Kekerasan seksual atau fisik terhadap perempuan dan anak perempuan meningkat dibandingkan dengan masa sebelum pandemi Covid-19.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·5 menit baca
Dalam masa pandemi Covid-19, terjadinya kekerasan secara fisik dan verbal terhadap perempuan di ruang publik meningkat. Diperlukan dukungan penataan ruang perkotaan berbasis jender untuk menyediakan lingkungan yang aman bagi perempuan untuk beraktivitas.
Laurence Gillois, Deputy Director UN Women Brussels Office, menyebutkan, kekerasan seksual atau fisik terhadap perempuan dan anak perempuan meningkat dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19. Di tingkat global, sebanyak 243 juta perempuan dan anak perempuan mengalami kekerasan di dalam ataupun di luar rumah/keluarga. Dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dipicu situasi yang buruk dalam hal keamanan, kesehatan, dan kemerosotan ekonomi keluarga.
Di luar rumah, perempuan juga mengalami kekerasan, bahkan pada saat siang hari. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan menyebutkan, ada sejumlah laporan dari perempuan pekerja yang mengalami kekerasan seksual saat berjalan kaki ataupun bersepeda menuju tempat kerja. Mereka melakukan itu untuk menghindari penggunaan transportasi publik sebagai upaya mencegah penularan Covid-19.
Penelitian berjudul Feeling Unsafe in Public Places: Understanding Women’s Fears menyebutkan, sejumlah perempuan takut bepergian sendirian, melewati jalur atau rute tertentu, atau melewati tempat-tempat sepi. Mereka sering mengajak orang lain untuk menemani, atau memilih jalur-jalur yang relatif lebih aman dan ramai.
Disebutkan juga bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi di rute-rute yang sering dilalui orang pada umumnya. Berdasarkan waktu, tindakan tersebut tidak hanya terjadi pada malam hari, mayoritas terjadi saat siang hari.
Penelitian lain berjudul Fear of Crime in Public Spaces: From the View of Women Living in Cities. Sejumlah responden perempuan menyatakan takut berada di area publik, seperti jalan raya, karena sepi dan gelap. Mereka juga takut berada di area komersial yang tutup saat malam hari, serta jalur transportasi seperti stasiun ataupun halte bus saat malam hari. Para perempuan terpaksa menghindari lokasi-lokasi tersebut, padahal memerlukannya.
Di Indonesia, Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 mendata hal tersebut dalam survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik. Dari survei tersebut, ditemukan 64 persen dari 38.776 responden perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Mereka, antara lain, pernah mengalami kekerasan seksual berupa siulan, kerlingan mata, disentuh, dikomentari atas tubuhnya, dan kalimat seksis.
Tindakan tidak menyenangkan itu dialami tanpa mengenal waktu. Artinya, tindakan tidak menyenangkan tersebut terjadi saat pagi, siang, sore, dan malam hari. Jalanan umum, transportasi umum, permukiman, sekolah, dan pasar menjadi lokasi aksi pelaku pelecehan seksual.
Karena terjadi di ruang publik, peran perencana kota dibutuhkan untuk merancang kota yang aman bagi warganya termasuk perempuan. Ketakutan akan terjadinya kekerasan terhadap perempuan di ruang publik menyebabkan perempuan kehilangan kebebasan untuk bermobilitas, mengakses layanan, dan mencari penghidupan.
Ketakutan akan tindak kriminal ataupun pelecehan seksual sama-sama berdampak terhadap sikap dan perilaku perempuan sehari-hari. Dalam kehidupan perkotaan, hal ini berwujud pada perilaku perempuan ketika bermobilitas dan beraktivitas di ruang-ruang publik.
Ramah perempuan
Merespons hal itu, seharusnya ruang publik dirancang dengan mempertimbangkan perspektif keamanan untuk perempuan. Selama ini, penataan kota dirancang berdasarkan dominasi kebutuhan laki-laki.
Menurut Caroline Criado-Perez dalam bukunya, Invisible Women (2019), salah satu penyebabnya ialah data dan informasi secara umum mengarah pada laki-laki, sementara keberadaan perempuan sering kali terabaikan. Padahal, perempuan dan laki-laki memiliki perspektif, kebutuhan, dan pola perilaku yang berbeda dalam beraktivitas sehari-hari, termasuk di ruang publik.
Rasa takut dan perilaku perempuan di ruang publik yang berbeda dengan laki-laki seharusnya bisa dijadikan dasar untuk menciptakan kota yang lebih aman dan ramah jender. Namun, hal itu sering kali terlewatkan dalam penataan lingkungan dan perkotaan.
Sebagai contoh, sistem transit transportasi di Amerika Serikat kurang memperhatikan keamanan perempuan penumpang. Umumnya, mereka memiliki kamera pemantau (CCTV) dan alarm bahaya, tetapi tidak terpasang di halte bus.
Kondisi ini tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan yang merasa takut saat menunggu bus pada malam hari dibandingkan berada di dalam bus itu sendiri. Mereka juga menginginkan adanya penjaga dibandingkan CCTV. Selain itu, penerangan di halte bus dan rute bus juga kurang diperhatikan, padahal perempuan lebih merasa tenang berada di tempat yang terang.
Selain sektor transportasi, penyediaan fasilitas umum dan toilet pribadi bagi perempuan menjadi contoh pengabaian kebutuhan mereka di perkotaan. Dalam buku yang sama disebutkan bahwa di Mumbai, India, lebih dari separuh dari lima juta perempuan tidak memiliki toilet dalam ruangan.
Berdasarkan data 2014, kota ini memiliki 3.536 toilet umum bagi laki-laki dan perempuan, tetapi tidak satu pun toilet khusus yang disediakan hanya untuk perempuan.
Survei pada 2015 menyebutkan bahwa 12,5 persen perempuan di wilayah kumuh di Mumbai terpaksa membuang hajat saat malam hari di toilet komunal yang berjarak sekitar 58 meter dari rumah. Padahal, risiko pelecehan seksual sangat besar saat mereka harus berjalan ke toilet komunal pada malam hari.
Perspektif perempuan
Seiring dengan kampanye kesetaraan jender dan anti-kekerasan terhadap perempuan yang semakin marak dipublikasikan, beberapa program berhasil mengakomodasi kepentingan perempuan dalam kehidupan perkotaan.
PBB mencetuskan program Kota Aman dan Ruang Publik Aman yang dibangun pada 2010. Hingga saat ini, program tersebut masih berjalan dengan mencakup inisiatif kebijakan dan hukum, perlindungan perempuan di ruang publik dan sektor ekonomi, hingga transformasi norma sosial dan jender.
Inisiatif perlindungan terhadap perempuan di ruang publik juga dilakukan oleh komunitas masyarakat dan organisasi sosial. Mereka, antara lain, organisasi sosial Safetipin yang bekerja untuk mewujudkan ruang publik yang aman dan inklusif untuk perempuan. Safetipin menyediakan aplikasi yang memberikan pilihan rute perjalanan aman bagi perempuan berbasis penilaian pencahayaan, visibilitas, kepadatan orang, keragaman jender, keamanan, dan transportasi.
Tanggal 25 November ditetapkan sebagai Hari Eliminasi Kekerasan terhadap Perempuan Internasional. Kiranya menjadi semangat kita untuk mewujudkan lingkungan tempat tinggal, pekerjaan, dan ruang publik yang ramah serta inklusif untuk perempuan.