Persoalan Tumpukan Sampah di Luar Jawa
Masalah sampah membelenggu perkotaan di Indonesia. Tak peduli itu di kota kecil, sedang, besar, ataupun metropolitan.
Persoalan sampah tak hanya identik dengan kawasan padat penduduk di Jawa, seperti Jabodetabek. Masalah yang sama terjadi di kawasan perkotaan di luar Jawa, seperti Manado, Mataram, dan Bandar Lampung.
Awal 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan hasil penilaian Adipura 2018. Hasilnya, ada 10 kota terkotor dengan nilai terendah dari antara ratusan kabupaten/kota. Kota itu adalah Medan, Bandar Lampung, Manado, Sorong, Kupang, Palu, Waykabubak, Waisai, Buol, dan Bajawa.
Dari 10 kota tersebut akan diulas masalah sampah di kota Manado dan Bandar Lampung yang akan mengadakan hajatan pilkada pada 9 Desember mendatang. Ditambah peserta pilkada lainnya, yakni kota Mataram, yang juga mempunyai masalah persampahan sejak 1980-an.
Masalah sampah membelenggu perkotaan di Indonesia. Tak peduli itu di kota kecil, sedang, besar, ataupun metropolitan.
Hal ini antara lain disebabkan rendahnya kesadaran sebagian masyarakat dalam mengelola sampah. Beberapa masyarakat masih punya kebiasaan membuang sampah sembarangan. Anjuran untuk melaksanakan program Reduce, Reuse, Recycle (3R) belum dilakukan serentak.
Hasil survei Litbang Kompas akhir Oktober lalu, baru separuh responden yang memilah sampah organik dan anorganik. Selain itu, separuh lebih menyatakan tidak pernah mendaur ulang sampah. Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup Dimensi Pengelolaan Sampah (KLHK, 2018) juga menunjukkan ketidakpedulian terhadap pengelolaan sampah di Indonesia cukup tinggi. Angkanya menunjukkan 0,72 dalam skala nol hingga satu.
Pemerintah pusat berupaya mendorong pemerintah daerah untuk membangun partisipasi aktif masyarakat melalui penghargaan Adipura. Adipura yang sudah diadakan sejak 1986 hingga sekarang ternyata belum berhasil membuat kota-kota Indonesia bersih dari sampah.
Perilaku masyarakat
Volume sampah berkorelasi positif dengan jumlah penduduk. Tidak masalah jika jumlah penduduk kota terus meningkat. Namun, syaratnya, masyarakat kota mempunyai kepedulian dan kesadaran tinggi dalam mengelola sampah. Namun, dari tiga kota tersebut, perilaku masyarakatnya masih buruk dalam mengelola sampah.
Tercatat dalam penelitian ”Persepsi dan Perilaku Masyarakat tentang Masalah Sampah di Kota Manado (Manengkey, 2014)”, warga Manado telah menyadari bahwa sampah bisa menimbulkan masalah jika segera tak ditangani. Namun, ada dua kelompok masyarakat, yakni yang patuh pada aturan pengelolaan sampah dan yang tidak mau tahu dengan aturan.
Sebagian masyarakat masih membuang sampah di jalan, saluran air, atau sungai. Aturan jam membuang sampah di TPS, yakni pukul 18.00-6.00 waktu Indonesia bagian tengah, juga kerap diabaikan.
Sebagian masyarakat pun enggan membayar iuran sampah. Perilaku buruk masyarakat tersebut diperparah dengan kehidupan masyarakat yang cenderung konsumtif (Kompas, 16/10/2020).
Perilaku masyarakat yang sama juga terjadi di Kota Mataram. Sistem pengelolaan sampah di Kota Mataram sebagian besar menggunakan metode lama. Metode tersebut adalah kumpul-angkut-buang.
Sementara itu, kesibukan masyarakat oleh aktivitas masing-masing tidak diikuti dengan kepedulian mereka mengelola dan mengolah sampah. Meski demikian, tercatat dari beberapa pemberitaan media, di Mataram mulai bermunculan kelompok masyarakat yang peduli dengan sampah. Di antaranya melalui bank sampah, pengolahan sampah anorganik oleh pelajar SMAN 1 Mataram, beberapa pondok pesantren, serta kegiatan bersih pantai.
Baca juga: ”Maggot” Kian Berjaya, dari Pengurai Sampah sampai Penghasil ”Cuan”
Cerita yang lebih kurang sama terjadi di Bandar Lampung. Sampah mengotori pesisir Bandar Lampung di sejumlah titik dari Kecamatan Bumiwaras hingga Kecamatan Panjang (Kompas, 13/10/2020). Sampah yang terdiri atas pembungkus makanan, kayu, sayuran, dan daging busuk tersebut juga mencemari perairan hingga menyurutkan hasil tangkapan nelayan.
Hasil penelitian Sampurna Jaya bersama koleganya tahun 2010 mengenai ”Kajian Kebijakan dan Program Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan Kota Bandar Lampung” menjelaskan sistem pengolahan sampah 3R di Kota Bandar Lampung. Pengolahan berupa bank sampah di Kemiling, Kedaton, dan Raja Basa. Program 3R diterapkan di pasar Panjang, Tamin, dan Cimeng, serta TPA Bakung.
Namun, hingga kini, yang masih berjalan hanya bank sampah di Kemiling. Itu pun hanya pemilahan sampah. Setelah itu, sampah diangkut ke TPA. Proses pengangkutan ke TPA pun terkendala karena beberapa angkutan kebersihan rusak.
Kapasitas TPA
Selain perilaku masyarakat, faktor kapasitas dan teknologi pengolahan sampah yang masih menggunakan open dumping cukup memengaruhi masalah sampah perkotaan. Sampah yang masuk ke TPA kerap melebihi kapasitas daya tampungnya.
TPA Sumompo, Manado, dengan luas 13,7 hektar, enam tahun terakhir tak lagi bisa menampung sampah warga Manado. Metode sanitary landfill tak lagi diterapkan, berubah menjadi open dumping.
Solusi sementara untuk mengurangi sampah di TPA Sumompo adalah dengan mengoperasikan enam mesin insinerator di lima kecamatan. Insinerator yang dioperasikan melebihi suhu yang ditetapkan KLHK (800 derajat celsius), akan berpotensi mencemari udara dari asap pembakaran yang dihasilkan.
Sebenarnya, langkah tepat untuk mengurangi timbunan sampah di TPA adalah peran masyarakat ataupun produsen untuk mengurangi sampah. Caranya dengan memilah sampah kemudian mendaur ulang ataupun pengomposan. Produsen dapat juga membuat produk daur ulang.
Kapasitas TPA yang berlebih juga terjadi di TPA Bakung, Kota Bandar Lampung. Kapasitas TPA seluas 13,6 hektar tersebut hanya bisa menampung 230 ton per hari saja. Namun, kenyataannya harus menampung 800 hingga 1.000 ton per hari.
Teknologi pengolahan sampah yang digunakan pun open dumping. Tak hanya over capacity, menurut penelitian ”Kajian Evaluasi TPA & Analisis Biaya Manfaat Sistem Pengelolaan Sampah di TPA”, air lindi di TPA juga mencemari sumur warga.
Baca juga: Sampah di Sungai Ciliwung yang Tak Kunjung Selesai
Berbeda halnya dengan TPA Kebon Kongok yang menjadi lokasi pembuangan sampah warga Mataram. TPA seluas 8,6 hektar tersebut juga menampung sampah warga Kabupaten Lombok Barat. Meski kapasitasnya masih mencukupi, Oktober 2019 lalu, TPA tersebut terbakar. Dampaknya, pengangkutan sampah di dua wilayah terhambat. Sampah menumpuk di beberapa titik selama beberapa hari.
Pengelolaan sampah perkotaan tak hanya melibatkan peran masyarakat dan merencanakan aspek teknik operasional, seperti menyediakan TPA. Namun, menurut Kementerian Pekerjaan Umum, ada tiga aspek lain, yakni pembiayaan, kelembagaan, serta hukum dan aturan. Kelimanya harus saling terkait untuk mewujudkan pengelolaan sampah kota yang efektif.
Pemerintah berperan pada sisi kelembagaan, pembiayaan, aturan hukum, dan penyediaan fasilitas operasional pengolahan sampah. Di sisi lain, peran aktif masyarakat sebagai konsumen ataupun pengelola fasilitas sosial/umum cukup penting dalam mengelola sampah kota. Dibutuhkan kolaborasi kuat semua pihak untuk melepas predikat kota kotor.
(LITBANG KOMPAS)