Mencari ”Darah Biru” Sumenep
Pilkada Kabupaten Sumenep semestinya menjadi ajang mencari solusi untuk mengatasi problem di daerah ini. Salah satu problem yang masih menjadi tantangan besar ialah kemiskinan.
Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sumenep tahun ini ibarat replikasi dari pertarungan di kontestasi sebelumnya. Persaingan masih memunculkan wajah lama dengan pola koalisi yang berganti posisi semata. Pengaruh petahana akan diuji oleh kekuatan sosok santri dan representasi priayi dari wilayah paling ujung timur dari Pulau Madura ini.
Seumpama drama, Pemilihan Kepala Daerah 2020 di Kabupaten Sumenep ibarat kisah yang terulang kembali. Dari dua pasangan calon yang berlaga, muncul dua nama yang sebenarnya tidak asing lagi bagi pemilih di wilayah ini, yakni Achmad Fauzi dan Dewi Khalifah. Sebelumnya, pada pilkada lima tahun silam, keduanya sama-sama menjadi kontestan yang saling berhadapan.
Namun, kini keduanya menjadi satu paket pasangan yang diusung koalisi PDI-P, Gerindra, PAN, PKS, dan PBB. Koalisi ini mengantongi 20 kursi DPRD Kabupaten Sumenep atau setara dengan 40 persen kursi parlemen. Achmad Fauzi tercatat sebagai wakil bupati petahana, sedangkan Dewi Khalifah dikenal sebagai tokoh Fatayat sekaligus Ketua DPC Hanura Kabupaten Sumenep.
Di atas kertas, pasangan ini sudah bermodalkan popularitas. Sebagai wakil bupati petahana, Fauzi sudah berpengalaman selama lima tahun terakhir di pemerintahan. Apalagi, pengalamannya sebagai aktivis sekaligus jurnalis memberikan nilai plus tersendiri bagi Fauzi untuk meyakinkan pemilih.
Sementara dari sisi Dewi Khalifah, pengalamannya sebagai seorang wirausaha dan pengaruhnya di Fayatat juga memberikan insentif tersendiri bagi pasangan ini untuk menarik simpati pemilih.
Sementara itu, pasangan penantangnya juga tak kalah berbobot. Pasangan RB Fattah Jasin dan Ali Fikri diusung koalisi PKB, Demokrat, PPP, Nasdem, dan Hanura.
Koalisi ini mengantongi 30 kursi parlemen atau setara dengan 60 persen kursi legislatif di Sumenep. Dibandingkan dengan pasangan Fauzi-Dewi yang sama-sama wajah lama, pasangan Jasin-Fikri ini wajah baru. Walakin, mereka memiliki modal sosial yang tak kalah dibandingkan dengan modal pengaruh, popularitas, dan pengalaman dari pasangan Fauzi-Dewi.
RB Jasin selama ini dikenal sebagai birokrat. Jabatan terakhirnya Kepala Badan Koordinasi Wilayah dan Pembangunan Kabupaten Sumenep. Sebelum hijrah ke kampung halamannya ini, Jasin pernah menjabat Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Timur yang berkedudukan di Surabaya pada era pemerintahan Gubernur Soekarwo. Bahkan, Jasin pernah ditunjuk sebagai pejabat Bupati Pamekasan ketika masih aktif di pemerintah provinsi.
Selain pengalaman birokrasi, Jasin berlatar belakang keluarga priayi. Ia keturunan dari keluarga Keraton Sumenep. Gelar lengkapnya Raden Bagus (RB) Fattah Jasin. Jika membaca gelar tersebut, warga Sumenep langsung paham pemilik gelar ini adalah keturunan raja yang berhak atas Asta Tinggi (makam raja-raja Sumenep).
Sementara itu, pasangannya, Ali Fikri, dikenal sebagai ulama muda, dengan gelar kiai juga disematkan kepada alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, ini. Gus Fikri, demikian dia bisa dipanggil, juga putra dari almarhum KH Warits Ilyas, tokoh besar PP Annuqayah Guluk-guluk.
Pesantren ini cukup terpandang, tidak saja di Madura, tetapi juga secara nasional. Banyak alumnus pesantren ini menjadi tokoh-tokoh nasional.
Modal politik
Selain modal sosial, tentu pasangan Jasin-Fikri juga ditopang modal politik, terutama dari jaringan partai politik. Sokongan PKB yang menjadi salah satu partai pengusung tentu menjadi poin tersendiri bagi pasangan ini. Sebagai partai peraih kursi terbanyak di DPRD, rekam jejak PKB sejauh ini cukup positif dalam kontestasi pilkada di Sumenep. Setidaknya di dua pilkada terakhir, PKB mampu mendulang kemenangan.
Kita lihat saja pada Pilkada 2005, di mana PKB sudah mengajukan nama KH Abuya Busyro Karim sebagai calon bupati. Namun, di pilkada ini masih kalah dari KH M Ramdlan Siraj yang diusung PPP. Kedua partai berbasis pemilih Islam ini memang dikenal cukup bersaing pengaruhnya di Madura. Kekalahan PKB juga tak lepas dari masih kuatnya sosok KH M Ramdlan Siraj yang notabene saat itu bupati petahana yang akhirnya berhasil memenangi kembali kursi bupatinya hingga memimpin Sumenep selama dua periode (2000-2005, 2005-2010).
Akan tetapi, pada Pilkada 2010, PKB akhirnya berhasil memenangi kontestasi dengan mengusung kembali KH Abuya Busyro Karim. Dengan berkoalisi bersama PDI-P, PKB sukses mengantarkan Abuya Bursyro Karim sebagai bupati.
Pada Pilkada 2010 ini, muncul nama Dewi Khalifah yang maju sebagai calon wakil bupati, lawan dari pasangan calon yang diusung PKB. Pasangan Abuya Busyro Karim-Soengkono Sidik yang diusung PKB dan PKNU akhirnya mengalahkan pasangan Azasi Hasan-Dewi Khalifah pada putaran kedua dari sebelumnya putaran pertama terdiri dari total delapan pasangan calon.
Pada Pilkada 2015, PKB kembali sukses mengantarkan KH Abuya Busyro Karim yang berpasangan dengan Achmad Fauzi. Nama Dewi Khalifah pun muncul kembali sebagai penantang yang saat itu mendampingi calon bupati Zainal Abidin yang dikenal sebagai mantan Kepala Badan Perencanaan Provinsi Jatim.
Pada Pilkada 2010 ini, PKB masih menjalin koalisi dengan PDI-P dan berhasil sukses mengantarkan Abuya Busyro Karim menduduki jabatannya kembali sebagai bupati hingga dua periode (2010-2020).
Baca juga : Polda Jatim Tahan Pengancam Presiden
Pada pilkada tahun ini, selain menjadi pertarungan bagi Wakil Bupati petahana Achmad Fauzi untuk mengulang kesuksesan bahwa petahana selalu berhasil menang kembali, juga menjadi pertarungan bagi calon wakilnya, Dewi Khalifah. Bagaimanapun, pilkada tahun ini menjadi ajang ketiga bagi aktivis Fatayat ini.
Selain itu, juga menjadi pertarungan bagi PDI-P, apakah tanpa berkoalisi dengan PKB sebagai partai dominan di Sumenep, partai berlambang kepala banteng ini mampu mengantarkan kemenangan bagi pasangan calon yang diusungnya tersebut.
Di sisi lain, bagi pasangan Jasin-Fikri, pertaruhannya adalah mampukah sang penantang mengalahkan pamor petahana yang selama ini selalu menang kembali dalam pilkada, termasuk pertaruhan bagi PKB yang selama ini selalu mengusung petahana, kali ini partai itu justru mengusung nama baru.
Problem kemiskinan
Selain pertarungan pamor antarkedua pasangan calon, Pilkada Kabupaten Sumenep tahun ini semestinya juga menjadi ajang mencari solusi untuk mengatasi problem di daerah ini. Salah satu problem yang masih menjadi tantangan adalah soal kemiskinan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Sumenep masuk kategori 10 daerah termiskin di Jatim. Dari 10 daerah tersebut, tiga kabupaten lainnya di Madura juga masuk daerah termiskin, yakni Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan.
Persentase penduduk miskin di Sumenep tahun 2019 mencapai 19,49 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penduduk miskin di Jatim yang mencapai 11,09 persen. Isu kemiskinan ini pada akhirnya juga menuntut kedua pasangan calon untuk membuat program yang lebih konkret. Sayangnya, jika melihat draf visi-misi serta program kerja keduanya, isu kemiskinan belum disebut secara lengkap.
Draf visi-misi pasangan Fauzi-Dewi hanya menyebutkan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga dibutuhkan gotong royong warga. Meski demikian, pasangan ini akan fokus pada sejumlah sasaran mengatasi masalah sosial, di antaranya peningkatan kesejahteraan kaum duafa dan pondok pesantren.
Hal yang sama ditemui dari draf visi dan misi Jasin-Fikri, yang tidak menyebut secara rinci dan khusus terkait isu kemiskinan ini. Pasangan ini lebih fokus pada upaya membangkitkan perekonomian Sumenep melalui peningkatan fasilitas infrastruktur yang bagi mereka menjadi syarat utama peningkatan perekonomian masyarakat.
Baca juga : Pergerakan Warga di Tujuh Desa di Sumenep Dibatasi
Pada akhirnya, semua berpulang pada pemilih di Sumenep, apakah mereka akan bertumpu pada program kedua pasangan calon tersebut. Jika melihat rekam jejak perilaku pemilih di Madura, sisi rasional pemilih cenderung kurang dominan. Sisi emosional terkait kedekatan dengan nilai-nilai budaya lokal justru yang diprediksi banyak memengaruhi pilihan.
Tak pelak, pilkada tahun ini akan menjadi pertaruhan siapa ”darah biru” sesungguhnya yang kelak menjadi pemimpin di Sumenep. Apakah itu terkait pamor petahana yang lebih dominan atau sisi modal sosial priayi dan santri yang akan lebih banyak memengaruhi pilihan pemilih. Semua akan terjawab 9 Desember. (LITBANG KOMPAS)