Terpilihnya Biden Berpotensi Tingkatkan Stabilitas Internasional
Dunia layak berharap pada terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS. Berbeda dengan Trump yang labil dan tak terduga, kehadiran Biden membuat para pemimpin dunia sedikit menghela napas.
”America First” has made America alone. – Joe Biden
Empat tahun ke belakang, Trump membuat kebijakan luar negeri yang membuat kekuatan global Amerika Serikat mengerut. Dengan mencampakkan aliansinya di Eropa hingga Asia Timur, ia mengubur titel AS sebagai polisi dunia dan menciptakan kekosongan besar pada tatanan dunia internasional.
Namun, Biden sebagai presiden terpilih agaknya akan membawa kebijakan luar negeri AS ke haluan yang berbeda. Maka, potensi terciptanya stabilitas internasional yang telah lama hilang pun menguat.
Selama menjadi presiden, Trump menempatkan slogan ”America First” sebagai fondasi dari hampir semua kebijakan yang ia buat, tak terkecuali soal kebijakan luar negeri. Baginya, peran AS sebagai ”polisi dunia” yang telah melekat pasca-Perang Dunia II ini merupakan beban yang terlalu berat.
Menurut Trump, lebih baik menarik sumber daya yang sebelumnya dikeluarkan demi menjaga keamanan negara lain untuk ditarik ke dalam negeri dan membangun ”tembok” guna melindungi kepentingan nasional AS.
Hal tersebut tampak tak hanya secara harfiah dari tembok di sepanjang perbatasan dengan Meksiko yang ia bangun untuk menghalau imigran datang, tetapi juga politik keamanan internasional AS secara umum.
Salah satunya terlihat dari langkah Trump yang seakan mundur perlahan dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sebuah pakta keamanan relik dari masa perang dingin gagasan AS dan negara aliansinya di Eropa.
Dilihat menggunakan perspektif pebisnis, langkah Trump memang tampak masuk akal. Selama sekitar enam dekade, AS menginvestasikan banyak sumber dayanya untuk ditempatkan di negara-negara anggota NATO.
Selama itu pula, AS-lah yang menjadi kunci bagi terjaganya keamanan di jazirah Eropa. Sebanyak 29 negara yang tergabung dalam pakta tersebut pun menggantungkan harapan besar kepada AS.
Sayangnya, harapan itu tak diikuti dengan komitmen terhadap pakta itu sendiri. Pasalnya, pada 2019, hanya sembilan dari semua anggota NATO yang mematuhi perjanjian bahwa 2 persen dari produk domestik bruto (PDB)-nya disalurkan untuk keamanan.
Tidak hanya itu, hampir separuh dari negara anggota NATO juga mangkir dari kewajiban untuk membelanjakan 20 persen dari biaya pertahanan mereka ke peralatan tempur. Akhirnya, AS-lah yang mesti menyumbang di atas 620 miliar dollar AS tiap tahun agar NATO bisa tetap berjalan.
Melihat hal tersebut telah berlangsung bertahun-tahun, Trump pun mempunyai alasan yang kuat untuk menarik AS dari NATO. Selain itu, tatanan dunia telah banyak berubah setelah perang dingin berakhir. Tak ada lagi musuh yang perlu dihadang, seperti Uni Soviet, pada abad ini.
Terlebih lagi, keputusan Trump juga diduga akibat kepentingan pribadinya yang memiliki hubungan mesra dengan Moskwa sehingga tak melihat Rusia sebagai ancaman serius. Tak ayal, isu Trump berniat untuk memboyong AS keluar dari NATO pun menyeruak dari Gedung Putih ke penjuru dunia sepanjang 2018 hingga 2019.
Meski akhirnya tak terlaksana, hal ini menjadi berita yang sangat mengkhawatirkan bagi negara anggota NATO. Pasalnya, Rusia bukanlah negara jinak seperti anggapan Trump. Sepanjang dekade pertama dan awal dekade kedua abad ini, Rusia setidaknya telah melakukan tiga kali mobilisasi pasukan melewati batas wilayah dua negara.
Hal ini terjadi pada 2004 dan 2008 di Ossetia, Georgia, dan Crimea, Ukraina, pada 2012. Agresi yang dilakukan Rusia ini sejatinya dapat diartikan sebagai pesan ancaman bagi NATO, yang sebelumnya telah memasukkan negara Balkan yang berbatasan dengan Rusia, seperti Latvia, Estonia, dan Lituania, untuk menarik mundur garnisun mereka.
Selain NATO, perhitungan serupa juga dipakai Trump dalam membuat keputusan politik internasional AS. Hampir semua keputusannya dibuat untuk memuaskan kepentingan pribadi, seperti yang terjadi ketika ia menarik AS dari perundingan nuklir Iran pada 2018.
Saat itu, keputusan tersebut tampaknya didorong keinginannya untuk menghapus legasi Obama serta mengambil hati Pemerintah Israel, yang dapat memompa dukungan dari konstituennya yang prosemitik.
Mundurnya AS yang secara tradisional, setidaknya pasca-Perang Dunia II, merupakan kekuatan politik besar menimbulkan kehampaan kekuasaan yang akhirnya mulai diisi oleh China dan Rusia.
Negara aliansi yang merasa ditinggalkan pun berupaya untuk memperkuat diri, baik dengan cara meningkatkan kapabilitas pertahanan maupun mulai mendekat ke negara adidaya lain (China dan Rusia).
Isu Timur Tengah
Salah satu kawasan yang merasakan ketidakpastian hebat akibat kebijakan luar negeri AS ialah Timur Tengah. Seperti diketahui, sejatinya wilayah ini memang tak pernah sepenuhnya terbebas dari konflik, bahkan sejak masa pranegara ribuan tahun silam. Namun, eskalasi ketegangan kondisi kawasan ini kian ekstrem pada masa pemerintahan Trump.
Dari luar, Trump justru tampak cenderung membenci perang. Selama ia menjadi presiden, tak terjadi perang besar seperti pada pemerintahan Bush atau Obama. Bahkan, Trump justru menarik pasukan AS dari Irak dan Afghanistan sesuai dengan janji kampanyenya.
Selama Trump menjabat, agresi militer AS hanya terjadi dua kali, yakni pada 2018 di Suriah dan 2020 di Irak (serangan yang menewaskan Jenderal Besar Iran Qasem Soleimani). Hal ini dikarenakan Trump melihat bahwa perang itu boros dan bukan isu seksi yang dapat memompa tingkat penerimaan masyarakat.
”Namun, intervensi yang dilakukan oleh AS justru dilakukan tanpa menggunakan tangannya sendiri. Selama dipimpin oleh Trump, AS mensponsori beberapa agresi militer yang dilakukan oleh negara-negara aliansinya di jazirah Arab.
Sebut saja agresi militer Arab Saudi terhadap Yaman dan Israel terhadap Palestina. Apabila sebelumnya konflik yang terjadi kental akan persoalan politik, di bawah sokongan AS, konflik-konflik yang terjadi di wilayah tersebut tereskalasi menuju krisis kemanusiaan.
Situasi tersebut juga diperparah dengan arah kebijakan Trump yang justru lebih terfokus pada ”memenangi” perundingan alih-alih meredakan ketegangan. Alhasil, upaya perdamaian di Timur Tengah, mulai dari konflik Israel-Palestina, Suriah, hingga Yaman, yang sebelumnya telah diupayakan menjadi buyar.
Keamanan internasional di tangan Biden
Seperti yang pernah ia katakan dalam kampanyenya, paradigma ”America First” hanya akan membuat AS sendirian. Politik internasional tak dapat semata dihitung dari persoalan siapa bayar berapa dan siapa menang siapa kalah (zero-sum game).
Tak hanya itu, kekuatan politik yang selama ini dimiliki oleh AS pun tak dapat dihitung dengan uang. Maka dari itu, langkah mundur yang diambil oleh Trump telah menggerus kepercayaan aliansi yang tentu berakibat pada melemahnya kekuatan politik AS.
Berbeda dengan Trump, dalam hal politik internasional, Biden bukanlah seorang yang awam. Berpuluh tahun berada di lingkar elite politik AS dan pernah dua periode menjabat sebagai wakil presiden, Biden paham betul peran AS di panggung internasional. Karena itu, setidaknya terdapat delapan isu yang akan menjadi fokus Biden terkait dengan kebijakan luar negeri AS.
Isu pertama yang akan dibereskan oleh Biden ialah Covid-19. Secara gamblang, Biden pernah menyalahkan Trump atas retorika ”America First” yang menyebabkan ketiadaan inisiatif untuk merespons pandemi secara global.
Sebagai negara adidaya, secara tidak langsung AS memiliki beban untuk ”memimpin” dunia dalam melewati masa sulit ini. Sebagai upaya Biden dalam menebus kesalahan AS, ia pun berencana untuk meningkatkan peran AS dalam menyelesaikan masalah Covid-19 melalui USAID.
Salah satu peluang yang dapat diambil ialah partisipasi melalui ACT-Accelerator untuk mempercepat pengembangan dan pengiriman vaksin, terapi, diagnosis, dan persiapan global dalam menghadapi pandemi selanjutnya.
Kedua, normalisasi hubungan AS dengan negara aliansinya, terutama di Eropa dan Asia, juga menjadi titik fokus kebijakan luar negeri Biden. Sama dengan presiden-presiden lain sebelum Trump, Biden menekankan pentingnya menjaga kekokohan hubungan AS dengan aliansi-aliansinya di Eropa dan Asia. Hal ini ia lakukan tidak hanya dengan kontribusi AS di NATO, tetapi juga tekanan terhadap Rusia dan China.
Setelah itu, AS akan kembali aktif dalam perjanjian perubahan iklim. Sebelumnya, pada November 2019, Trump memutuskan untuk membawa AS keluar dari Perjanjian Paris (Paris Agreement on Climate Change Mitigation). Hal ini ia lakukan karena perjanjian itu dianggap merenggut lapangan pekerjaan banyak warga AS serta melukai perekonomian AS.
Keluarnya AS sebagai negara adidaya dengan tanggung jawab lingkungan yang besar dari perjanjian ini tentu sangat memalukan dan mencederai citra negaranya. Tak ayal, dalam kampanyenya, Biden pun menyatakan, ia akan membawa AS kembali menandatangani Perjanjian Paris pada hari pertama ia bekerja di Gedung Putih.
Selanjutnya, Biden juga menekankan keinginannya untuk membawa AS dalam mendamaikan konflik di Timur Tengah. Dalam kampanyenya, secara spesifik Biden mengatakan, ia akan mencoba untuk mengakhiri ”forever wars” yang ada di Timur Tengah. Bahkan, Biden juga berjanji untuk mencabut dukungan AS terhadap perang yang dilancarkan Arab Saudi di Yaman.
Keempat, Biden juga akan memfokuskan operasi militer AS di Timur Tengah untuk melawan terorisme (khususnya NIIS dan Al Qaeda). Sayangnya, dalam hal konflik Israel-Palestina, tampaknya posisi Biden tak akan banyak berubah dibandingkan dengan Trump. Hal ini karena secara gamblang, Biden menyatakan bahwa AS akan tetap mempertahankan dukungannya terhadap upaya ”keamanan” yang dilakukan oleh Israel.
Kelima, terkait politik luar negeri AS, terutama soal imigrasi. Biden menyampaikan bahwa kebijakan keras Trump terhadap imigran, bahkan hingga memisahkan anak dengan orangtuanya, tak hanya kejam, tetapi juga mengkhianati kodrat bangsa AS yang dibangun oleh para imigran. Bagi Biden, imigran berperan penting pada maju mundurnya bangsa Amerika dan yang dibutuhkan justru penguatan perlindungan terhadap mereka.
Selain itu, Biden juga berupaya untuk membawa AS kembali mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan hubungan bilateral serta multilateral AS dengan negara-negara demokratis di luar aliansi tradisionalnya, seperti negara-negara demokratis yang masih berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penguatan kerja sama ini memiliki bentuk yang berupa-rupa, mulai dari perjanjian ekonomi hingga militer.
Keenam, Biden juga tak lupa menekankan komitmen AS terhadap upaya denuklirisasi global. Baginya, denuklirisasi bukan hanya persoalan nasional, melainkan juga personal. Hal ini karena ketika ia menjabat sebagai wakil presiden, ia dan Presiden Obama-lah yang memulai langkah negosiasi nuklir di Iran (US-Iran Nuclear Deal). Sempat terhenti pada masa pemerintahan Trump, ia pun akan segera kembali memulai negosiasi ini tak lama setelah terpilih.
Terakhir, ketujuh, isu yang akan menjadi perhatian Biden ialah hubungan AS dengan negara adidaya lain, yakni Rusia dan China. Dalam kasus Rusia, kemungkinan besar Biden tak akan segan untuk menggunakan pendekatan yang lebih keras dibandingkan dengan Trump.
Selain karena Biden tidak memiliki kepentingan pribadi dengan Moskwa seperti Trump, Biden juga menyatakan bahwa apa yang dilakukan Putin pada pemilu AS 2016 tak dapat diterima dan Rusia mesti membayarnya.
Namun, hal yang sebaliknya justru mungkin terjadi pada isu AS-China. Di luar isu perang dagang, AS dan China kemungkinan akan terus berselisih soal agresivitas China di beberapa kawasan, termasuk Laut China Selatan. Tidak hanya itu, AS juga kemungkinan akan terus menyorot soal pelanggaran HAM yang terjadi di China, seperti kasus diskriminasi terhadap Muslim Uighur.
Selain soal komitmen AS dalam hal perlindungan HAM, tudingan-tudingan tersebut akan dilayangkan oleh AS kepada China untuk mencoba mendelegitimasi kekuatan politik China yang tumbuh secara pesat melalui hubungan ekonomi dan skema Belt and Road Initiative (BRI).
Biden berupaya untuk membawa AS kembali mempromosikan demokrasi dan HAM.
Meskipun begitu, cara Biden untuk menekan China sepertinya tidak akan sevulgar Donald Trump. Hal ini nantinya mungkin akan terlihat dalam relasi AS- Taiwan. Dukungan AS akan menebal, tetapi AS tidak akan menunjukkan romantisismenya dengan Taiwan secara frontal, seperti melalui aksi telepon langsung Washington-Taipei dan kunjungan pejabat tinggi AS sebagaimana yang dilakukan Trump.
Sebagai kesimpulan, dunia layak untuk banyak berharap pada terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS. Berbeda dengan Trump yang labil dan tak terduga, kembalinya Biden di panggung politik dunia dapat membuat para pemimpin dunia sedikit menghela napas.
Meskipun pada beberapa isu mungkin Biden akan sulit membuat perubahan yang progresif, setidaknya dunia dapat mengetahui pendirian Biden di berbagai isu, mulai dari perubahan iklim hingga konflik di Timur Tengah. Dengan begitu, angan akan stabilitas hubungan internasional pun tampaknya bukan lagi mimpi di siang bolong. (LITBANG KOMPAS)