Penguasaan Partai dan Anomali Preferensi Pemilih di Pilkada Agam
Wilayah Agam memiliki basis pemilih yang cukup loyal dengan partai politik dalam setiap gelaran pemilihan legislatif. Perolehan kursi setiap partai hampir tidak jauh berbeda daripada pemilu-pemilu sebelumnya.
Dalam sejarah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, partai penguasa kerap kalah bersaing. Kini, tantangan serupa dihadapi oleh Gerindra. Meskipun sukses menggeser dominasi Partai Demokrat selama 10 tahun dalam ranah legislatif, status Gerindra sebagai partai pengusung tunggal calon kepala daerah akan diuji oleh hadangan tiga poros koalisi lainnya.
Wilayah Agam memiliki basis pemilih yang cukup loyal dengan partai politik dalam setiap gelaran pemilihan legislatif. Hal ini terekam dari raihan kursi setiap partai yang hampir tidak jauh berbeda dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
PAN, misalnya, selalu berhasil meraih enam kursi sejak Pemilu 2009 hingga 2019. Konsistensi raihan kursi juga diraih oleh partai lainnya, seperti PKS, PPP, dan Golkar. Meskipun tidak selalu sama, raihan dan persentase penguasaan kursi sebagian besar partai pada setiap pemilihan legislatif tidak pernah jauh berbeda dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Konsistensi serupa pernah dirasakan oleh Partai Demokrat. Pada Pemilu 2009 dan 2014, partai ini berhasil unggul dalam raihan kursi di DPRD Agam. Penguasaan selama dua pemilu berturut-turut menunjukkan kuatnya basis massa Partai Demokrat di wilayah ini.
Namun, pada 2019, posisi Partai Demokrat sebagai penguasa di legislatif tergantikan oleh Gerindra. Dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, raihan kursi Partai Gerindra meningkat hingga lebih dari dua kali lipat, dari empat kursi menjadi sembilan kursi. Sementara Demokrat bersama PKS berada di urutan kedua yang menguasai tujuh kursi.
Masifnya pertumbuhan jumlah kursi Partai Gerindra di wilayah Agam menunjukkan pertumbuhan basis pemilih yang cukup besar. Sejak berhasil memperoleh kursi untuk pertama kali pada 2014, basis pemilih tampak semakin meluas seiring kuatnya figur Prabowo Subianto di wilayah itu. Dalam Pilpres 2019, Prabowo berhasil meraup 90,1 persen suara di wilayah ini.
Jika melihat dari sisi penguasaan kursi di DPRD, Agam menjadi wilayah kemenangan terbesar kedua bagi Gerindra dari seluruh kabupaten/kota di Sumatera Barat dalam Pileg 2019. Kondisi ini membuktikan bahwa wilayah Agam memiliki basis massa yang cukup besar bagi Partai Gerindra yang dapat menjadi modal elektoral dalam Pilkada 2020.
Baca juga: Kotak Kosong Perdana di Sumatera Barat
Tokoh berpengalaman
Dominasi ini boleh jadi merupakan alasan kuat bagi Gerindra untuk memegang peran sebagai partai tunggal pengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada 2020 di Agam. Dari 261 kabupaten/kota penyelenggara pilkada, hanya di wilayah Agam Gerindra menjadi partai tunggal yang mengusung dan mendukung calon kepala daerah. Sementara di wilayah lain, Gerindra berkoalisi dengan partai lain untuk dapat mengusung setiap calon kepala daerah.
Gerindra mengusung pasangan Taslim-Syafrizal sebagai calon bupati dan wakil bupati Agam. Dengan modal sembilan kursi atau 20 persen penguasaan kursi di DPRD, Gerindra memang tidak membutuhkan dukungan dari partai lain untuk mengusung calon kepala daerah karena telah memenuhi persyaratan minimal.
Taslim adalah kader dari PAN. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai anggota DPR RI 2009-2014 dari PAN dan Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah PAN Provinsi Sumatera Barat 2015-2018. Namun, pada pilkada kali ini, Taslim tidak berada di bawah naungan PAN.
Sementara Syafrizal adalah politisi senior dalam kancah politik lokal. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai anggota DPRD Agam selama dua periode (2004-2014) dan pernah aktif dalam kepengurusan Partai Golkar.
Menilik latar belakang, terlihat bahwa Gerindra memilih politisi senior yang telah memiliki nama besar di wilayah Agam. Pasangan ini telah memiliki modal dan pengalaman politik karena sebelumnya pernah bertarung dalam ranah pemilihan legislatif.
Meskipun menjadi partai penguasa dan mencalonkan pasangan berpengalaman, Gerindra menghadapi dua tantangan utama untuk mempertahankan dominasi di wilayah Agam, yakni hadirnya poros koalisi yang juga mengusung figur politik lokal berpengalaman serta adanya kecenderungan preferensi pemilih yang tidak lagi memperhatikan partai dalam setiap gelaran pilkada.
Dari sisi figur, terdapat tiga poros koalisi yang harus dihadapi oleh Gerindra dalam pilkada tahun ini. Masing-masing mencalonkan tokoh lokal yang memiliki jejak dalam kontestasi dan pemerintahan di wilayah Agam.
Koalisi pertama adalah PPP, Golkar, dan PBB. Dengan modal 27 persen penguasaan kursi di DPRD Agam, koalisi ini mengusung pasangan Hariadi-Novi Endri.
Hariadi merupakan suami dari Emma Yohanna, senator perempuan asal Sumatera Barat. Ia juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah PPP Sumatera Barat.
Sementara Novi Endri merupakan pimpinan dewan pengurus daerah Partai Berkarya di Kabupaten Agam. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Agam dari Partai Demokrat periode 2009-2014. Artinya, Novi Endri telah memiliki pengalaman dalam persaingan politik di wilayah ini.
Koalisi berikutnya adalah PKS dan Nasdem yang memiliki 20 persen penguasaan kursi di DPRD Agam. Jika pada pilkada lima tahun sebelumnya PKS bahu-membahu bersama Gerindra, kini kedua partai itu berada pada poros yang berbeda.
Koalisi ini mengusung Trinda Farhan Satria yang merupakan Wakil Bupati Agam periode 2016-2021. Dalam ranah legislatif, ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat pada 2009-2014. Trinda didampingi oleh Muhammad Kasni yang sebelumnya merupakan anggota TNI dan menjabat sebagai Komandan Rayon Militer 03/Lubuk Basung.
Koalisi terakhir adalah PAN dan Demokrat dengan penguasaan 29 kursi di DPRD Agam. Koalisi ini mengusung pasangan Andri Warman-Irwan Fikri. Keduanya juga merupakan tokoh politik berpengalaman.
Andri Warman merupakan Ketua Dewan Pengurus Daerah PAN di Kabupaten Agam. Pada 2019, Andri terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat dari Daerah Pemilihan III yang meliputi Agam dan Kota Bukittinggi. Artinya, Andri juga telah memiliki basis massa pada wilayah Agam.
Sementara Irwan Fikri adalah Wakil Ketua Dewan Pengurus Daerah Partai Demokrat Provinsi Sumatera Barat. Pada 2013-2015, Irwan menjabat sebagai Wakil Bupati Agam mendampingi Indra Catri. Saat itu, ia menggantikan wakil bupati sebelumnya yang tersandung kasus korupsi.
Baca juga: Poros Kekuatan Berimbang di Pesisir Selatan
Preferensi
Selain banyaknya tokoh berpengalaman sebagai pesaing dalam pilkada, eksistensi Gerindra di Agam juga dihadapkan oleh pola perubahan preferensi pemilih. Dalam setiap gelaran pilkada, tampak bahwa dominasi partai tidak begitu memberikan pengaruh dari sisi elektoral. Para pemilih cenderung akan melihat sosok calon kepala daerah daripada partai yang mengusung.
Hal ini menimbulkan kontradiksi antara partai penguasa legislatif dan kemenangan dalam pilkada. Pada Pilkada Agam 2005, misalnya, pasangan Aristo Munandar-Ardinal Hasan yang diusung oleh PBB dan Partai Merdeka jauh mengungguli pasangan lain yang diusung oleh partai besar di DPRD, seperti Golkar, PKS, PAN, dan PPP. Modal sosial sebagai petahana yang dimiliki oleh Aristo mampu memenangi 40,5 persen suara pemilih.
Kondisi serupa terjadi pada 2010 dan 2015. Partai Demokrat yang selama 10 tahun menguasai legislatif di Agam, tidak sekali pun menang dalam pilkada ketika mengusung calon kepala daerah.
Pada Pilkada 2010, Demokrat yang mengusung pasangan Syofriama Marsidin-Syafrudin Harifin hanya meraih 19,1 persen suara dan menempati peringkat keempat dari lima pasangan calon. Kegagalan juga dialami pada 2015 saat Demokrat mengusung pasangan Irwan Fikri-Chairunas. Dengan raihan 46,6 persen suara, pasangan ini belum mampu mengalahkan petahana Indra Catri.
Jika melihat kondisi ini, Agam akan menjadi wilayah persaingan terbuka dalam Pilkada 2020. Apalagi, sosok Indra Catri yang mendominasi selama 10 tahun terakhir tidak lagi mencalonkan diri setelah menjabat sebagai bupati selama dua periode.
Meskipun pilkada tahun ini diikuti oleh wakil bupati petahana, tidak ada jaminan dominasi raihan suara. Kondisi ini pernah terjadi pada 2010 saat Wakil Bupati Agam Ardinal Hasan mencalonkan diri dan hanya meraih 20,1 persen suara.
Di tengah penguasaan Gerindra, setiap pasangan calon memiliki peluang yang sama sebagai pemenang. Hadirnya banyak figur berpengalaman serta perubahan preferensi pemilih dalam pemilihan eksekutif menegaskan bahwa pilkada di wilayah Agam akan berlangsung sengit dan terbuka. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?