Aksi Terorisme Sigi dan Jalan Berliku Perjuangan HAM
Berhadapan dengan aksi terorisme seperti yang terjadi di Sigi, Sulawesi Tengah, masyarakat perlu bangkit dengan merawat nilai-nilai toleransi dalam hidup keseharian.

Warga bersama membersihkan puing-puing dapur rumah yang dibakar anggota kelompok terorisme Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Satuan Permukiman 2 Dusun V Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (1/12/2020).
Aksi terorisme di Sigi yang menelan korban jiwa telah memperpanjang jalan berliku perjuangan hak asasi manusia. Upaya deradikalisasi dan penegakan HAM perlu terus digemakan untuk menghargai martabat luhur manusia.
Di pengujung November 2020, aksi teror terjadi di Dusun Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat (27/11/2020). Korbannya, empat warga dalam satu keluarga ditemukan terbunuh dalam keadaan tragis. Selain itu, para pelaku juga membakar enam rumah warga.
Menurut keterangan saksi dan penelusuran tim gabungan TNI dan Polri, terduga pelaku yang berasal dari jaringan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Jaringan ini bermarkas di Poso, Sulteng, dan dipimpin oleh Ali Kalora yang masih diburu oleh Satuan Tugas (Satgas) Operasi Tinombala bentukan Polda Sulteng. Dusun Lewonu sendiri berjarak sekitar 60 kilometer arah selatan Palu atau 15 kilometer dari jalan poros Palu-Lembah Napu, Kabupaten Poso.
Berdasarkan buku Handbook of Terrorism in The Asia-Pacific (2016), jaringan kelompok ini masih terkait erat dengan jejak kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pada 1998 hingga 2001 di Poso. Dalam perkembangannya, muncul tokoh sentral dalam kelompok ini, yaitu Santoso (2012).
Pada tahun yang sama, Sabar Subagyo beserta kelompoknya datang ke Makassar, Sulsel, dan bergabung dengan gerakan Santoso. Sabar Subagyo alias Daeng Koro adalah mantan anggota TNI AD yang dipecat pada 1992. Daeng Koro menjadi salah satu tokoh berpengaruh dalam merancang strategi MIT. Di 2014, MIT bersumpah setia kepada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Setahun setelahnya, MIT merilis video yang berisikan sumpah mereka dan ancaman kepada pemerintah dan Kepolisian Negara RI. Tak berselang lama, pada April 2015, Personel Detasemen Khusus 88 Antiteror menemukan kelompok MIT di Pegunungan Sakina Jaya, Parigi Utara, Sulteng. Akhirnya, terjadi baku tembak di antara keduanya dan Daeng Koro akhirnya tewas. Namun, Santoso dan beberapa pengikutnya masih dapat melarikan diri.
Selang sehari, Komisaris Jenderal Badrodin Haiti yang saat itu menjabat sebagai Wakil Kepala Polri memberikan keterangan kepada bahwa Santoso dan MIT adalah bagian dari NIIS. Ia juga angkat bicara mengenai Daeng Koro yang nyatanya terlibat dalam kerusuhan Poso pada akhir 1998, pertengahan 2020, dan sepanjang Mei hingga Juni 2020.
Melansir siaran berita Reuters, pada 2016 nama Santoso masuk dalam daftar specially designated global terrorists (SDGT) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat. Santoso akhirnya tewas dalam baku tembak dengan Satgas Operasi Tinombala pada Juli 2016. Meski begitu, gerakan MIT tidak berakhir sampai di sana.
Setelah kematian Santoso, pucuk kepemimpinan MIT silih berganti. Kini, MIT dipimpin oleh Ali Kalora, pengikut setia Santoso. Aksi terorisme di Sigi kemarin November yang dilakukan MIT berada di bawah komando Ali Kalora.

Warga mengantar berbagai bentuk bantuan untuk anggota keluarga korban yang dibunuh kelompok teroris pada akhir November 2020 di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (1/12/2020).
Deradikalisasi
Mark Jurgensmayer dalam Terror in the Mind of God: the Global Rise of Religious Violence (2001) menjelaskan keterkaitan erat antara radikalisme dan paham ideologi agama tertentu. Menurut dia, radikalisasi merujuk pada proses seseorang melakukan transformasi pemikiran dan pemahaman atas kondisi normal masyarakat menuju kondisi yang tidak normal, seperti pembolehan melakukan tindakan kekerasan.
Radikalisme ditentukan oleh persepsi tertentu, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, seperti ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, psikologi, kegagalan politik, pemahaman agama, atau kebijakan pemerintah, yang berlawanan individu tentu tidak hanya dipengaruhi suatu landasan ideologi.
Buku karyanya ini menjadi reaksi atas peristiwa 9/11 di AS pada 2001. Penekanan Jurgensmayer ada pada alasan ideologi keagamaan yang sering kali menjadi motivasi untuk melegitimasi aksi teror yang dilakukan. Oleh karena itu, fundamentalis agama lebih mengutamakan doktrin agama daripada toleransi yang berdasarkan cinta dan penghormatan hak asasi manusia.
Pandangan Jurgensmayer kemudian dilengkapi oleh John Horgan melalui buku Walking Away from Terrorism: Accounts of Disengagement from Radical and Extremist Movements (2009). Horgan berpendapat bahwa upaya deradikalisasi harus dilakukan dari berbagai aspek sebagai strategi pencegahan alternatif dari kontra-terorisme yang cenderung menggunakan kekerasan atau pendekatan militeristik (hard measure). Selanjutnya, Horgan memberikan contoh nyata dari lingkaran setan terorisme ini.
Ia menyorot peristiwa pemberontakan di Boko Haram yang sudah dimulai pada 2002. Kala itu, Nigeria mengerahkan kekuatan militer dan meminta bantuan negara lain, salah satunya AS, untuk menumpas para pemberontak. Akan tetapi, aksi kekerasan masih berkembang dan meluas karena adanya semangat balas dendam terhadap pemerintah dari kelompok ini.
Oleh sebab itu, Horgan menyatakan bahwa alih-alih mengubah pemikiran radikal suatu individu atau kelompok, upaya deradikalisasi yang tidak paham konteks justru memicu aksi radikalisme dalam bentuk lain. Maka, kesimpulan ada pada konteks hidup individu atau kelompok tersebut yang pada umumnya hidup dalam situasi ekonomi yang sulit.
Maka, yang dibutuhkan adalah membantu kemandirian hidup berupa akses ekonomi, memberi modal usaha, literasi ekonomi, dan sejenisnya guna menjauhkan individu atau kelompok dari aksi-aksi pemberontakan serupa.
Kedua argumen yang disampaikan oleh para penulis ini perlu diletakkan pada konteks upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan NIIS saat itu. Tentu saja, untuk upaya deradikalisasi di Indonesia perlu disesuaikan kembali dengan konteksnya. Salah satunya ialah dengan terus menyuarakan semangat toleransi dalam hidup beragama dan bermasyarakat.
Setara Institute melalui siaran persnya pada 28 November 2020 menyuarakan semangat toleransi ini khususnya bagi para tokoh lintas agama. Terorisme atau ekstremisme dengan kekerasan tidak mengenal agama, maka para tokoh agama perlu bersama mendorong kehidupan beragama yang teduh.
Aktualisasi atas Rencana Aksi Rabat Maroko 2012 dan Deklarasi Beirut Lebanon 2017 perlu diusahakan, yakni ”musuh” bersama lintas agama adalah kebencian yang menghasut terjadinya diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan.

Perjuangan HAM
Aksi terorisme yang terjadi bukan hanya mencederai persatuan bangsa, tetapi juga menambah luka bagi perjuangan HAM. Jembatan di antara keduanya terletak pada penghormatan pada martabat luhur manusia di atas keberagaman yang ada, seperti SARA, ideologi, ataupun keyakinan individu. Tindakan yang merugikan, apalagi membunuh sesama tentu bertolak belakang dengan HAM.
Berkaitan dengan ini, pemerintah dari tahun ke tahun dihantui oleh tantangan penegakan HAM. Melalui keterangan pers yang terbit 21 Oktober 2020, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai saat ini upaya pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia mengalami stagnasi. Dalam laporan tersebut, ada enam isu strategis yang disorot.
Poin pertama, Komnas HAM menyorot 12 peristiwa di Indonesia yang diduga mengandung unsur pelanggaran HAM berat. Komnas HAM menyatakan bahwa pengusutan kasus ini sebenarnya sudah difasilitasi melalui UU No 26/2020 tentang Pengadilan HAM, tetapi hingga kini belum juga ada kemajuan berarti. Stagnasi ini menjadi beban dan utang negara di dunia internasional, apalagi Indonesia menjadi salah satu Dewan HAM dan Dewan Keamanan PBB yang sepatutnya memberikan contoh bagi negara lain.
Baca juga: Bukan Rumah bagi Terorisme
Selain itu, tentu saja isu intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme dengan kekerasan turut dimasukkan dalam salah satu isu strategis Komnas HAM. Pada 2019, Komnas HAM menemukan adanya tindakan intoleransi berupa pembubaran kegiatan ibadah dan penolakan pembangunan rumah ibadah di sejumlah wilayah. Misalnya, penolakan atas pembangunan rumah ibadah dan rumah dinas pendeta GKPPD Napagaluh di Aceh Singkil, Aceh, serta pelarangan perayaan Natal di Kabupaten Dhamasraya, Sumatera Barat, pada 2019.
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa hingga kini belum ada penyelesaian yang utuh dan terstruktur terhadap permasalahan intoleransi. Tindakan intoleransi beserta potensinya di masyarakat merupakan ancaman nyata bagi penghargaan atas keberagaman, terutama bagi masyarakat minoritas dan adat. Bagaimanapun, hak beragama dan berkeyakinan adalah hak fundamental yang dijamin oleh undang-undang.
Dalam Standar Norma dan Pengaturan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diterbitkan Komnas HAM pada Oktober 2020, persoalan yang berkaitan dengan penyimpangan, penodaan, dan permusuhan terhadap agama kembali diangkat (nomor 196-206). Komnas HAM menilai, pembuat kebijakan dan penegak hukum perlu berhati-hati dalam menggunakan pasal-pasal terkait persoalan tersebut agar dalam penerapannya tidak diskriminatif dan mengurangi hak kelompok tertentu.

Sejumlah warga membersihkan puing-puing di dapur rumah yang dibakar oleh kelompol teroris di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (1/12/2020). Kebersamaan warga tak terkoyak seusai pembunuhan 4 warga dan pembakaran 6 rumah oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur akhir November 2020.
Toleransi
Terlepas dari peliknya persoalan penegakkan HAM dan upaya menumpas terorisme serta ekstremisme dengan kekerasan, negara perlu hadir dalam menjamin HAM warganya. Tindakan sekelompok orang yang berpotensi memunculkan perpecahan antarmasyarakat perlu ditindak berdasarkan hukum yang berlaku. Upaya dominasi kelompok tertentu dapat berpotensi pada tindakan diskriminatif terhadap kelompok lainnya, terutama minoritas.
Seperti yang dikatakan oleh Ridwan Habib, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, dalam wawancara dengan Aiman, penumpasan aksi teror di Sigi juga memerlukan dasar hukum. Menurut dia, Operasi Tinombala membutuhkan bantuan TNI dengan perpres yang ditandatangani langsung oleh Presiden RI. Perpres ini akan memberikan penugasan bagi TNI untuk melakukan penelusuran dan penumpasan kelompok teroris yang saat ini bersembunyi di pegunungan dan hutan.
Hingga kini, TNI dan Polri masih menjalankan tugasnya dalam mengusut pelaku aksi terorisme. Berhadapan dengan aksi ini, masyarakat perlu bangkit dengan merawat nilai-nilai toleransi dalam hidup keseharian. Tidak dapat disangkal, hidup harmonis dalam keberagaman, menghargai keyakinan yang berbeda, dan memandang luhur martabat manusia merupakan upaya deradikalisasi yang ampuh di tataran akar rumput. (LITBANG KOMPAS)

Di halaman rumah warga Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (1/12/2020), tertera tulisan sebagai pesan kebersamaan dan harmoni. Warga sudah lama hidup berdampingan dengan warga lain yang berbeda agama dan suku.