Jangan sampai kisah intrik Ken Arok membayangi para pejabat pemerintahan Kabupaten Malang. Kisah itu dapat menjadi pelecut semangat pemerintah Kabupaten Malang agar masyarakatnya tak berakhir malang. Selamat ulang tahun.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·4 menit baca
Kabupaten Malang memperingati hari jadinya yang ke-1.260 pada hari ini. Sebagai kabupaten tertua kedua di Indonesia, Malang rupanya belum terlepas sepenuhnya dari konflik elitis yang berimbas pada kemajuan masyarakatnya.
Kabupaten Malang menetapkan 28 November 760 sebagai awal kelahirannya. Penetapan ini berdasarkan penanggalan (candrasengkala) yang dimuat dalam Dinaya atau Kanjuruhan yang berbunyi Nayana-Vayarase dengan berangka 682 tahun Saka atau tahun 760 Masehi. Inilah sumber tertulis tertua yang dijadikan rujukan para ahli sejarah sebagai letak Kerajaan Kanjuruhan yang kemudian menjadi cikal bakal Kabupaten Malang.
Kerajaan Kanjuruhan berkembang dalam kurun yang sama dengan Kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian barat dan Mataram Kuno (Hindu) di Jawa bagian tengah.
Dalam perjalanan sejarah, selain Kanjuruhan, ada Singasari yang menjadi salah satu kerajaan yang paling diingat karena kemakmuran serta kisah pendirinya, Ken Arok.
Seperti cerita yang diturunkan, kisah Ken Arok penuh dengan intrik sekaligus politis karena berkaitan erat dengan kekuasaan. Dengan keris yang direbut dari Mpu Gandring, Ken Arok membunuh Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung. Ken Arok kemudian menggantikan kekuasaan Tunggul Ametung serta mempersunting Ken Dedes.
Hal ini dilakukan Ken Arok untuk membuktikan ramalan pendeta Lohgawe, yakni bahwa siapa pun yang berhasil memperistri Ken Dedes akan menjadi raja besar. Ramalan tergenapkan, Ken Arok berhasil mengalahkan Raja Kediri (Kertajaya), lalu mendirikan Kerajaan Singasari pada 1222. Namun, kisah Ken Arok berlangsung tragis termasuk bagi keturunannya dengan konflik perebutan kekuasaan dan berakhir di ujung petaka keris legendaris.
Jejak sejarah Ken Arok masih membayangi Kabupaten Malang saat ini, khususnya dalam kancah perpolitikan. Tentu, konteks saat ini tidak ada lagi pertumpahan darah, tetapi konflik kepentingan di tataran elite yang akhirnya berimbas pada kurang optimalnya pembangunan masyarakat.
Konflik kepentingan di tataran elite salah satunya terlihat dari mutasi jabatan yang terindikasi ilegal. Pada 31 Mei 2019, sebanyak 248 aparatur sipil negara (ASN) dimutasi. Keputusan itu terindikasi ilegal karena tidak mendapat persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri. Apalagi, status Bupati Malang Sanusi kala itu masih pelaksana tugas (Plt), bukan bupati definitif.
Soal mutasi, nyatanya bukan hal asing di pemerintahan Kabupaten Malang. Menengok ke 2013 silam, sebanyak 175 pejabat di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Malang dimutasi. Alasannya, banyak jabatan yang sudah kosong akibat pejabat sebelumnya memasuki masa pensiun.
Kehadiran Sanusi sebagai bupati pada 2018 dilatarbelakangi oleh skandal korupsi yang dilakukan bekas Bupati Rendra Kresna. Rendra terkait kasus suap sebesar Rp 7,5 miliar. Tepatnya, para pengusaha yang tergabung dalam tim sukses memberikan dana dan Rendra akan mengembalikannya dalam bentuk pembagian proyek.
Dalam sidang lanjutan perkara korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya pada April 2019, Rendra mengaku hanya menerima Rp 1,6 miliar dari tim suksesnya dalam pemilihan kepala daerah. Rendra Kresna pun divonis 6 tahun penjara.
Tidak berhenti di situ, gurita korupsi sudah mencengkeram di tubuh pemerintahan Kabupaten Malang. Pada 30 Juli 2020, KPK menahan Eryck Ermando Talla yang terduga terlibat kasus korupsi dana peningkatan mutu pada Dinas Pendidikan Kabupaten Malang. Dalam pantauan Malang Corruption Watch (MCW), ada sejumlah aktor lain dalam kasus ini yang melibatkan pengusaha dan sejumlah kepala dinas dalam pengadaan proyek.
Selain itu, belum dilantiknya Wakil Bupati Malang, Mohamad Soedarman, masih meninggalkan tanya besar hingga saat ini. Soedarman memenangi proses pemilihan di DPRD Kabupaten Malang pada 9 Oktober 2019. Politisi dari Partai Nasdem ini terpilih setelah mendapatkan 44 suara dari total 50 suara yang diberikan anggota DPRD.
Ketimpangan
Merujuk data Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, pendapatan asli daerah (PAD) nyatanya tidak mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada 2019, PAD Kabupaten Malang hanya Rp 625 miliar. Jumlah ini sangat timpang apabila dibandingkan dengan postur Anggaran Pendapatan Pemerintah (APD) Rp 4 triliun pada tahun yang sama. Artinya, hampir 85 persen pendapatan Pemerintah Kabupaten Malang berasal dari bantuan dana dari pemerintah pusat.
Ketimpangan ini juga terlihat pada 2016. Jika pada 2016 persentase PAD terhadap APD sejumlah 14,6 persen, pada 2019 jumlahnya hanya naik sedikit, yakni 15,2 persen. Data itu tentu memprihatinkan mengingat Kabupaten Malang memiliki sumber daya alam yang menjanjikan guna meningkatkan pendapatan daerah.
Menurut pengamatan Malang Corruption Watch (MCW), rendahnya PAD Kabupaten Malang dari tahun ke tahun bukan tanpa alasan. Diduga, ada beberapa kebocoran PAD yang seharusnya bisa dimaksimalkan Pemerintah Kabupaten Malang. Pengawasan pemerintah daerah pun dinilai tak optimal.
Di sisi lain, persentase angka kemiskinan pada 2019 makin menurun dan kini di angka 9,47 persen. Namun, angka ini belum memuaskan jika dibandingkan dengan kabupaten tetangganya, Kabupaten Banyuwangi, yang berhasil turun ke angka 7,52 persen pada tahun yang sama.
Karut-marut permasalahan di tataran elite pemerintahan Kabupaten Malang ini tentu menjadi masalah yang harus segera diselesaikan.
Jangan sampai kisah intrik Ken Arok justru membayangi para pejabat pemerintahan Kabupaten Malang. Seharusnya, catatan kerajaan pada masa lalu dapat menjadi tonggak sejarah dan pelecut semangat Pemerintah Kabupaten Malang agar masyarakatnya tidak berakhir malang. Selamat ulang tahun dan selamat berbenah! (LITBANG KOMPAS)