Politik Ekonomi Internasional AS di Tangan Biden
Kebijakan perang dagang oleh Presiden Donald Trump bisa jadi tak akan berubah dengan terpilihnya Joe BIden sebagai Presiden AS. Biden memiliki cara yang lebih lembut dibandingkan dengan Trump.
Sebagai pemimpin negara yang dianggap paling digdaya di dunia, Presiden Amerika Serikat memiliki kendali atas berjalannya tatanan dunia internasional. Sebagai presiden terpilih, Joe Biden menjadi figur yang mengemban tanggung jawab berat tersebut. Namun, meski berbeda haluan politik dengan Trump, tampaknya Biden tak akan banyak membuat perubahan.
Selama pemerintahan Trump, kebijakan luar negeri AS tergravitasi pada jargon ”America First”. Moto yang ia serukan semenjak masa kampanyenya ini dilaksanakan secara harfiah.
Segala bentuk keterlibatan AS di panggung dunia yang dianggap lebih membawa kerugian dibandingkan dengan keuntungan dihentikan. Landasan ini berdampak terhadap nyaris seluruh dimensi dalam kebijakan luar negeri yang dibuat oleh AS. Dalam dimensi ekonomi, prinsip ”America First” diartikan sebagai mengurangi defisit perdagangan.
Slogan ”America First” diterjemahkan menjadi berbagai kebijakan perekonomian yang proteksionis di tangan Trump. Baginya, perekonomian AS yang selama ini terbuka berakibat pada banyaknya beban dari berbagai perjanjian multilateral.
Selain itu, Trump juga menilai bahwa AS memiliki hubungan dagang yang berat sebelah dengan sejumlah negara lain yang menyebabkan munculnya persoalan ekonomi, seperti neraca perdagangan negatif dan pengangguran. Untuk mengatasi hal tersebut, Trump pun menutup sedikit pintu perekonomian AS bagi dunia.
Strategi proteksionisme tersebut sejatinya memiliki beberapa tujuan dasar, seperti mengurangi defisit neraca perdagangan, melindungi hak cipta dan inovasi, serta meningkatkan lapangan pekerjaan.
Agar tujuan tersebut tercapai, Trump berupaya membuat beberapa perubahan besar, termasuk renegosiasi North America Free Trade Agreement (NAFTA), mengeluarkan AS dari Trans-Pacific Partnership (TPP), dan memulai perang dagang dengan banyak negara lain, termasuk China.
Dari berbagai perubahan dalam hal kebijakan ekonomi internasional AS, hanya renegosiasi NAFTA-lah yang bisa dibilang menjadi salah satu kesuksesan Trump. Hal ini dipicu oleh kegeramannya akan defisit neraca perdagangan dengan negara tetangga, Meksiko dan Kanada.
Tidak hanya itu, sejatinya agenda renegosiasi NAFTA bukanlah berita baru. Semenjak diteken oleh Presiden Bill Clinton pada 1994, perjanjian perdagangan ini telah memicu perdebatan selama lebih dari dua dekade karena dianggap memukul negara bagian yang mengandalkan industri berat seperti Michigan.
Meski memicu ketegangan, secara mengejutkan Trump berhasil ”memaksa” Meksiko dan Kanada untuk sepakat dengan ketentuan baru di bawah perjanjian bernama United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA).
Perjanjian ini mengubah aturan terkait dengan industri otomotif, pembukaan pasar produk peternakan, transportasi logistik antarnegara, perlindungan hak paten, hingga ketentuan pailit bagi perusahaan.
Menurut estimasi Gedung Putih, perjanjian ini dapat menciptakan lebih dari 600.000 lapangan pekerjaan baru dan memompa pendapatan negara hingga 235 miliar dollar AS.
Selain merombak NAFTA, Trump juga menarik AS dari sejumlah perjanjian perdagangan, seperti TPP. Tak lama setelah terpilih, pada 2017 Trump memerintahkan untuk mencabut keanggotaan AS dari TPP, yang merupakan perjanjian perdagangan bebas melibatkan 12 negara (AS, Jepang, Meksiko, Kanada, Australia, Selandia Baru, Vietnam, Peru, Chile, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam).
Langkah ini ditengarai sebagai salah satu perjanjian perdagangan bebas terbesar, melibatkan sekitar 40 persen ekonomi dunia, bertujuan untuk menghapuskan 18.000 tarif perdagangan dari sektor agrikultur hingga manufaktur.
Selain membuka lebar akses pasar terhadap barang dan jasa dari AS, perjanjian ini juga dapat meningkatkan kehadiran kekuatan politik AS di wilayah Asia Pasifik yang telah didominasi oleh China.
Meski tampak menguntungkan AS, Trump memiliki pandangan yang berbeda terhadap TPP. Ia menganggap keikutsertaan AS dalam TPP akan mengancam lapangan pekerjaan di negaranya.
Hal ini dikarenakan biaya operasional bagi perusahaan-perusahaan besar akan semakin murah jika mereka memindahkan operasional produksi mereka ke Vietnam, negara dengan upah buruh yang murah dan peraturan buruh yang lebih menguntungkan pengusaha, pasca-TPP diberlakukan.
Alhasil, negara-negara bagian konstituen Trump yang memiliki jumlah populasi buruh yang besar, seperti Michigan, Mississippi, Alabama, dan Tennessee, akan mengalami peningkatan dalam hal pengangguran.
Walaupun begitu, keuntungan yang ditawarkan oleh perjanjian ini sejatinya sangat besar bagi AS. Di beberapa negara penanda tangan TPP, seperti Vietnam, masih memasang tarif yang cukup tinggi (hingga mencapai 70 persen) terhadap produk otomotif AS. Selain itu, tarif yang dicanangkan terhadap produk agrikultur AS di negara tersebut juga relatif tinggi di angka 40 persen.
Tak ayal, Trump yang merasa kecolongan pun berusaha untuk masuk kembali ke TPP setelah perjanjian ditandatangani oleh ke-11 negara anggotanya pada 2018. Sayangnya, negara-negara anggota TPP keberatan dengan proposal AS yang menginginkan untuk masuk serta merenegosiasi perjanjian yang sebelumnya telah disetujui oleh mereka.
Senjata Perang Dagang
Demi menekan sejumlah negara agar mau menuruti keinginan AS, Trump menggunakan senjata bernama perang dagang. Dengan label ”keamanan nasional”, Trump mengajukan dilakukannya kebijakan untuk menaikkan tarif impor barang-barang dari negara yang berusaha ia tekan.
Tentu, Trump telah memperhitungkan bahwa negara lawan akan membalas dengan aksi yang serupa. Bak penjudi, ia bertaruh bahwa perekonomian AS akan lebih kuat dibandingkan dengan negara yang ia lawan sehingga negara tersebut pada akhirnya akan tunduk dan mengikuti kemauan AS.
Pada beberapa kasus, strategi ini berhasil. Pada kasus renegosiasi NAFTA, misalnya, strategi untuk memberikan 25 persen tarif impor terhadap produk baja serta 10 persen tarif impor terhadap produk alumunium ke beberapa negara, seperti Kanada, Meksiko, Inggris, Belgia, dan Perancis.
Langkah ini pun segera disesali oleh negara-negara terdampak dan segera dibalas dengan langkah serupa oleh Kanada yang menyematkan tarif impor 25 persen (atau setara dengan 16,6 miliar dollar Kanada) terhadap barang-barang dari AS, termasuk baja, aluminium, alkohol, jus jeruk, dan produk makanan lain.
Pada akhirnya, nyatanya banyak negara yang tak tahan dengan ”sanksi” yang diberikan oleh Trump. Pada kasus Kanada dan Meksiko, mereka pun bersedia untuk berunding dan membuat kesepakatan dengan AS. Meski proposal yang diberikan oleh AS tak semuanya disetujui, Trump bisa dibilang berhasil untuk meningkatkan posisi AS dalam perjanjian perdagangan bebas yang baru dengan kedua negara tersebut.
Namun, hal ini tak berlaku bagi China. Dengan perekonomian yang tak kalah kuat dengan AS, China bukanlah musuh yang mudah ditumbangkan hanya dengan strategi tarif impor. Bahkan, strategi perang dagang yang dilancarkan oleh Trump justru menjadi bumerang bagi AS. Balas membalas, keduanya saling bertukar tarif impor hingga lebih dari 735 miliar dollar AS di berbagai jenis produk, mulai dari baja hingga produk elektronik, seperti mesin cuci.
Meski pada akhirnya China setuju untuk menuruti sedikit dari keinginan Trump, seperti China membeli produk AS senilai 200 miliar dollar AS untuk menekan defisit perdagangan (yang pada 2016 berada di angka 361 miliar dollar AS), harga yang dibayarkan oleh AS tak sedikit.
Menurut laporan dari Bloomberg, AS menderita kerugian 316 miliar dollar AS pada akhir 2020 sebagai akibat langsung dari perang dagang dengan China. Selain itu, studi dari Federal Reserve Bank of New York dan Columbia University menunjukkan, perusahaan-perusahaan besar di AS kehilangan nilai saham mereka hingga 1,7 triliun dollar AS akibat perang dagang.
Arah politik ekonomi internasional Biden
Meski memiliki haluan politik yang berbeda, bukan berarti Biden akan mengganti kebijakan ekonomi internasional AS secara keseluruhan. Tentu, sikap Biden akan lebih lembut dalam bersentuhan dengan negara-negara kawan (seperti Kanada, Meksiko, dan negara-negara di Eropa) yang sebelumnya ikut terciprat tarif impor oleh Trump. Namun, dalam isu hubungan dengan China, termasuk di dalamnya perang dagang, Biden mungkin tak akan banyak mengubah keadaan.
Selama empat tahun ke depan, kemungkinan Biden akan tetap menjalankan kebijakan perekonomian Trump terhadap China, seperti mendorong perusahaan-perusahaan AS untuk memindahkan produksi dari negara tersebut dan menekan perusahaan-perusahaan China yang dianggap tak patuh pajak. Ujungnya, relasi kedua negara pun agaknya masih akan tetap panas hingga waktu yang tak dapat ditentukan.
Di luar hal itu, kebijakan ekonomi internasional AS kemungkinan juga akan berbau intervensi di bawah kepemimpinan Biden. Bagi AS, konsep ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, Trump pun menggunakan kebijakan ekonomi untuk melakukan intervensi politik, seperti yang terjadi di Iran dan Korea Utara.
Dalam pidatonya di CUNY New York, Biden mengumumkan bahwa ia akan menggunakan kebijakan ekonomi untuk mencapai tujuan politik internasional AS, termasuk mengakhiri konflik, mendorong demokratisasi, mempromosikan ekonomi hijau, serta mendorong proliferasi nuklir. (LITBANG KOMPAS)