Lingkaran Virus, Bunga, dan Kekerasan terhadap Perempuan
Situasi pandemi menempatkan banyak perempuan dalam lingkaran ancaman Covid-19, tuntutan membantu perekonomian, dan siklus kekerasan.

Seorang warga menyalakan lilin saat menggelar renungan untuk Angeline di depan Unit Forensik RSUP Sanglah, Kota Denpasar, Bali, Minggu (14/6/2015). Renungan tersebut dilakukan untuk mendoakan Angeline, anak korban kekerasan dan pembunuhan di Sanu,r dan menolak tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
”Aku mendapat bunga hari ini, padahal hari ini bukanlah hari Ibu atau hari istimewa lain.
Semalam dia memukulku lagi, lebih keras dibanding yang dulu-dulu.
Aku takut padanya tetapi aku takut meninggalkannya.
Aku tidak punya uang, lalu bagaimana aku menghidupi anak-anakku?
Tapi, aku tahu dia menyesali perbuatannya, karena hari ini dia mengirimi aku bunga lagi.”
Penggalan puisi anonim itu tepat menggambarkan pola khas kekerasan terhadap perempuan. Siklus kekerasan terhadap perempuan masih terus terulang hingga kini.
Belum lama berselang, kasus kekerasan menimpa EY (27) di rumah kontrakannya di Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat. EY mengalami luka bakar di wajah, bahu, dan lengan karena disiram minyak panas oleh suaminya, DI (33), saat tengah tertidur (Kompas, 11/11/2020).
Di awal bulan ini, sepasang suami istri di Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Sumbar, meninggal seusai cekcok soal anak. Sang suami bernama Yusrial (47) sebelumnya membunuh istri sirinya, Suriantina (40), dan kemudian bunuh diri (Kompas, 2/11/2020).
Kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam lingkup rumah tangga, cenderung kian meningkat sejak masa pandemi Covid-19.
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta juga mencatat fenomena yang sama. Lembaga yang bertempat di Jakarta itu mendapat 710 laporan kekerasan pada perempuan dalam kurun waktu sembilan bulan, sejak 16 Maret 2020 hingga bulan November 2020.
Artinya, hampir mencapai 80 pengaduan kasus setiap bulannya. Atau, setiap harinya ada 3 kasus kekerasan pada perempuan yang dilaporkan. Pengaduan tersebut diterima melalui hotline dan e-mail dari wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Sepertiga dari 710 kasus yang dilaporkan berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Baca juga: Layanan Terpadu bagi Pemulihan Korban Masih Terbatas
Pola khas kekerasan
Peristiwa yang dialami EY dan Suriantina agaknya tepat menunjukkan kecenderungan menguatnya pola khas kekerasan perempuan dalam lingkup rumah tangga sejak pandemi Covid-19.
Kedua perempuan tersebut sebelumnya sudah berulang kali berkonflik dengan suami dan mendapatkan perlakuan kekerasan. Dalam siaran pers Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Juni 2020, siklus kekerasan menjadi hambatan yang cukup rumit dalam proses penanganan kasus KDRT.
Siklus ini merupakan sebuah pola khas kekerasan. Siklus itu dimulai dari fase ketika kekerasan terjadi, pasangan meminta maaf, kemudian fase bulan madu atau periode tenang. Selanjutnya terjadi lagi ketegangan konflik dan kembali ke fase terjadinya kekerasan.
Gejala kekerasan perempuan dan pola khasnya semakin kentara sejak pandemi Covid-19. Data termutakhir Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) di bawah naungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan, dua bulan pasca-Covid-19 masuk ke Indonesia, terdapat 173 kasus kekerasan pada perempuan dewasa (≥18 tahun).
Sampai dengan bulan ini, terdapat 10.401 perempuan yang menjadi korban kekerasan. Korban tersebut tersebar di 34 provinsi dengan mayoritas korban berada di Pulau Jawa.
Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah korban tertinggi. Menurut catatan, lebih dari separuh kasus yang dilaporkan berupa KDRT.

Baca juga: Banyak Kasus Kekerasan Perempuan Terhenti Setelah Dilaporkan
Masih terkait hal ini, penelitian dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan terhadap perubahan dinamika rumah tangga di tengah pandemi juga menunjukkan bukti tersebut.
Komnas Perempuan melakukan survei daring secara terbuka yang menyasar 2.285 resonden di 34 provinsi. Hasil survei ini menunjukkan, sebanyak 80 persen responden perempuan mengaku ada kecenderungan peningkatan kekerasan yang mereka alami selama dua bulan Covid-19 masuk ke Indonesia.
Mereka pun mengatakan, beban pekerjaan rumah tangga juga semakin tinggi. Mencuci, memasak, membersihkan rumah, bekerja dari rumah, dan tak sedikit yang menjadi guru sementara bagi anak.
Jumlah perempuan yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan durasi lebih dari tiga jam berjumlah dua kali lipat daripada responden yang laki-laki. Secara khusus, mereka adalah perempuan pada kelompok penghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan.
Hal ini mengindikasikan pengaruh tekanan ekonomi pada potensi KDRT. Tahun 2016, Komnas Perempuan melakukan survei terkait pengalaman hidup perempuan di Indonesia berkaitan dengan kasus kekerasan.
Menurut survei tersebut, setidaknya ada empat faktor penyebab terjadinya KDRT. Satu dari empat faktor tersebut adalah faktor ekonomi. Perempuan yang berasal dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan.

Faktor lain penyebab KDRT adalah individu perempuan. Perempuan yang sering bertengkar atau memiliki kecenderungan lebih dulu menyerang pasangan berisiko mengalami kekerasan. Faktor pasangan juga menentukan.
Kekerasan yang dialami perempuan pun beragam jenisnya. Kekerasan fisik seperti menampar, menendang, mendorong, atau cengkeraman tangan. Berikutnya kekerasan ekonomi yang dapat berupa permintaan pasangan agar perempuan mencukupi segala kebutuhan hidupnya.
Rupanya, hasil penelitian tersebut masih relevan, bahkan semakin relevan di saat pandemi seperti ini. Kasus yang menimpa EY di Kota Padang mewakili gambaran kekerasan dengan latar belakang ekonomi.
Kekerasan terjadi karena kecemburuan suaminya melihat kebiasaan EY bermain Tiktok. Faktanya, EY bermain Tiktok untuk mempromosikan dagangan pakaian, membantu suaminya yang kesulitan menjual ikan laut akibat pandemi.
Adapun kasus kekerasan berujung kematian yang menimpa Suriantina terkait dengan faktor individu perempuan dan status pernikahannya. Suriantina sebagai istri siri sebelumnya menolak keinginan Yusrial untuk menitipkan anak laki-laki dari pernikahan dengan istri pertamanya.

Memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Gerakan Perempuan Anti Kekerasan (GAPRAK) berunjuk rasa di Jalan Darmo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (27/11/2011).
Menahun
Ranah personal dinilai menjadi ranah rawan bagi tumbuhnya kekerasan pada perempuan. Ranah tersebut memiliki kecenderungan antara lain memunculkan KDRT.
Hal tersebut tergambar dari Catatan Tahunan (Catahu) tentang kekerasan terhadap perempuan. Dalam publlikasi Catahu 2020, sepertiga dari total kekerasan pada perempuan terjadi dalam ranah privat.
Salah satu bentuk kekerasan tersebut adalah KDRT. Sementara, ranah komunitas hanya seperempat dari keseluruhan kasus.
Proporsi tersebut meningkat dari tahun sebelumnya. Tahun 2018, meski mendominasi, kekerasan dalam ranah personal/KDRT masih sebesar 71 persen. Ranah personal secara konsisten menempati proporsi tertinggi kekerasan pada perempuan yang dilaporkan setidaknya enam tahun terakhir.
Meningkatnya kekerasan ranah personal/KDRT yang dialami perempuan beriringan dengan meningkatnya pula kekerasan pada perempuan secara keseluruhan dari tahun ke tahun.
Menurut publikasi Catahu yang merangkum laporan lembaga pemerintah, swasta, hingga swadaya masyarakat tersebut, jumlah kekerasan terhadap perempuan memiliki tren yang cenderung meningkat.
Kecenderungan peningkatan kasus kekerasan perempuan berlangsung sepanjang satu dekade terakhir. Tahun 2019, terdapat 431.471 perempuan sebagai korban kekerasan. Jumlah tersebut meningkat 6,2 persen dari tahun sebelumnya.
Jika ditarik lebih jauh ke belakang, kekerasan pada perempuan telah meningkat empat kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Tahun 2010, jumlah perempuan sebagai korban kekerasan sebanyak 105.103 orang. Kasus kekerasan perempuan ini pun tak berbeda dengan fenomena gunung es. Banyak kasus yang sebenarnya tidak dilaporkan.

Baca juga: Memburuk, Situasi KDRT yang Dialami Perempuan di Dunia
Tumpuan ekonomi
Situasi kekerasan yang dialami banyak perempuan sejak masa pandemi menjadi kian ironis ketika mereka juga semakin terlibat atau bahkan menjadi tumpuan ekonomi keluarga.
Survei angkatan kerja nasional (Sakernas) periode Agustus 2020 menunjukkan, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan meningkat di saat TPAK laki-laki justru mengalami penurunan.
TPAK perempuan meningkat 1,32 poin persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, 51,81 persen. Kini, angka tersebut menjadi 53,13 persen.
Sementara, TPAK laki-laki menurun 0,84 poin persen dari 83,25 persen menjadi 82,41 persen. Bahkan, peningkatan TPAK pada perempuan hampir enam kali lipat dari peningkatan TPAK secara total, yakni 0,24 poin persen.

Survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut secara tidak langsung menunjukkan, semakin banyak perempuan yang tadinya tidak bekerja dan bukan angkatan kerja kini masuk ke dunia kerja.
Bagaimana tidak, mereka boleh jadi terpaksa bekerja dan mencari kerja karena pandemi Covid membuat ekonomi rumah tangga terjepit. Bencana nonalam yang melumpuhkan seluruh sendi perekonomian tersebut berujung pada meningkatnya jumlah pengangguran.
Masih merujuk survei yang sama, jumlah pengangguran karena Covid-19 sebanyak 2,56 juta orang. Kini, total pengangguran periode Agustus tahun ini menjadi 9,77 juta orang, meningkat 37,61 persen dibandingkan Agustus tahun lalu.
Secara keseluruhan, pekerja laki-laki terdampak pandemi jauh lebih banyak daripada pekerja perempuan yang terdampak. Sekitar 18,03 juta pekerja laki-laki terdampak pandemi, mulai dari berkurangnya jam kerja, dirumahkan sementara, hingga kehilangan pekerjaan. Sementara, pekerja perempuan terdampak pandemi sebanyak 11,09 juta orang.
Semua paparan data dan fakta menunjukkan, banyak perempuan dalam status perkawinan kini berhadapan dengan lingkaran ancaman Covid-19, serta siklus bunga, dan KDRT. Dunia merayakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2020 dalam tiga situasi ini.
Semoga akhir dari pandemi yang belum pasti tak lagi memunculkan kisah Suriantini lainnya. Sebuah narasi akhir hidup tragis, sama menyedihkan dengan penggalan akhir puisi anonim yang mengawali cerita Suriantini:
”Ada bunga untukku hari ini.
Hari ini adalah hari istimewa: hari pemakamanku.
Ia menganiayaku sampai mati semalam.
Kalau saja aku punya cukup keberanian dan kekuatan untuk meninggalkannya,
aku tidak akan mendapat bunga lagi hari ini.”
(LITBANG KOMPAS)