Guru Honorer, Pahlawan Nyata Tanpa Tanda Jasa
Julukan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa nyata terjadi pada guru honorer yang kehidupannya makin terpuruk saat pandemi.
Nasib guru honorer kian terpuruk pada masa pandemi ini. Tak hanya penghasilan yang tertunda dan berkurang, tetapi juga terancam kehilangan pekerjaan. Bantuan subsidi upah (BSU) menjadi secercah harapan bagi pahlawan tanpa tanda jasa ini meski belum menyelesaikan persoalan mereka seluruhnya.
Kisah guru honorer di Indonesia menjadi catatan tersendiri di dunia pendidikan yang tak kunjung berakhir. Persoalan gaji yang cukup rendah dan tidak sebanding dengan kinerjanya sudah biasa terdengar. Belum lagi soal pengangkatannya menjadi guru tetap PNS ataupun di sekolah swasta yang juga menimbulkan kontroversi.
Ada pula kisah guru honorer yang bisa sewaktu-waktu diberhentikan oleh sekolah dan terkadang tidak mendapat pesangon. Dan, sudah menjadi rahasia umum jika guru tidak tetap ini kerap dianggap sebagai tenaga sukarela yang bisa sewaktu-waktu menggantikan posisi guru PNS/tetap yang berhalangan hadir.
Cerita guru honorer ini terus berlanjut hingga masa pandemi datang. Wabah Covid-19 yang diikuti dengan pembatasan sosial selama tiga bulan memberi efek berantai pada dunia pendidikan.
Aktivitas sekolah yang berubah menjadi sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan sistem daring membuat jam kerja guru honorer dikurangi. Hal ini berpengaruh pada penghasilan guru honorer yang dihitung per jam.
Penghasilan orangtua yang berkurang atau orangtua yang kehilangan pekerjaan juga berdampak pada guru tidak tetap ini. Beberapa siswa terlambat membayar uang SPP. Hal ini membuat gaji guru honorer yang bersumber dari uang SPP ikut tertunda.
Mayoritas (80 persen) responden jajak pendapat Kompas pada10-12 November lalu juga memberikan pendapat yang sama. Pandemi cukup memengaruhi kondisi keuangan para guru tidak tetap tersebut. Hampir 95 persen responden guru/dosen juga menyatakan, pandemi cukup berdampak pada kehidupan kesehariannya.
Baca juga : ”Sistem Ekonomi Syukur” Guru Honorer
Pembayaran tertunda
Pembayaran gaji tertunda disebut oleh 44 persen responden disebut sebagai faktor yang menyebabkan kesejahteraan guru honorer menurun. Gaji guru yang tertunda ini banyak dialami oleh guru honorer yang gajinya dibayarkan oleh sekolah tempat mereka mengabdi. Sumber pembiayaan gaji guru kategori 2 tersebut berasal dari dana bantuan operasional sekolah (BOS).
Sebelum pandemi saja, penerimaan dana BOS oleh sekolah sering tertunda dan dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Saat pandemi, dana BOS juga kembali tertunda. Selain itu, dana BOS digunakan pula untuk keperluan penanganan Covid-19.
Tonisius Imung (38), guru SDN 01 Kecamatan Air Upas, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang dihubungi lewat telepon menceritakan, gajinya kerap tertunda sebelum pandemi. Bahkan, saat pandemi, dia hampir tidak digaji karena selama tiga bulan sekolahnya sama sekali tidak ada kegiatan belajar-mengajar tatap muka di sekolahnya. Beruntung, dengan kesepakatan guru-guru lain, akhirnya sekolah memberikan gaji Toni sebesar Rp 515.000 per bulan.
Hal yang dikeluhkan Toni sesuai dengan hasil penelitian ”Pendidikan Dasar di Pelosok Indonesia: Hasil Survei di Kalimantan Barat dan NTT” (World Bank, 2019). Penelitian tersebut menyebutkan, 54 persen responden guru di Ketapang mengeluhkan pembayaran gaji yang tidak teratur.
Kemudian, berdasarkan penelitian yang sama, dari 186 responden guru non-PNS di Ketapang, hanya 66 persen guru non-PNS yang menerima tunjangan rata-rata sebesar Rp 300.000. Sisanya, termasuk Toni, tidak pernah menerima tunjangan itu, padahal sudah mempunyai nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK).
Baca juga : Status Tak Jelas Rugikan Guru Honorer
Kuota Internet
Masalah lain muncul dari meningkatnya penggunaan kuota internet untuk keperluan pembelajaran daring. Hal tersebut diungkapkan oleh hampir seperempat responden.
Sebenarnya untuk mengatasi persoalan tambahan biaya kuota ini, pemerintah sudah memberikan bantuan kuota melalui dana BOS. Namun, hal tersebut hanya berlaku bagi guru honorer di sekolah negeri.
Berbeda halnya dengan Heri Kustanto (34), guru MTs Al-Fatah di Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, yang telah menjadi guru honorer di sekolah swasta selama 13 tahun. Heri mengatakan, guru di bawah Kementerian Agama tidak mendapat bantuan kuota internet.
Padahal, biaya kuota internet untuk mengajar daring meningkat tiga kali lipat dari biasanya menjadi sekitar Rp 150.000. Peningkatan pemakaian kuota internet tersebut menambah pengeluarannya per bulan. Sementara honor yang diterimanya per bulan hanya Rp 350.000.
Di atas kertas, tentu sulit bagi Heri dengan dua anak dan istri yang tidak bekerja untuk hidup hanya dengan mengandalkan sisa gaji sekitar Rp 200.000. Akhirnya, sebagai sampingan, Heri bekerja sebagai petugas inseminasi buatan ternak yang dibayar Rp 50.000 tiap sekali proses inseminasi. Terkadang dia juga menjadi penyurvei jika ada proyek penelitian di kawasan Madiun. Namun, pada masa pandemi ini sama sekali tidak ada kegiatan survei yang bisa dia ikuti.
Selain dua hal tersebut, sebagian kecil reponden lain (6 persen) juga berpendapat, pembayaran tunjangan hari raya (THR) Lebaran lalu yang tertunda juga berdampak pada penghasilan guru. Bagi sekolah swasta, hal ini sangat mungkin terjadi karena THR bergantung pada kemampuan orangtua siswa membayar uang sekolah.
Sementara itu, sebagian orangtua murid mungkin saja terlambat membayar uang sekolah. Dalam kondisi pandemi saat ini, sejumlah orangtua murid juga terkena dampak pandemi karena kehilangan pekerjaan ataupun penurunan penghasilan.
Dalam kondisi pandemi ini, guru honorer, khususnya di sekolah swasta, juga kian terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) karena jumlah siswa yang berkurang. Kalaupun tidak, honor yang mereka terima berpotensi berkurang seiring dengan jam mengajar yang berkurang.
Baca juga : Problematika Guru Honorer
Subsidi
Setelah Heri, Toni, dan guru-guru honorer lain di Indonesia berjibaku untuk bisa mempertahankan hidup, harapan cerah datang dari pemerintah. Kemendikbud mulai menyalurkan bantuan subsidi upah (BSU) pada 2.034.732 pendidik dan tenaga kependidikan berstatus non-pegawai negeri sipil. Total anggaran yang telah disediakan sebanyak Rp 3,6 triliun yang disalurkan bertahap hingga akhir November 2020.
Bantuan tersebut juga ditujukan kepada 1,6 juta guru honorer di sekolah negeri dan swasta. Masing-masing akan menerima BSU sebesar Rp 1,8 juta, yang akan diberikan sekaligus.
BSU tersebut menimbulkan berbagai tanggapan dalam jajak pendapat Kompas, mulai dari ungkapan syukur, kekhawatiran, hingga kekecewaan.
Sepertiga responden menyatakan tidak setuju jika dana BSU diambilkan dari sisa anggaran bantuan upah buruh. Hal yang sama juga disebutkan oleh sekitar sepertiga responden guru.
Pendapat tersebut didasari adanya anggapan bahwa selama ini peran tenaga pendidik dikesampingkan. Pemerintah seolah-olah melupakan guru yang selama ini telah bekerja keras mengajar murid selama pandemi.
Padahal, pemerintah telah mengeluarkan berbagai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada masa pandemi, di antaranya Program Keluarga Harapan, Kartu Prakerja, subsidi gaji, dan bantuan untuk UMKM. Berbagai program yang diluncurkan sejak Mei hingga Oktober lalu tersebut sama sekali belum menyentuh kesejahteraan para guru.
Heri, meskipun merasa bersyukur akan mendapat BSU, merasa kecewa dengan keterlambatan pemberian subsidi tersebut. ”Kenapa para guru tidak diutamakan, kenapa tidak dianggarkan di awal,” katanya saat dihubungi lewat telepon minggu lalu. Heri menambahkan, itu sebenarnya adalah dana sisa bantuan untuk UMKM dan bantuan langsung tunai. Selain itu, menjelang akhir tahun, ada kewajiban untuk menghabiskan anggaran.
Di sisi lain, ada bagian kecil responden yang tidak setuju jika sisa anggaran bantuan upah buruh dipergunakan sebagai dana bantuan bagi guru honorer. Alasannya, khawatir jika jumlah dana sisa tersebut tidak cukup atau dengan kata lain tidak sebanding dengan jumlah guru honorer di Indonesia.
Meski ada ungkapan kekecewaan, masih ada sekitar seperempat responden yang mensyukuri adanya pemberian bantuan tersebut. Alasannya, guru honorer memang membutuhkan bantuan dan menjadi bagian dari masyarakat kecil.
Namun, beberapa hari setelah kebijakan BSU tersebut diumumkan, ada nada pesimisme dari masyarakat. Mengutip dari media sosial Twitter per 18 November, banyak warga mengeluhkan, laman Info.gtk tidak bisa diakses. Laman tersebut merupakan laman pengecekan guru penerima bantuan. Hal tersebut akhirnya memunculkan anggapan bahwa keberadaan dana bantuan tersebut tidak nyata.
Pesimisme tersebut wajar muncul. Setelah sembilan bulan pandemi, baru giliran tenaga pendidik non-PNS yang mendapatkan bantuan pemerintah. Sementara menunggu, solidaritas antargurulah yang menyelamatkan kehidupan guru honorer.
Meski demikian, Heri dan Toni tetap bersyukur ada BSU tersebut. Mereka tetap bersemangat untuk tetap mencerdaskan kehidupan bangsa meski dengan honor yang cukup minim. Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa yang nyata terjadi pada nasib guru honorer. (LITBANG KOMPAS)