dari sejumlah negara-negara berkembang juga berjuang keras menangani pandemi.
Salah satu pelajaran yang diambil yaitu negara harus selalu siap sedia dengan segala risiko ancaman kemanan nasional. Zakaria membubuhkan judul Buckle Up pada bab yang membahas topik ini dan mengibaratkan risiko tersebut dengan kondisi pengedara mobil yang setiap saat harus selalu mengenakan sabuk pengaman. Terjadinya kecelakaan di perjalanan adalah sebuah kemungkinan. Hal yang dapat dipastikan adalah selalu siap sedia apabila terjadi kecelakaan.
Risiko yang mengancam kehidupan manusia muncul dari keputusannya untuk selalu melakukan ekspansi dan eksploitasi. Laju peradaban sama halnya dengan laju sebuah mobil. Ketika terjadi pemanasan global dan perambahan habitan alam liar, maka timbul risiko bencana alam serta timbul penyakit baru, salah satunya yakni Covid-19.
Pelajaran lain yang menarik untuk digaris bawahi adalah dalam aspek kualitas pemerintahan. Zakaria mengulas kegagalan AS sebagai representasi negara yang gagal mengurusi pandemi. Kecanggihan teknologi dan keunggulan organisasi kesehatan seperti CDC belum cukup mampu menyelamatkan AS dari paparan virus korona.
Musababnya, di masa menjelang pandemi pemerintah AS tengah melakukan kajian untuk memotong anggaran CDC. Oleh Zakaria kondisi ini disebut sebagai “resep yang menimbulkan disfungsi”. Akibatnya dapat terlihat, sistem darurat kesehatan AS menjadi kolaps saat terjadi pandemi. Covid-19 menyebar tak terkendali di semua negara bagian AS.
Di pihak yang berhasil, Zakaria mengambil pelajaran dari Singapura. Negara kecil di benua Asia ini dikatakan memiliki akar kultural manajemen pemerintahan yang baik. Manajemen pemerintahan Singapura merupakan perpaduan antara etos kerja birokrasi mandarin dengan sistem pemerintahan transparan dan berimbang ala Inggris.
Etos kerja mandarin merupakan budaya kerja yang dilatihkan kepada para calon pemimpin sejak masa kekaisaran China. Resep etos kerja ini antara lain tekun, disiplin, pantang menyerah, dan fokus dalam melakukan pekerjaan. Budaya ini sudah berlangsung selama berabad-abad. Modal budaya yang kuat ini didukung oleh sistem pemerintahan modern dan efisien yang diadopsi dari Inggris.
Kombinasi dua modal budaya ini menjadi kunci keberhasilan negeri singa ini dalam menghadapi setiap krisis yang mendera. Kasus harian di Singapura pada 2 Desember 2020 tercatat tinggal 9 kasus baru. Disiplin menangani Covid-19 membuat Singapura masuk menjadi 10 negara paling aman dari Covid-19 berdasar riset lembaga Deep Knowledge Group yang dirilis Forbes 3 September 2020.
Dari perbandingan antara AS dengan Singapura, Zakaria hendak menyampaikan bahwa keberhasilan dalam menghadapi krisis bukan terletak pada seberapa besar sebuah negara dan pemerintahan. Namun, etos kerja pemerintah yang berorientasi pada good governance atau pemerintahan yang baik yang dapat berpeluang besar menuai keberhasilan dalam menangani pandemi.
Bekal hari ke depan
Uraian yang disajikan buku ini menarasikan rangkaian peristiwa dan kondisi terkini dunia yang diakhiri dengan tinjauan sepuluh butir pelajaran yang ditawarkan dalam buku. Rekomendasi tersebut bukan hanya ditujukan kepada penyelenggara negara, namun juga dapat diterapkan dalam lingkup individu serta kelompok kecil.
Misalnya pada pelajaran keenam, disebutkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat menghindari kegiatan interaksi tatap muka. Dengan kehadiran pandemi, manusia mampu cepat beradaptasi dengan kebiasaan berinteraksi melalui mediasi komunikasi digital.
Melakukan panggilan video bersama teman, dan keluarga menjadi hal lumrah bahkan sebelum pandemi. Kehadiran teknologi digital mampu mengakomodasi kebutuhan dasar manusia, yakni selalu terhubung dengan masyarakat dan dunia.
Kondisi pandemi menunjukkan bahwa budaya komunikasi dan berkerumun harus berubah. Disebutkan oleh penulis bahwa, semenjak pandemi merebak, antara 1 Maret hingga 1 Mei 2020 terdapat 420.000 penduduk New York, AS, yang meninggalkan wilayah kotanya. Akibat pandemi, mereka memilih untuk mencari tempat yang lebih aman dengan kepadatan penduduk rendah.
Dua adaptasi lain yang dicontohkan terjadi di Inggris dan Italia. Kota London di Inggris pernah mengalami peristiwa kelam akibat kebakaran hebat (the great fire) yang hampir memusnahkan seluruh kota. Nestapa warga kota saat itu ditambah dengan wabah sampar atau black death pada 1666. Akibatnya, warga kota pergi mencari tempat tinggal yang aman.
Hal serupa juga terjadi ketika kota-kota di Italia ditinggalkan nyaris tak berpenduduk akibat wabah di abad ke-17. Setelah wabah usai dengan menelan jutaan korban jiwa, timbul masa pencerahan atau renaissance yang dibangun dari pengalaman pahit pascawabah.
Zakaria menggarisbawahi pola adaptasi yang dilakukan manusia saat munculnya bencana atau pandemi. Adaptasi selalu membawa perubahan pada pola hidup manusia yang menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Ia menyatakan “walau kita melihat dunia saat ini di tengah pandemi, sebenarnya tetap ada perubahan menuju kemajuan”.
Tren kemajuan yang dimaksud adalah perubahan cara hidup manusia menuju arah yang lebih baik. Pandemi membuat manusia terus kreatif untuk bisa tetap produktif dengan memanfaatkan teknologi komunikasi.
Baca juga: Perempuan Penakluk Pandemi Covid-19
Tren penggunaan teknologi digital diprediksi akan tetap menjadi tumpuan aktivitas manusia. Karenanya, menyiapkan infrastruktur digital menjadi hal penting yang harus dilakukan negara-negara yang masih mengalami ketertinggalan di ekosistem digital.
Adaptasi dan perubahan lain yang diperkirakan akan terus berlanjut adalah sistem kerja berkantor. Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg menyatakan bahwa tiga perempat karyawan Facebook sudah berniat untuk bekerja di luar kantor. Bahkan bagian terbesar karyawan ini memilih hendak meninggalkan wilayah Bay Area, San Fransisco tempat kantor Facebook berada.
Hal ini bisa juga terjadi di kota-kota besar lain di dunia, termasuk Jakarta (Indonesia). Kelompok pekerja profesional yang berkesempatan dan dimungkinkan bekerja dari tempat tinggal akan memilih opsi ini.
Pandemi yang tak kunjung usai hingga menjelang berganti tahun bukanlah narasi penuh kesedihan. Dalam cuplikan peristiwa tragedi London dan di Italia, Zakaria menunjukkan catatan sejarah bahwa seusai badai pandemi berlalu, manusia dapat beradaptasi serta membangun ulang kehidupan. Bahkan cenderung lebih baik dari masa kehidupan sebelum pandemi. Caranya, beradaptasilah dengan kebiasaan baru. (LITBANG KOMPAS)