Penyakit leptospirosis terkait dengan faktor banjir dan populasi tikus yang masih tinggi di permukiman. Manifestasi gejala penyakit itu beragam, mulai dari demam, pembesaran hati dan limpa, sampai kerusakan ginjal.
Oleh
Krishna P Panolih
·5 menit baca
Dua bulan ini hujan kian sering turun dan menyebabkan genangan air, bahkan banjir di beberapa wilayah. Sekaranglah saatnya mewaspadai leptospirosis, penyakit yang gejalanya bisa mirip dengan Covid-19.
Pada Maret 2002, pengalaman buruk dialami sejumlah warga di Kampung Bali, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Delapan warga meninggal akibat leptospirosis. Warga sudah mengetahui leptospirosis dipicu urine tikus. Maka, mereka pun beramai-ramai berusaha menangkap tikus. Bermodalkan perangkap yang disediakan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, warga bersemangat memburu tikus, apalagi ada imbalan bayaran Rp 1.000 per ekor.
Kisah itu sudah berlalu lebih dari 12 tahun, tetapi ancaman leptospirosis sampai sekarang tetap ada. Bukan hanya di Jakarta, ancaman itu juga ada di wilayah Indonesia secara umum.
Pada 2009 hingga 2014, sejumlah daerah mengalami kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis. Beberapa di antaranya DI Yogyakarta (2010); Ponorogo (2011); Tulungagung, Malang, dan Kota Semarang (2012); Sampang, Madura (2013); serta DKI Jakarta dan Jawa Tengah (2014).
Berdasarkan data sampai 2019, sudah ada 920 kasus dengan 122 kematian, yang mencakup Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Utara, dan Maluku. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus sebenarnya lebih tinggi daripada angka itu, mengingat morbiditas leptospirosis Indonesia yang mencapai 39,2 per 100.000 penduduk.
Masyarakat pun terus diingatkan akan bahaya tersebut. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, awal Januari lalu, menegaskan, banjir singkat yang mulai terjadi memudahkan penularan leptospirosis pada manusia.
Sulit dikenali
Melihat ancaman penyakit itu, pada Juli hingga Agustus 2020, sejumlah pihak menggelar webinar tentang pencegahan dan pengendaliannya. WHO bersama berbagai lembaga terkait juga mengadakannya.
Salah satu pertimbangan dalam pertemuan ini ialah banyaknya gejala leptospirosis yang cenderung sama dengan Covid-19. Tidak jarang gejala leptospirosis mirip dengan demam berdarah dengue dan scrub thypus (tifus akibat gigitan tungau terinfeksi, flu, malaria, dan lainnya). Artinya, ada tuntutan bagi pemerintah untuk lebih ketat mengawasi berbagai gejala dan faktor risiko dua penyakit tersebut.
Merunut sejarah, diperlukan waktu cukup lama untuk mengetahui bagaimana leptospirosis menjangkiti manusia. Ada dua versi sejarah penyakit ini. Pertama, riset dari ahli bakteri, Adolf Weill, di Heidelberg, Jerman, pada 1870. Penyakit ini awalnya hanya dilaporkan sebagai gejala demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus (warna kulit kekuningan), serta kerusakan ginjal.
Baru pada 1915 sejumlah peneliti yang dipimpin Inada menemukan bahwa penyakit itu disebabkan bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu, sejumlah bakteri Leptospira dapat diisolasi, baik yang berasal dari manusia maupun hewan.
Versi sejarah kedua, leptospirosis pada manusia pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1892. Namun, penyakit ini baru berhasil diisolasi tahun 1922 oleh Vervoort. Versi kedua itu merujuk pada tulisan riset Wening Widjajanti dalam publikasi Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases, 2019.
Kepastian bahwa penyakit ini menular pada manusia dinyatakan ahli bakteri Polandia, Leopold Kirschner, yang pernah menjadi Direktur Institut Pasteur di Bandung, Jawa Barat (1930). Ia juga menemukan bakteri pada sampel tikus dan babi di Selandia Baru. Pada 1951, Kirschner menegaskan bahwa leptospirosis bisa menular langsung ataupun tidak langsung dari hewan ke manusia (anthropozoonosis).
Kerap terabaikan
Indonesia baru resmi menyatakan leptospirosis sebagai penyakit menular yang bisa menimbulkan wabah melalui Permenkes RI No 1501/Menkes/PerX/2010. Penyakit yang berpindah dari hewan ke manusia (zoonosis) ini banyak melanda masyarakat di perdesaan dan daerah kumuh perkotaan.
Mengacu pada laman International Leptospirosis Society (ILS), penyakit infeksi ini kerap terabaikan (neglected infectious disease). Laporan data dari sejumlah negara pun tidak lengkap.
Berdasarkan sejumlah laporan penyakit dan kematian di 34 negara, sampai sekarang diperkirakan ada 1,03 juta kasus leptospirosis dengan 58.900 kasus kematian setiap tahun. ILS menyebut Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan kasus kematian yang relatif tinggi.
Kasus kematian di Indonesia 2,5-16,45 persen (atau rata-rata 7,1 persen). Angka tersebut termasuk peringkat ketiga dunia dalam mortalitas. Angka kematian (case fatality rate) dapat lebih tinggi hingga mencapai 56 persen jika penderita berusia lebih dari 50 tahun dan terlambat ditangani.
Menurut Wening Widjajanti, hewan yang terinfeksi Leptospira tidak selalu dalam keadaan sakit karena bersifat komensal (hidup bersama organisme lain yang tidak selalu merugikan, bahkan menguntungkan). Hal ini terjadi pada sejumlah hewan, termasuk tikus yang dikenal sebagai inang (reservoir) leptospirosis di Indonesia.
Secara alamiah, penyakit ini terjadi karena interaksi antara agent (pembawa), host (penjamu), dan lingkungan. Selain tikus, hewan yang berpotensi menularkan ialah tupai, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, landak, dan kelelawar.
Kondisi lingkungan
Leptospirosis disebabkan bakteri genus Leptospira. Bakteri ini bisa bertahan berminggu-minggu dalam kondisi air bersih, lumpur (termasuk lingkungan peternakan), atau lingkungan yang basah. Penularan terjadi jika ada kontak antara manusia dan hewan yang sudah terinfeksi.
Manifestasi gejalanya beragam, mulai dari demam, pembesaran hati dan limpa, sampai kerusakan ginjal. Umumnya penanganan leptospirosis ditempuh melalui antibiotik. Namun, hal yang sulit ialah identifikasi infeksi yang hingga kini susah didiagnosis.
Berbagai referensi dan laporan mengungkapkan bahwa masalah leptospirosis banyak terkait dengan faktor banjir dan populasi tikus yang masih tinggi di permukiman. Sementara itu, banyak pula warga yang belum memahami masalah ini.
Ada sisi lain yang seharusnya juga dibenahi, yaitu kondisi lingkungan. Setelah banjir usai, manusia dan hewan bisa terpapar air ataupun tanah yang terkontaminasi bakteri.
Perilaku hidup sehat jelas menjadi hal yang sangat penting dalam pencegahan leptospirosis, selain juga menjaga kesehatan hewan yang berpotensi tertular. Pemerintah harus meningkatkan kemampuan tenaga medis, alat diagnosis yang tepat dan cepat, serta edukasi kepada masyarakat.