Berbagai fakta menunjukkan partisipasi Indonesia dalam perdagangan global cukup rendah. Ketegangan global dan pandemi Covid-19 membawa Indonesia kian undur dari keterikatan pada global.
Oleh
Agustina Purwanti
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pegawai pusat perbelanjaan sedang menata produk di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, 24 September 2020. Pembatasan sosial guna mencegah penularan Covid-19 ikut mengubah pola konsumsi warga.
Pandemi Covid-19 telah mengganggu rantai pasokan industri secara global. Masyarakat di sejumlah negara cenderung mengonsumsi produk lokal, menghidupkan kembali kecenderungan industrialisasi yang berorientasi pada pasar domestik.
Meluasnya pembatasan sosial guna mencegah penularan Covid-19 di sejumlah negara turut mengubah pola konsumsi masyarakat. Hal ini diungkapkan antara lain oleh Mukhaer Pakkanna, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, Jakarta, dalam webinar 23 September lalu di Jakarta.
Dalam forum bertajuk ”Strategi Menyelamatkan Industri Manufaktur di Tengah Kondisi Pandemi Covid-19” itu, Mukhaer Pakkanna mengungkapkan hasil survei McKinsey yang menunjukkan 69 responden cenderung menggunakan produk lokal selama masa pandemi.
Bagi Indonesia, kondisi itu tecermin dari laju pertumbuhan ekspor dan impor Indonesia yang masih mengalami kontraksi dua triwulan terakhir.
SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo melepas ekspor dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/12/2020).
Laju pertumbuhan ekspor barang dan jasa mengalami kontraksi sebesar 10,82 persen pada triwulan III-2020, lebih baik dari triwulan sebelumnya yang besarnya minus 11,68 persen. Sementara impor mengalami kontraksi 21,86 persen pada triwulan III. Angka tersebut justru lebih dalam dari triwulan sebelumnya dengan laju pertumbuhan minus 16,98 persen.
Perdagangan global
Lemahnya keterlibatan Indonesia dalam rantai pasokan global menjadi tantangan sejak sebelum pandemi Covid-19. Publikasi Bank Pembangunan Asia bertajuk ”The Evolution of Indonesia’s Participation in Global Value Chains” yang dirilis tahun 2019 menunjukkan keterikatan ke depan (forward participation) Indonesia dalam rantai pasokan global sebesar 12,9 persen pada 2017.
Angka tersebut menurun dari tahun 2000 yang mampu mencapai 21,5 persen. Bahkan, partisipasi Indonesia tahun 2017 lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 13,3 persen. Sementara keterkaitan ke belakang (backward linkage) tahun 2017 sebesar 10,1 persen, turun dari 16,9 persen pada 2000.
Paparan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia tahun 2018 juga menunjukkan partisipasi Indonesia dalam rantai pasokan global paling rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia, seperti Malaysia, Thailand, dan China.
Namun, saat pandemi, ketertinggalan Indonesia tersebut barangkali berbalik menjadi keuntungan. Hal ini karena keterpurukan industri Indonesia akibat dinamika pasar global tidak separah negara lain.
Malaysia dan Thailand, misalnya, mengalami penyusutan pertumbuhan ekonomi masing-masing minus 17 persen dan minus 12,2 persen pada triwulan II. Pada triwulan yang sama, Indonesia hanya mengalami pertumbuhan minus 5,32 persen.
Hal lain yang bisa menjadi peluang bagi Indonesia juga terkait dengan pangsa pasar domestik yang tak bisa dipandang sebelah mata. Populasi penduduk Indonesia menduduki posisi tertinggi keempat setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Merujuk data termutakhir dari Worldometer, penduduk Indonesia mencapai 273,5 juta orang atau 3,5 persen dari total penduduk dunia.
Namun, kekuatan besar bagi Indonesia bukan hanya terletak pada jumlah populasinya. Indonesia sebagai negara maritim dan negara agraris juga memiliki sumber daya alam berlimpah untuk bahan baku berbagai produk industri.
Melihat ke dalam
Penurunan impor sejatinya baik bagi pertumbuhan ekonomi mengingat besaran impor justru bersifat mengurangi pendapatan nasional. Melihat situasi ini, pemerintah pun agaknya mulai mempertimbangkan pentingnya penguatan industri dengan memanfaatkan potensi dalam negeri.
Kompas/Priyombodo
Pekerja mencuci kedelai impor yang akan dijadikan tempe di lokasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, 10 November 2020.
Melalui Kementerian Perindustrian, pemerintah mulai mewacanakan kembali adanya substitusi impor. Target substitusi impor sebesar 15 persen tahun depan dan meningkat menjadi 35 persen tahun 2022.
Target tersebut diakselerasi sebagai upaya mendorong pemulihan ekonomi nasional akibat dampak pandemi Covid-19. Substitusi impor merupakan strategi industrialisasi yang berorientasi ke dalam negeri atau disebut dengan inwardlooking strategy.
Inward looking strategy adalah strategi industrialisasi yang mengutamakan pengembangan jenis-jenis industri untuk menggantikan kebutuhan akan impor produk-produk sejenis. Strategi ini pernah menjadi fokus Indonesia pada masa Orde Baru.
Inward looking strategy banyak digunakan oleh negara-negara berkembang pada abad ke-20. Melimpahnya sumber daya alam, faktor produksi, dan tingginya potensi permintaan dari dalam negeri menjadi alasan negara berkembang mengadopsi strategi tersebut, termasuk Indonesia.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Tas wanita impor dipajang di salah satu toko di pusat perbelanjaan Tanah Abang, Jakarta Pusat, 11 Maret 2020.
Seiring perkembangan teknologi dan masifnya perdagangan global, strategi ini mulai ditinggalkan. Tahun 1980-an, strategi industri Indonesia mulai bergeser menjadi outward looking strategy, industri berorientasi ekspor.
Kondisi yang sama terjadi pada beberapa negara berkembang lain yang membuka perekonomiannya pada pasar global. Namun, pandemi seakan mengembalikan strategi industrialisasi Indonesia yang diadopsi empat dekade lalu.
Komponen domestik
Sebagai upaya mencapai target substitusi impor pada tahun-tahun mendatang, Kementerian Perindustrian mendorong agar industri manufaktur Indonesia mengoptimalkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Langkah itu wujud dari program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing industri nasional.
TKDN merupakan besarnya komponen dalam negeri pada suatu barang ataupun jasa yang dihasilkan industri dalam negeri. Semakin tinggi TKDN menunjukkan pemanfaatan komponen dari dalam negeri semakin besar.
Besaran TKDN pada suatu produk dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, produk dengan TKDN di bawah 25 persen. Kedua, produk dengan TKDN sebesar 25 hingga 40 persen. Terakhir adalah produk dengan komponen dalam negeri di atas 40 persen.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Perakitan mobil Honda Mobilio di pabrik kedua Honda di Karawang, Jawa Barat, 15 Januari 2014.
Data Kementerian Perindustrian per 2 Desember 2020 menunjukkan terdapat 4.261 sertifikat TKDN yang masih berlaku hingga tahun ini. Total sertifikat tersebut mengakomodasi 10.515 jenis produk yang dihasilkan sebab satu sertifikat TKDN dapat berisi lebih dari satu jenis produk. Rata-rata TKDN dari total produk tersebut mencapai 43,5 persen.
Optimalisasi TKDN ini sejalan dengan menurunnya impor di Indonesia, yang terjadi sejak tahun lalu. Badan Pusat Statistik mencatat, volume impor Indonesia tahun 2019 turun 5,3 persen menjadi 162,6 juta ton dari 171,7 juta ton tahun 2018.
Jika dikelompokkan menurut golongan barang, impor bahan baku dan penolong untuk industri juga turun 10,7 persen pada periode yang sama. Begitu pula dengan impor barang modal yang turun 4,7 persen.
Berbagai fakta menunjukkan partisipasi Indonesia dalam perdagangan global cukup rendah. Bahkan, ketegangan global dan munculnya pandemi Covid-19 membawa Indonesia kian undur dari keterikatan pada global.
Momentum ini menjadi sinyal bagi Indonesia untuk fokus pada pasar dalam negeri serta memperbaiki rantai pasok dalam negeri. (LITBANG KOMPAS)