Sebagai wilayah yang ada di pesisir utara Pulau Jawa, Kota Pekalongan juga tidak bisa lepas dari basis pemilih santri. Meskipun demikian, karakter pemilihnya tetap terbuka.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Pengaruh petahana tetap akan menjadi kunci peluang elektoral bagi pasangan calon yang bertarung di Pemilihan Kepala Daerah Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Dominasi elite lama ditengarai belum akan tergusur di tengah pemilih yang sebenarnya punya berkarakter kepartaian yang cukup terbuka.
Fenomena tersebut terekam dari dinamika pertarungan di pilkada Kota Pekalongan tahun ini. Kontestasi politik lokal di wilayah pesisir pantai utara Pulau Jawa ini menampilkan dua pasangan calon. Pasangan nomor urut satu yang memakai julukan ”Aladin” adalah Achmad Afzan Arslan Djunaid dan Salahudin. Sementara pasangan calon nomor urut dua adalah Balgis Diab dan Moch Machrus. Mereka memakai julukan ”Bagus”.
Dari kedua pasangan itu, kedua sosok calon wali kota merupakan kerabat dekat pemimpin Kota Pekalongan terdahulu. Achmad Afzan Arslan Djunaid merupakan adik dari Achmad Alf Arslan Djunaid, Wali Kota Pekalongan periode 2016-2017. Adapun Balgis Diab adalah istri dari Mohamad Basyir Ahmad Syawie, Wali Kota Pekalongan periode 2005-2015.
Kedua mantan petahana itu tentu akan menjadi modal sosial bagi kedua calon wali kota yang kini bertarung. Bagi Achmad Afzan, pilkada tahun ini bagaikan peneguhan sebagai keluarga politik untuk meneruskan cita-cita kakaknya. Afzan kini menjabat Wakil Wali Kota menggantikan posisi Saelany Machfudz yang naik menjadi Wali Kota. Hal itu terjadi setelah sang wali kota, Achmad Alf Arslan Djunaid, meninggal.
Hal yang sama diduga juga dirasakan Balgis Diab. Kesuksesan suaminya memimpin Kota Pekalongan selama dua periode menjadi pelecut bagi dirinya untuk kembali memperebutkan posisi yang pernah dipegang suaminya.
Bagi pemilih Kota Pekalongan, ketokohan agaknya turut menjadi modal penting dalam pilkada. Setidaknya hal tersebut terlihat dari dua pilkada terdahulu yang selalu dimenangkan oleh petahana, apa pun partai politik pengusungnya. Tentu di pilkada tahun ini akan kembali diuji, sejauh mana relasi dengan petahana menjadi faktor penentu kemenangan.
Pasangan Aladin diusung oleh koalisi tiga parpol, yakni PDI-P, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Koalisi parpol ini memiliki 12 kursi DPRD Kota Pekalongan. Sementara pasangan Bagus diusung oleh Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerindra, dan Partai Nasdem. Koalisi parpol ini memiliki 21 kursi DPRD Kota Pekalongan. Dari sisi kekuatan parlemen, keduanya menampilkan peta dukungan yang tidak berimbang, tetapi hal itu bukan berarti hasil pilkada sudah bisa diprediksi.
Ini karena ketokohan juga akan ikut menentukan kemenangan pasangan calon, selain kekuatan mesin partai. Pada Pilkada 2010, misalnya, Partai Golkar dengan kepemilikan 8 kursi DPRD mampu mengalahkan pasangan calon yang diusung oleh koalisi gemuk, yaitu PAN, PDI-P, PKB, PPP, Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan PKNU yang total memiliki 20 kursi DPRD Kota Pekalongan.
Membaca peluang
Kontestasi di pilkada sebelumnya bisa menjadi rujukan untuk membaca peluang para kandidat di pilkada tahun ini. Pada pasangan Aladin, calon wali kota Afzan sempat menjabat wakil wali kota di paruh waktu pada 2019. Ia terpilih melalui pemilihan yang dilakukan oleh DPRD Kota Pekalongan dengan memperoleh 29 suara. Afzan menang mutlak dari kandidat lainnya yang sama sekali tidak mendapatkan suara.
Dalam profil yang ia sampaikan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Afzan juga mencatatkan dirinya sebagai pebisnis di bidang properti. Wakilnya, Salahudin, merupakan anggota DPRD Kota Pekalongan periode 2004-2009 sekaligus tokoh Nahdlatul Ulama.
Di kubu Bagus, calon wali kota Balgis adalah anggota DPRD Kota Pekalongan tiga periode (2009-2024). Ia juga sempat akan mencalonkan diri pada Pilkada 2015. Namun, langkahnya itu terhalang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur calon kepala daerah tidak boleh memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana. Saat itu, suami Balgis, adalah wali kota Pekalongan. Sementara calon wakilnya, Moch Machrus, tercatat sebagai pengajar.
Selain basis pemilih yang sudah terbangun bagi kedua pasangan, logistik mereka juga menjadi modal tersendiri. Menurut laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), pasangan Aladin memiliki total kekayaan Rp 3,57 miliar.
Sementara total kekayaan pasangan Bagus Rp 4,52 miliar. Di tengah masa kampanye, setiap calon telah menyerahkan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) sebesar Rp 1 juta yang berasal dari pasangan itu sendiri.
Hingga laporan LPSDK dibuat pada 30 Oktober 2020, maka pengeluaran untuk kampanye tidak mencapai 1 persen dari limit yang ditentukan KPU sebesar Rp 11,54 miliar untuk Kota Pekalongan. Melihat data itu, tak heran muncul keraguan jika pasangan calon tidak melaporkan dana kampanye yang sebenarnya.
Di tengah kritik atas ketidaktransparanan calon melaporkan dana kampanye, Kota Pekalongan juga sempat tercatat menjadi wilayah yang rawan pelanggaran. Catatan Kompas pada 18 Juni 2010, masyarakat melaporkan 23 dugaan pelanggaran pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), rinciannya 21 laporan berupa dugaan politik uang, penggelembungan daftar pemilih tetap, dan penggunaan hak pilih hingga dua kali. Proses penghitungan suara di pilkada 2010 juga sempat diminta dihentikan karena pengusutan dugaan pelanggaran yang belum tuntas (Kompas, 19/6/2010).
Basis pemilih
Sebagai wilayah yang ada di pesisir utara Pulau Jawa, Kota Pekalongan juga tidak bisa lepas dari basis pemilih santri. Tidak heran jika kemudian daerah ini juga menjadi basis pemilih Islam. Meskipun demikian, karakter pemilihnya tetap terbuka. Hal ini terlihat dari rekam jejak hasil pemilu di mana Partai Golkar yang notabene partai nasionalis bertahan sebagai peraih kursi terbanyak di DPRD Kota Pekalongan dalam tiga pemilu terakhir.
Setelah Golkar, di urutan kedua kursi terbanyak diraih PKB, yang lalu disusul PDI-P. Setelah itu partai-partai berbasis pemilih Muslim secara berurutan menjadi peraih kursi di DPRD, seperti PPP, PAN, dan PKS.
Selain basis pemilih Islam yang terbuka, di Kota Pekalongan juga muncul politisi keturunan Arab. Keberadaan mereka tidak bisa dilepaskan dari basis massa wilayah kota yang memang santri. Di atas kertas, pemilih di daerah ini yang cenderung lebih terbuka akan banyak berhitung pada program-program yang akan ditawarkan oleh kedua pasangan.