Mahalnya Pengorbanan Tenaga Kesehatan Covid-19
Makin banyak tenaga medis yang gugur akibat Covid-19. Mengingat besarnya pengorbanan mereka, sudah semestinya setiap kebijakan strategis yang diambil perlu mendengarkan pendapat dari sisi keselamatan kesehatan.
Pandemi Covid-19 membuat makin banyak tenaga kesehatan gugur dan memberikan tekanan depresi serta stigma negatif. Solidaritas menerapkan protokol kesehatan dan mempertimbangkan kebijakan publik dari aspek kesehatan menjadi bentuk penghormatan atas pengorbanan besar tenaga kesehatan.
Infeksi virus korona tidak mengenal usia, jabatan, atau latar belakang profesi. Penyakit Covid-19 dapat memapar siapa saja, tidak terkecuali tenaga kesehatan. Berada di area yang bersentuhan dengan pasien Covid-19 membuat tenaga kesehatan menjadi salah satu pihak yang rentan terkena risiko penularan virus SARS-CoV-2.
Terpaparnya tenaga kesehatan akibat Covid-19 ditunjukkan dari data Amnesty Internasional pada 3 September 2020. Sedikitnya 7.000 tenaga kesehatan di seluruh dunia meninggal karena Covid-19. Jumlah tersebut meningkat dari Juli 2020, yaitu sebanyak 3.000 tenaga kesehatan.
Dari sisi wilayah, beberapa negara tercatat memiliki perkiraan jumlah kematian tenaga kesehatan terbesar, yaitu Meksiko, Amerika Serikat, dan Inggris. Jumlah tenaga kesehatan yang meninggal di Meksiko mencapai 1.320 orang, di AS 1.077 orang, sedangkan di Inggris sejumlah 649 orang.
Tenaga kesehatan juga banyak gugur di Brasil (634 orang), Rusia (631 orang), India (573 orang), Afrika Selatan (240 orang), Italia (188 orang), Peru (183 orang), dan Indonesia (181 orang). Khusus di Indonesia, data terbaru yang dikumpulkan dari Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, serta Lapor Covid-19 menyebutkan jumlah tenaga kesehatan yang meninggal dunia hingga 9 November 2020 mencapai 323 orang (Kompas 10/11/2020).
Jumlah kematian terbesar tenaga kesehatan di Indonesia menimpa kalangan dokter dan perawat. Delapan dari 10 kematian tenaga kesehatan di Indonesia dialami dokter dan perawat yang menangani Covid-19.
Data tersebut memberikan gambaran tingginya risiko yang harus dihadapi tenaga kesehatan di barisan depan penanganan korona, terutama bagi dokter dan perawat. Meningkatnya jumlah kematian tenaga kesehatan juga memberikan peringatan bahaya virus korona yang harus terus diwaspadai karena mudah menular lewat droplet.
Laman Worldometer mencatat, hingga 10 November 2020, terdapat 51,3 juta orang terinfeksi kasus positif Covid-19 di 216 negara atau teritori. Jumlah korban meninggal mencapai 1,27 juta orang. Jumlah kematian akibat infeksi virus korona baru tersebut lebih banyak dibandingkan dengan penyakit ebola, MERS, SARS, ataupun flu babi.
Infeksi yang berbahaya dari virus korona membuat penularannya masif terjadi, termasuk mengenai tenaga kesehatan yang bersentuhan langsung dengan pasien positif Covid-19. Tenaga kesehatan dapat terinfeksi dari penderita Covid-19 karena penyakit ini dapat menyebar melalui tetesan kecil dari hidung atau mulut saat batuk atau bersin. Paparan droplet dapat dihirup orang lain yang mengakibatkan dapat terinfeksi Covid-19.
Selain itu, bahaya droplet dapat muncul saat mengenai benda di sekitarnya. Jika ada orang lain menyentuh benda yang sudah terkontaminasi dengan droplet tersebut, lalu orang itu menyentuh mata, hidung, atau mulut, orang itu dapat terinfeksi Covid-19.
Minim pelindung
Melihat pola penularan seperti ini, tingkat risiko tinggi tenaga kesehatan yang terkena infeksi virus korona berpotensi terjadi di negara-negara dengan jumlah kasus positif Covid-19 yang banyak. Karena semakin banyak pasien Covid-19 yang ditangani, semakin besar pula potensi penularan akan menimpa tenaga kesehatan.
Data perkembangan kasus korona di dunia memberikan gambaran fenomena tersebut. Negara-negara yang memiliki jumlah kematian terbesar tenaga kesehatan juga menghadapi lonjakan kasus Covid-19. Negara-negara seperti AS, Brasil, India, Rusia, Inggris, Meksiko masuk dalam 10 negara terbesar yang memiliki jumlah kasus infeksi korona di dunia.
Meksiko masih menghadapi peningkatan kasus korona. Pada 10 November 2020, kasus baru di Meksiko sebanyak 4.960 kasus dengan total jumlah kematian 95.225 orang. Jumlah kematian per satu juta penduduk di Meksiko mencapai 736.
Tingkat kematian tersebut lebih tinggi daripada rata-rata kematian dunia, yaitu 163 per satu juta penduduk. Hingga 15 Oktober 2020, Kementerian Kesehatan Meksiko melaporkan, 127.053 petugas kesehatan telah terjangkit Covid-19 dan setidaknya 1.744 orang tenaga kesehatan meninggal dunia.
Analisis The Lancet menemukan setidaknya terdapat tiga permasalahan mengapa kematian tenaga kesehatan di Meksiko paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Pertama, minimnya ketersediaan alat pelindung diri bagi petugas kesehatan. Survei yang dipublikasikan Pan American Health Organization pada 2 September 2020 menemukan bahwa hampir setengah dari petugas kesehatan Meksiko tidak dilengkapi alat pelindung diri yang memadai saat bertugas.
Faktor kedua adalah kurangnya fasilitas tes Covid-19 untuk mendeteksi penularan virus korona. Data tes Covid-19 dari Worldometer memperlihatkan, Meksiko tidak menguji secara luas sebagai bagian dari upaya pelacakan kontak. Dengan populasi 129,4 juta orang, jumlah tes Covid-19 yang dilakukan Meksiko baru 2,5 juta tes.
Jumlah tes ini lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara berpopulasi hampir sama dengan Meksiko, seperti Jepang, Filipina, dan Indonesia. Rendahnya tes Covid-19 membawa dampak bagi efektivitas pelacakan virus korona, termasuk penularan yang terjadi di kalangan tenaga kesehatan.
Faktor terakhir adalah jaminan kesehatan saat bekerja. Tenaga kerja sektor kesehatan di Meksiko banyak berasal dari kontrak informal. Hal ini berpengaruh besar dalam hal mendapatkan fasilitas keamanan kerja dan akses cuti sakit. Tanpa jaminan status kekaryawanan, dukungan fasilitas kesehatan dan penghasilan yang diterima tenaga kesehatan tidak dapat diberikan secara maksimal.
Berkurang
Keberadaan tenaga kesehatan merupakan ujung tombak penanganan pandemi Covid-19. Ia bukan hanya berada di wilayah penanganan dan perawatan pasien terpapar korona, melainkan juga di area hulu pencegahan penularan. Fase pelacakan kontak erat dengan tes Covid-19 sudah membutuhkan tenaga perawat dan analisis laboratorium sebagai tahap awal deteksi penularan virus korona.
Masih adanya penularan virus korona dan penutupan beberapa wilayah/negara akibat gelombang kedua penularan, seperti di Inggris, Perancis, dan Jerman, juga memberikan gambaran kebutuhan tenaga kesehatan untuk menghadapi pandemi Covid-19. Bahkan, di beberapa negara yang mengalami lonjakan kasus positif Covid-19, kekurangan tenaga kesehatan merupakan problem yang tak kalah hebat dari pandemi itu sendiri.
Negara-negara seperti Italia, AS, dan Inggris bahkan harus menambah tenaga kesehatan untuk menangani pandemi Covid-19. Penambahan itu dilakukan dengan mengizinkan mahasiswa kedokteran tingkat akhir untuk segera terjun membantu layanan kesehatan darurat.
Pemerintah Italia mengerahkan tambahan tenaga kesehatan dari 10.000 dokter muda yang diperbantukan di klinik dokter umum dan panti jompo. Kebijakan serupa dilakukan Pemerintah Amerika Serikat dan otoritas Inggris yang mengizinkan mahasiswa kedokteran tingkat akhir untuk membantu penanganan Covid-19.
Padahal, negara-negara tersebut sebetulnya sudah memiliki kapasitas ketersediaan tenaga kesehatan yang memadai. Rujukan data Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebutkan kapasitas tenaga kesehatan di dunia rata-rata adalah 174 per 10.000 penduduk. Di Italia, terdapat 319 tenaga medis yang melayani 10.000 penduduk.
Rasio ketersediaan tenaga kesehatan di Inggris dan AS juga berada dalam posisi memadai. Inggris memiliki 664 tenaga medis dan 28 dokter setiap 10.000 penduduk. Sementara AS memiliki 682 tenaga medis dan 26 dokter setiap 10.000 penduduk.
Fenomena di atas menunjukkan pentingnya keberadaan tenaga kesehatan di masa pandemi ini. Sekalipun sudah memiliki kapasitas tenaga kesehatan yang memadai, sejumlah negara masih harus menambah tenaga kesehatan. Karena itu, berkurangnya tenaga medis karena gugur dalam menangani Covid-19 menjadi kehilangan yang sangat berarti.
Kematian pahlawan kesehatan ini sekaligus mengingatkan pentingnya dukungan fasilitas kesehatan yang memadai bagi mereka yang selama ini bergulat dengan lingkaran virus korona tersebut. Bersamaan dengan Hari Keselamatan Pasien Sedunia yang diperingati pada 17 September 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta pemerintah dan otoritas kesehatan di seluruh dunia untuk menjamin keselamatan pekerja kesehatan dan pasien.
”Pandemi Covid-19 telah mengingatkan kita semua tentang peran penting tenaga kesehatan untuk meringankan penderitaan dan menyelamatkan nyawa,” ungkap Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
WHO juga menyerukan kepada otoritas yang menjalankan layanan kesehatan di tingkat lokal untuk mengambil lima tindakan guna melindungi petugas kesehatan dengan lebih baik. Lima langkah itu adalah membangun sinergi untuk menjamin keselamatan pekerja kesehatan, mengembangkan program kesehatan untuk tenaga kesehatan, melindungi petugas kesehatan dari kekerasan di tempat kerja, meningkatkan kesehatan mental dan psikologis tenaga kesehatan, serta melindungi petugas kesehatan dari bahaya fisik dan biologis.
Solidaritas
Langkah terakhir ini menjadi tindakan konkret perlindungan bagi tenaga kesehatan di masa pandemi. Perlindungan ini dilakukan dari memberikan alat pelindung diri setiap saat dalam jumlah dan kualitas yang memadai, memberikan dukungan lingkungan yang memadai, seperti air bersih, sanitasi, hingga disinfektan, serta memastikan dukungan vaksinasi bagi tenaga kesehatan.
Tindakan nyata ini menjadi bentuk dukungan bagi tenaga kesehatan yang masih berjuang menangani pandemi Covid-19. Dukungan ini perlu dilakukan, mengingat masa pandemi juga memberikan tekanan mental dan stigma negatif bagi tenaga kesehatan.
WHO juga berkaca dari penelitian yang dilakukan pakar kesehatan mental dari Imperial College London, Sofia Pappa dan kawan-kawan, pada Agustus 2020. Riset tersebut menemukan fenomena depresi dan insomnia yang dialami tenaga kesehatan di masa pandemi Covid-19. Laporan penelitian menyebutkan, satu dari empat responden tenaga kesehatan mengalami depresi. Di sisi lain, satu dari tiga tenaga kesehatan mengaku menderita insomnia selama menangani Covid-19.
Pandemi korona memberikan tekanan psikologis dan fisik bagi tenaga kesehatan di seluruh dunia. Belum ditemukannya vaksin dan pengobatan untuk virus ini menjadikan pandemi Covid-19 masih memerlukan kehadiran tenaga kesehatan.
Kematian tenaga kesehatan tidak dapat dianggap sebagai angka semata, tetapi juga memberikan gugatan kepada setiap orang untuk lebih peduli dengan bahaya penularan virus korona. Bentuk paling mudah bagi masyarakat untuk mendukung keselamatan tenaga kesehatan ini adalah protokol kesehatan, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M).
Bagi pemerintah, dukungan ini dapat dilakukan dengan merujuk pada lima langkah yang diserukan WHO. Di luar itu, pemerintah dapat meningkatkan kebijakan pelacakan kontak (testing, tracing, treatment) untuk meminimalkan penularan virus.
Untuk negara-negara yang masih menghadapi problem rasio ketersediaan tenaga kesehatan di bawah rata-rata dunia dan dukungan layanan kesehatan yang belum merata, kebijakan untuk terus membatasi mobilitas penduduk menjadi hal mutlak yang harus dilakukan selama status darurat pandemi belum dicabut.
Melihat besarnya pengorbanan tenaga kesehatan dalam menghadapi pandemi yang telah berjalan selama 11 bulan ini, sudah semestinya setiap langkah dan kebijakan strategis yang diambil perlu mendengarkan pendapat dari sisi keselamatan kesehatan. Kearifan mendengarkan ini merupakan bentuk penghormatan kita atas pengorbanan dan gugurnya para pahlawan kesehatan ini. (LITBANG KOMPAS)