Tantangan Transparansi Pelaporan Sumbangan Dana Kampanye
Transparansi laporan sumbangan dana kampanye dalam pilkada cenderung belum optimal. Besarnya dana sumbangan kerap kali tidak menggambarkan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pasangan calon saat kampanye.
Oleh
Eren Marsyukrilla
·5 menit baca
Penyampaian laporan sumbangan dana kampanye sebagai upaya mewujudkan proses pilkada yang transparan belum berjalan optimal. Rendahnya kedisiplinan para kandidat hingga ketidakwajaran besaran dana yang dilaporkan menjadi persoalan yang masih jamak ditemui.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 11 November 2020, masih terdapat setidaknya 35 pasangan calon kepala daerah yang besaran Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK)-nya senilai nol rupiah. Dua paslon yang belum melaporkan dana sumbangan kampanye itu merupakan kandidat dalam pemilihan gubernur dan selebihnya para paslon untuk pilkada tingkat kabupaten dan kota.
Pelaporan dana kampanye wajib dilakukan oleh para calon kepala daerah sebagai bentuk tanggung jawab dalam mewujudkan proses pemilihan kepala daerah yang transparan. Kewajiban untuk melaporkan dana kampanye tersebut tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 12 Tahun 2020 Pasal 20 yang menjelaskan bahwa paslon wajib menyusun dan menyampaikan laporan dana kampanye yang terdiri dari Laporan Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), serta Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Selain ketidakdisplinan dalam melakukan pelaporan, sejumlah LPSDK para calon kepala daerah dianggap begitu tak wajar dengan nilai dana yang begitu kecil, jauh di bawah rata-rata dana berkampanye. Dalam LPSDK yang dihimpun oleh Komisi Pemilihan Umum, tercatat sejumlah paslon memiliki besaran dana sumbangan kampanye di bawah Rp 100 juta.
Dari keseluruhan pelaporan dana yang masuk, rata-rata nilai LPSDK yang disampaikan oleh calon gubernur dan wakil gubernur mencapai lebih dari Rp 1,4 miliar. Sementara rata-rata nilai sumbangan dana kampanye pilkada tingkat kabupaten Rp 492 juta dan Rp 608 juta di rumpun pemilihan wali kota dan wakil wali kota.
Tak kurang dari 247 paslon bupati dan wakil bupati yang telah melaporkan dana sumbangan kampanye, lebih dari 108 paslon tersebut mencatatkan laporan dana tak lebih dari Rp 100 juta. Hal yang sama terjadi pada pelaporan dana sumbangan kampanye oleh 75 calon wali kota dan wakil wali kota.
Secara perkiraan kasar saja, mustahil sekiranya dengan jumlah dana kecil tersebut dapat membiayai semua aktivitas politik selama masa kampanye. Nilai sumbangan kampanye yang begitu kecil, di bawah Rp 100 juta, bertolak dengan kenyataan biaya mahal yang harus disiapkan oleh para kandidat untuk bisa mendapatkan tiket maju pemilihan.
Hasil survei yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri pada 2019 mengungkap bahwa setidaknya biaya yang diperlukan dalam pencalonan kepala daerah mencapai puluhan hingga ratusan miliar. Temuan itu merincikan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh seorang calon bupati atau wali kota rata-rata mencapai Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Sementara di pemilihan tingkat provinsi lebih besar lagi, biaya yang dikeluarkan kandidat cagub dapat mencapai Rp 100 miliar.
Melihat jumlah fantastis itu, tak mengherankan jika banyak pihak melihat banyak kejanggalan dalam pelaporan sumbangan dana kampanye oleh para paslon kepala daerah. Bahkan, jika dilihat lebih lanjut, dalam LPSDK tercatat jumlah total sumbangan dana kampanye tertinggi tak sampai menyentuh angka Rp 10 miliar.
LPSDK tertinggi yang tercatat dilaporkan senilai Rp 7,6 miliar milik pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Makassar Munafri Arifuddin-Abdulrahman Bando. Selisih sedikit dengan itu, satu paslon lain yang juga mencatatkan laporan sumbangan dana kampanye tertinggi adalah Drs Machfud Arifin SH dan Mujiaman yang maju untuk Pilwalkot Surabaya.
Besaran nilai pada LPSDK terkecil di luar yang tercatat nol rupiah, bahkan hanya berkisar di angka jutaan rupiah dan ratusan ribu rupiah. Pasangan calon bupati dan wakilnya dalam Pilkada Sijunjung, misalnya, mencatatkan dana kampanye pada LPSDK senilai Rp 505.000.
Komposisi sumbangan
Di samping pengawasan, transparansi pelaporan dana kampanye juga harus dipahami agar penyelenggaraan kontestasi pilkada dapat jauh dari kecurangan dan berjalan adil. Mahalnya biaya pencalonan yang harus dikeluarkan kerap kali membentuk lingkaran transaksional bagi elite-elite politik dan pengusaha di daerah untuk menyokong kekuatan memenangi pemilihan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan pernah mengemukakan temuan hasil kajian yang dilakukan bahwa sekitar 82 persen pencalonan kepala daerah didanai oleh pihak sponsor. Pola semacam ini sebetulnya menjadi awal dari banyaknya para kepala daerah terpilih yang pada akhirnya terjerat kasus korupsi.
Besarnya andil pihak sponsor dalam mengucurkan dana kepada calon kepala daerah terbaca dari komposisi asal sumbangan dana kampanye yang dilaporkan. Hasil olahan data dari Badan Pengawas Pemilu serta Sindikasi Pemilu dan Demokrasi mendapati, dari total Rp 27,6 miliar yang tercatat dalam LPSDK, tak kurang 54 persennya berasal dari pihak sponsor. Aliran dana terbesar selanjutnya berasal dari pasangan calon dengan sumbangsih mencapai 41,9 persen.
Pada pilkada tingkat kabupaten/kota, meski porsinya tak sebesar di tingkat provinsi, sumbangsih pihak sponsor dalam memenuhi kebutuhan dana kampanye ini mencapai 39,84 persen dari total dana senilai Rp 355 miliar yang dilaporan dalam LPSDK. Komposisi pendanaan tertinggi berasal dari para pasangan calon sendiri yang mencapai 57,4 persen atau lebih dari Rp 203,9 miliar.
Transaksi ”bawah tanah”
Di luar kewajiban melakukan pelaporan terkait pengelolaan dana kampanye, PKPU sebetulnya juga mengamanatkan untuk partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung pasangan calon untuk membuka rekening khusus dana kampanye. Aturan serupa diberlakukan untuk pasangan calon yang maju dari jalur perseorangan. Tujuan transparansi keuangan melalui transaksi perbankan ini tentunya agar pengawasan dapat dilakukan dengan lebih optimal.
Meski demikian, pengawasan dan proses audit yang diharapkan dapat ideal pun tak sepenuhnya dapat terealisasi baik. Maraknya transaksi ”bawah tanah” yang tak terekam dalam tertib administrasi membuat praktik kucing-kucingan penggunaan dana kampanye oleh para kandidat sulit diawasi. Bahkan, diperkirakan aliran penggunaan dana secara tak resmi ini jauh lebih besar.
Celah lain yang juga sering dimanfaatkan dalam praktik ilegal aliran dana kampanye melalui pemberian sumbangan berbentuk barang ataupun jasa. Bantuan-bantuan berbentuk barang dan jasa yang mendukung keperluan kampanye, seperti percetakan spanduk, kaus, dan panggung hiburan, marak ditemui mengalir kepada para kandidat kepala daerah dengan besaran biaya yang lebih murah dari semestinya. Terlebih proses transaksi dalam hal ini dilakukan dengan bukti kuitansi yang sangat mudah dimanipulasi.
Memastikan kebenaran pelaporan dana kampanye pilkada sebetulnya tak hanya menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara ataupun badan pengawas, tetapi juga penting dimulai dari kesadaran para kandidat untuk melalui proses pemilihan dengan transparan. Disiplin dalam melaporkan pengelolaan dana kampanye sejatinya menjadi komitmen awal kejujuran dan integritas yang dapat ditunjukkan oleh para calon pemimpin daerah. (LITBANG KOMPAS)