Masyarakat Batanghari perlu menilai kualitas calon kepala daerah dengan memperhitungkan berbagai persoalan yang menonjol di kabupaten itu. Pemimpin yang kapabel dan memiliki program terbaik harus menjadi pilihan.
Oleh
Wirdatul Aini
·4 menit baca
Persaingan dua klan politik dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten Batanghari disinyalir akan menjadi kunci. Dua pasangan calon bertumpu pada jaringan modal sosial politik yang sudah terbangun selama ini. Pilkada makin hangat oleh munculnya tawaran kepemimpinan alternatif dari kubu nonklan politik.
Pertarungan tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati di Batanghari disinyalir bakal berlangsung ketat. Dua calon bupati berasal dari kerabat dekat dua klan politik yang selama ini mewarnai panggung politik di Batanghari. Keduanya ialah klan Abdul Fattah dan klan Syahirsyah.
Abdul Fattah dan Syahirsyah merupakan bupati dan wakil bupati tahun 2001-2006, tetapi kemudian pecah kongsi. Dalam pertarungan pilkada selanjutnya, mereka ”bergantian” memenangi pilkada.
Syahirsyah menjadi bupati tahun 2006-2011 dan 2016-2021. Adapun Abdul Fattah memenangi jabatan bupati di antaranya tahun 2011-2013. Saling mengungguli selama 20 tahun terakhir di antara kedua tokoh membuat narasi politik lokal dan jaringan politik dikuasai mereka.
Saat ini, pasangan yang akan bertarung di pilkada juga masih terkait kekerabatan dengan kedua tokoh. Calon bupati bernomor urut 1, Yunnita Asmara, merupakan istri dari Syahirsyah. Yunnita berpasangan dengan Muhammad Mahdan, yang didukung Golkar, PDI-P, Gerindra, dan Perindo.
Keduanya berpengalaman di keanggotaan legislatif. Yunnita ataupun Mahdan sama-sama anggota DPRD Batanghari selama tiga periode.
Sementara itu, pasangan calon nomor urut 2, Firdaus-Camelia, juga terkait dengan kekerabatan politik. Firdaus merupakan anak dari Abdul Fattah, sedangkan Camelia merupakan putri dari Hasip Kalimuddin Syam, Bupati Batanghari periode 1980-1991. Pasangan ini diusung PAN, Demokrat, dan PKS.
Di luar mereka, satu pasangan calon, Fadhil Arief-Bakhtiar, akan lebih banyak bertumpu pada pengalaman birokrasi pemerintahan yang selama ini mereka geluti. Fadhil-Bakhtiar diusung PPP, Nasdem, dan PKB.
Mereka sama-sama mantan sekretaris daerah. Fadhil Arief merupakan mantan Sekda Kabupaten Muaro Jambi, sedangkan Bakhtiar mantan Sekda Kabupaten Batanghari.
Pasangan ini bisa menjadi kuda hitam pada pilkada tahun ini. Jika menang, mereka mencetak sejarah baru dalam ”meruntuhkan” dominasi trah politik di ”Bumi Serentak Bak Regam”.
Ketiga pasangan calon bertarung di panggung Pilkada 2020 dengan mengadu modal sosial masing-masing. Dua nama calon bupati akan mengadu kekuatan trah politik yang di atas kertas saling mengungguli, sedangkan satu pasangan mencoba menawarkan alternatif baru kepemimpinan Batanghari.
Melawan dominasi
Tak pelak, sebagai satu-satunya pasangan calon tanpa bermodal trah politik, pasangan Fadhil-Bakhtiar akan mendapati bahwa memenangi pertarungan tidaklah mudah. Warisan klan penguasa menguntungkan dua lawan politiknya.
Figur kuat tokoh politik yang pernah berkuasa di Batanghari, Syahirsyah dan Fattah, akan mendorong perolehan suara bagi tiap-tiap pasangan calon yang menjadi trah mereka.
Tak bisa dimungkiri, kedekatan dengan penguasa akan mewariskan jaringan politik dan akses finansial, termasuk popularitas lokal serta modal uang. Meskipun demikian, keberadaan dinasti politik rawan melahirkan celah pelanggaran. Rekam jejak politik di Batanghari terkait praktik korupsi menjadi titik lemah.
Pada 2013, misalnya, Abdul Fattah diberhentikan dari jabatannya sebagai Bupati Batanghari karena terjerat kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran Rp 1,1 miliar pada 2004. Atas tindakannya itu, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menetapkan hukuman 14 bulan penjara subsider dua bulan kurungan dan denda Rp 50 juta. Selanjutnya, Fattah digantikan Sinwan sebagai bupati pada 2013 hingga 2016.
Terbukti praktik ala dinasti politik di Batanghari menyebabkan check and balances tidak bisa berjalan efektif. Akuntabilitas pembangunan bisa dikalahkan oleh hubungan kekerabatan. Hal inilah yang menjadi modal bagi pasangan Fadhil-Bakhtiar karena mereka satu-satunya pasangan calon yang tak memiliki kekerabatan politik. Keduanya sekaligus berpengalaman di organisasi pemerintahan.
Meski berpengalaman dan dinilai lebih mengerti seluk-beluk birokrasi yang efektif, pengalaman politik yang minim menjadi kelemahan mereka.
Tantangan
Tiga pasangan calon pemimpin daerah ini ditantang untuk menuntaskan masalah sosial dan ekonomi yang masih membelenggu Batanghari. Salah satunya ialah rendahnya kualitas SDM, infrastruktur, dan angka kemiskinan yang tinggi di wilayah berpenduduk sekitar 270.000 jiwa (2018) itu.
Selama ini, pengembangan infrastruktur dan SDM Batanghari dinilai tertinggal dibandingkan dengan kabupaten kota lainnya di Provinsi Jambi. Daerah dengan luas 5.804,8 kilometer persegi ini hanya memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 69,33 pada 2018. Bandingkan dengan Kota Jambi sebesar 77,43.
Jumlah penduduk miskin pun masih cukup tinggi, yakni 10,23 persen pada 2018. Hal ini menunjukkan masih banyak warga Batanghari yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan pengeluaran bulanan kurang dari Rp 394.438 (2018). Tingginya angka kemiskinan didorong oleh pengangguran terbuka yang besar. Pada 2018, pengangguran terbuka di Batanghari sebesar 4,0 persen.
Padahal, Batanghari memiliki potensi kekayaan alam dan wilayah yang jika dimanfaatkan dengan optimal dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Selama ini, kontribusi tertinggi sumber pendapatan Batanghari berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Masyarakat Batanghari perlu secara cerdas menilai kualitas calon kepala daerahnya dengan memperhitungkan berbagai persoalan daerah yang menonjol di masyarakat. Pemimpin yang kapabel dan memiliki program terbaik sebaiknya dipilih untuk meningkatkan kesejahteraan serta kualitas hidup warga ”Muara Bulian Kota Berlian” ini.