Paradoks Tabungan dan Ketimpangan
Mengurangi konsumsi dan menimbun tabungan menghambat permintaan akan barang serta jasa. Total produksi barang dan jasa akan menyusut, pendapatan perusahaan serta masyarakat ikut menurun.
”Menabung adalah sebuah paradoks karena sejak taman kanak-kanak kita semua diajari bahwa penghematan selalu menjadi hal baik.” — Paul A Samuelson
Sejak pandemi Covid-19, resesi ekonomi semakin mengkhawatirkan karena perlambatan konsumsi diikuti tabungan yang menumpuk. Kondisi demikian bisa memperparah ketimpangan dan memperlambat pemulihan ekonomi.
Samuelson, pemenang hadiah Nobel Ekonomi tahun 1970, mengingatkan kembali sebuah hipotesis atas peristiwa ekonomi besar yang pernah terjadi sekitar sembilan dekade ke belakang. Sejarah mencatat bahwa fenomena tabungan yang menumpuk pernah terjadi di tengah kelesuan ekonomi global.
Pada masa depresi besar tahun 1930-an, banyak orang dihinggapi kekhawatiran akan kemunduran ekonomi dan lonjakan pengangguran. Masyarakat kemudian menyikapinya dengan menambah tabungan pribadi dan memangkas pengeluaran.
Namun, mengurangi konsumsi dan menimbun tabungan juga menghambat permintaan akan barang dan jasa. Total produksi barang dan jasa akan menyusut, pendapatan perusahaan dan masyarakat ikut menurun.
Situasi itu memaksa perusahaan melakukan efisiensi, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan akhirnya justru memperburuk perekonomian. Dalam kerangka itulah, John Maynard Keynes, salah seorang peletak dasar teori ekonomi makro, memunculkan istilah paradoks tabungan. Teori ini dimunculkan Keynes pertama kali dalam publikasi ”The General Theory of Employment, Interest, and Money” tahun 1936.
Paradoks tabungan
Kondisi ”aktivitas subnormal” menyikapi resesi atau depresi ekonomi, menurut Keynes, terjadi karena terlalu banyak tabungan dan terlalu sedikit konsumsi. Kini, paradoks tabungan juga menggejala sejak pandemi Covid-19.
Pengeluaran masyarakat berkurang drastis sejak pandemi Covid-19. Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi minus 5,52 persen di triwulan II-2020 dan pada triwulan III-2020 minus 4,04 persen.
Menyusutnya konsumsi berimbas pada penyusutan skala industri dan perdagangan. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi triwulanan II dan III-2020 juga tercatat minus, yang menandakan perekonomian Indonesia memasuki resesi.
Gejala paradoks tabungan juga tecermin dari profil tabungan dan pinjaman. Simpanan individu di perbankan meningkat berdasarkan data Bank Indonesia (BI). Masyarakat pun membatasi utang sehingga kredit konsumsi menyusut.
Pada Januari 2020, kredit konsumsi individu di perbankan tercatat Rp 2.574 triliun. Nilainya setara 78 persen dari total tabungan individu lebih kurang Rp 3.301 triliun.
Sementara itu, total kredit konsumsi perorangan yang dikucurkan bank pada September 2020 hanya setara 72 persen dari total simpanan. Tabungan perorangan di sektor perbankan per September 2020 mencapai sekitar Rp 3.562 triliun, sedangkan pinjaman konsumsi hanya Rp 2.573 triliun.
Hingga September 2020, nominal tabungan dengan kategori di atas Rp 5 miliar mencapai 49 persen dari total akumulasi nominal tabungan di perbankan senilai Rp 6.721 triliun. Sementara itu, total jumlah rekening tabungan di atas Rp 5 miliar hanya 0,03 persen dari total sekitar 336 juta rekening.
Efek kekhawatiran
Kecenderungan menumpuknya tabungan dan menyusutnya konsumsi tidak lepas dari kekhawatiran masyarakat melihat kondisi perekonomian serta pengangguran. Hasil survei BI mengenai keyakinan konsumen per Oktober 2020 menunjukkan hal tersebut.
Survei BI mengenai keyakinan konsumen terhadap penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja berdasarkan kelompok pengeluaran dapat dikombinasikan dengan pembagian kelas ekonomi dari Boston Consulting Group.
Baca juga: Resesi dan Pembalikan Ekonomi
Kelompok pengeluaran terbawah disebut calon kelas menengah. Kelompok masyarakat ini berada pada rentang pengeluaran rata-rata Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan.
Kategori kelompok berikutnya menunjukkan tingkat pengeluaran yang semakin tinggi. Mereka merupakan masyarakat di kelompok kelas menengah, kemudian menengah-atas, dan tertinggi adalah kelompok makmur-elite.
Dalam aspek ketersediaan lapangan kerja, dua kelas ekonomi teratas (menengah-atas dan makmur-elite) lebih pesimistis melihat ketersediaan lapangan kerja enam bulan ke depan. Hal ini ditunjukkan dari nilai indeks kelompok menengah-atas di rentang 98 dan 100,6 serta kelompok makmur-elite sebesar 98. Pesimisme akan tersedianya lapangan kerja saat ini juga tecermin di semua kelompok ekonomi yang ditunjukkan oleh angka indeks di bawah 100.
Gambaran kekhawatiran itu sejalan dengan data ketenagakerjaan dari BPS sepanjang Agustus 2019-Agustus 2020. Populasi buruh, karyawan, dan pegawai menurun 4,59 persen di periode tersebut. Tidak semua pekerja formal juga bekerja penuh. Hanya sekitar 64 persen pekerja formal yang bekerja dengan mencapai 35 jam per minggu.
Gambaran lapangan kerja yang mengkhawatirkan juga terlihat dari besarnya populasi pekerja informal sepanjang Agustus 2019-Agustus 2020. Proporsi pekerja informal mencapai 60 persen, sedangkan pekerja formal hanya 40 persen.
Pekerja informal yang paling banyak ialah pekerja keluarga yang tidak dibayar. Maka, tidak mengherankan jika masyarakat di berbagai kelas ekonomi pesimistis melihat kondisi penghasilan mereka saat ini (ditunjukkan dengan nilai indeks di bawah 100).
Ketimpangan melebar
Efek kekhawatiran yang memicu paradoks tabungan dapat memperberat pemulihan ekonomi dan memperlebar ketimpangan. Sejauh ini, BPS belum mengeluarkan data termutakhir tentang indeks Gini yang menjadi ukuran ketimpangan ekonomi. Namun, kesenjangan ekonomi sudah memperlihatkan gejala melebar sejak masa awal pandemi Covid-19.
Indeks Gini tercatat 0,393 di kawasan perkotaan dan 0,317 di perdesaan merujuk data BPS Maret 2020. Indeks Gini itu meningkat dibandingkan pada September 2019, yakni sebesar 0,391 untuk kawasan perkotaan dan di kawasan perdesaan 0,315.
Baca juga: Menjembatani Sektor Keuangan dan Sektor Riil
Angka koefisien Gini berkisar antara nol untuk kondisi ekstrem merata dan satu untuk kondisi ketimpangan yang ekstrem. Semakin besar angka indeks Gini, ketimpangan semakin tinggi.
Data BPS menunjukkan adanya peningkatan indeks Gini di sebagian besar provinsi. Tercatat 13 dari total 34 provinsi mengalami penurunan indeks Gini.
Tanpa upaya-upaya berbagai pihak untuk secara sadar mengalokasikan tabungan untuk berkonsumsi, gejala paradoks tabungan di masa resesi akibat pandemi Covid-19 akan menjadi keniscayaan yang tak terhindarkan di masa depan.
(LITBANG KOMPAS)