Melek HAM lewat Film
Pelanggaran HAM bukan ranah yang mudah dipahami. Ada intrik politik, hukum, dan wilayah abu-abu yang tak semua orang dapat menerimanya dengan baik. Media film dapat menghadirkan narasi pelanggaran HAM dengan lebih luwes.
Pada tahun ini, Hari Hak Asasi Manusia yang diperingati setiap 10 Desember mengusung tema ”Recover Better”, sebuah semangat solidaritas global untuk bangkit mengatasi kegagalan akibat pandemi Covid-19. Tak terkecuali di Indonesia, momen Hari HAM menjadi pengingat akan persamaan hak di atas segala perbedaan.
Persoalan hak asasi tidak sebatas pelanggaran HAM berat yang saat ini pun masih belum tuntas. Kasus-kasus ini memberikan sinyal kepada kita semua bahwa pelanggaran HAM terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Memperjuangkan persamaan hak atas kemanusiaan tak pernah semudah yang diucapkan. Sejumlah aksi kekerasan yang disinyalir melanggar hak asasi manusia tetap saja menjadi pemandangan dalam kehidupan kita. Paling akhir, ada dua kejadian yang memicu keprihatinan terkait isu HAM.
Pertama, aksi teror yang menewaskan empat warga di Dusun Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 27 November 2020. Pelaku merupakan anggota dari jaringan teroris kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Kedua, tewasnya enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Cikampek, Senin (7/12/2020).
Hingga kini, dua kasus ini masih dalam proses penyelidikan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turun tangan untuk menggali fakta lapangan kasus ini.
Komnas HAM mencatat 1.792 aduan sejak Januari hingga Agustus 2020. Kasus yang diadukan paling banyak seputar ketenagakerjaan, sengketa tanah, hingga pelayanan publik.
Institusi yang paling banyak dilaporkan ialah kepolisian, korporasi, dan pemerintah daerah. Tiga provinsi dengan aduan tertinggi meliputi Jawa Barat, DKI Jakarta, serta Sumatera Utara.
Sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) melaporkan masih ada 12 kasus yang terhambat di tahap penyelidikan dari 15 kasus pelanggaran HAM berat.
Pelanggaran HAM memang bukan ranah yang mudah dipahami. Ada intrik politik, hukum, dan wilayah abu-abu yang tidak semua lapisan masyarakat dapat menerima dengan baik. Untungnya, media film dapat menghadirkan narasi tentang pelanggaran HAM dengan lebih luwes untuk diterima publik.
Media pertajam kepekaan
Memahami HAM tidak cukup dari definisi atau membaca keras-keras 30 poin hak dasar. Ada pelanggaran HAM yang tampak jelas, ada pula pelanggaran HAM yang sangat halus. Saking halusnya, kita tak sadar bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran. Film menjadi media yang dapat mempertajam kepekaan masyarakat pada isu-isu HAM.
Film dapat dinikmati melalui festival ataupun platform penyedia film yang saat ini makin beragam di dunia digital. Misalnya saja, Festival Film 100 % Manusia melalui kanal festivalscope.com memutar 10 film panjang dan kompilasi 5 film pendek internasional secara daring pada 3-10 Desember 2020.
Salah satu film merupakan besutan sutradara Indonesia, yakni In God’s Design karya Dirmawan Hatta yang mengangkat cerita tentang pasang surut kehidupan penyandang difabel. Dalam kompilasi film pendek, ada Nyalon karya Yudhistira T Hirmawan. Film ini menceritakan tokoh pekerja transpuan yang menyadari nilai kemanusiaan dan hidup tolong-menolong, terlebih di situasi pandemi yang sedang dihadapi.
Selain film tersebut, tahun lalu Komnas HAM juga memutar film pendek berlatar isu HAM, yakni Bura, Kamis Ke-300, dan Sowan. Film Bura (2019) karya Eden Junjung berdurasi 12 menit, berlatar pada masa kegelisahan politik tahun 1998 di daerah Tapal Kuda, Jawa Timur. Kala itu, muncul pembunuh bayaran bertopeng menyerupai ninja yang menyerang ulama dan guru mengaji.
Adapun Kamis Ke-300 (2014) merupakan film garapan Happy Salma berdurasi 15 menit. Naskah film digarap ulang oleh Putu Wijaya, mengisahkan perjuangan para keluarga korban pelanggaran HAM yang setiap hari Kamis menggelar aksi diam di depan Istana Merdeka. Aksi Kamisan ini berlangsung sejak 18 Januari 2007 dan masih berlangsung hingga sekarang.
Sowan (2014) karya Bobby Prasetyo berlatar peristiwa 1965. Film ini mengisahkan persahabatan Mien dan Murti, yang direnggut oleh peristiwa 1965.
Murti dianggap berafiliasi dengan PKI karena pernah diundang untuk menyanyi dalam acara kongres partai. Peristiwa yang hingga kini belum diungkap secara jelas itu masih menyisakan stigma hingga kini.
Aktris Kate Nash dalam ”Film that Brings Human Rights to Life” yang dipublikasikan pada Public Cuture (2018) menganalisis film-film panjang yang berkontribusi pada budaya HAM. Ia berpendapat, narasi film dapat memosisikan pemirsa untuk terlibat dalam timbulnya rasa tanggung jawab dari diri sendiri.
Baca juga: Aksi Terorisme Sigi dan Jalan Berliku Perjuangan HAM
Film The Act of Killing, misalnya, dianggap dapat menyatukan perasaan bersama antara penonton dan pelaku dalam situasi yang kompleks dan penuh teka-teki.
Film dokumenter dapat memberikan pengalaman yang lebih serius terhadap sebuah peristiwa. Misalnya saja, film The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014) karya Joshua Oppenheimer. Kritikus film dari Cinema Poetica, Windu Jusuf, menyebut kehadiran kedua film ini memperluas pembicaraan mengenai peristiwa 1965.
Film-film hak asasi manusia yang ditayangkan di festival film HAM itu mengajak pemirsa untuk mengidentifikasi atau mengalami perasaan dengan tokoh-tokoh dalam film. Dengan demikian, film menjadi media belajar untuk melihat satu peristiwa dari beragam perspektif dan tidak melihat satu peristiwa sebatas hitam dan putih atau mendikotomi benar dan salah.
Melek isu sosial
Upaya untuk memberikan ruang pada film-film bertemakan HAM dan juga isu sosial secara umum makin tampak. Ketua Komite Penjurian FFI 2018-2020 Nia Dinata menyebutkan, keberagaman masuk dalam aspek penjurian FFI. Film bagus Indonesia harus bisa menggambarkan budaya di Tanah Air yang beragam, hak asasi manusia, dan toleransi sesuai prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
FFI 2019 dinilai perlu lebih fokus menjadikan film sebagai media pendukung HAM dan keberagaman. Karena itu, kepekaan terhadap keberagaman menjadi aspek baru penjurian FFI. Penilaian pun terlepas dari popularitas sebuah film (Kompas, 15 Desember 2019).
Baca juga: Ironi Impunitas di Negara Hukum
Di level internasional, kepekaan juga makin tampak pada ajang Oscar. Dalam sepuluh tahun terakhir, tujuh dari sepuluh film pemenang Oscar merupakan film yang mengetengahkan isu sosial. Jumlah ini dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan film-film yang menang pada dekade 2000-an (Kompas, 22 Februari 2020).
Film bertema isu sosial itu antara lain 12 Years a Slave karya Steve McQueen, Moonlight karya Barry Jenkins II, dan Green Book karya Peter Farrelly. Ketiganya berputar pada isu ras yang dapat memberikan gambaran kepada penonton terkait situasi sosial yang sarat diskriminasi dengan cara yang sinematik.
(Litbang Kompas)